Selasa, 10 Maret 2015

ngegado doeloe pagi ini

pagi pagi gini emang enak ngegado. Pake pedes. Pake banyak. Dan pake berdua *eciee #salahfokus
wokeh sebelum panjang kali lebar kali tinggi, saya mau ngucapin minal aidin wal faizin, mohon maap lahir batin sebab lama tak menelurkan celotehan di sinih.
ini beneran udah lama banged gak nge-post. Terakhir nge-post Oktober 2014. Dan sekarang udah Maret 2015. Dan belum lulus pula dari kampus. Hellooooouuuuu kemana aja, Put? Dengan santai, "Gak kemana-mana. Kamu aja yang kelayapan." #gubrak #gagalfokus

Sebenernya saya syedih karna menghilang begitu saja dari dunia blog. Padahal, saya bertekad untuk mempertahankan eksistensi saya di sini. Setidaknya, mendokumentasikan sesuatu dalam tulisan itu bermanfaat. Insya Allah.

Saat ini, saya sedang berada di Pekanbaru. Eitss tunggu dulu. Ini hanya sementara kok.
Jadi ceritanya akhir Januari 2015, saya dipercaya untuk mengajar di NF Pekanbaru. Dan setiap minggu, mengarungi Jambi--Riau selama lima minggu. Yuhuuuu bener-bener kehidupan saya berubah. Kesibukannya agak meningkat. Jarang ngampus. Jarang ketemu temen. Bahkan, di rumah pun cuma sebates numpang di tidur. Di situ kadang saya ngerasa syedih. But, it's life.
Kesempatan itu datengnya cuma sekali dan gak tau apakah bakal dateng lagi kalo ditolak. Berdasarkan kalimat itu, saya terima tawaran mengajar di Pekanbaru itu. Jadi terjadilah itu. 
Sejauh ini sih saya nyaman-nyaman aja. Alhamdulillah masih diberikan kesehatan dan kenikmatan yang tak terkira dari-Nya. Makasi ya Allah *sujud syukur*
Sampai saat ini, saya berusaha untuk mengatur waktu antara kampus dan pekerjaan. Sungguh tak mudah. Tapi kalau gak berani nyoba, yaa gak bakal kelar. So, siapkan dirimu, Put! You can do it!

Sebelum ke Pekanbaru, saya melancong sejenak ke Palembang. Hap! Itu pun karena NF. Sebenernya udah jadi perjalanan rutin tiap semester. Tiap akhir semester, saya bersama teman-teman pengajar NF Jambi ntuh raker ke Palembang. Rakernya sih tiga hari. Tapi karna saya belum menelusuri lekuk tubuh si Palembang, jadi yaa gitu. Nyolong start hihi
Nah mau tau gimana serunya perjalanan saya di Palembang dan juga di Riau? *semoga mau yaa dan harus mau!*
Tungguin aja
and
stay close
^^

Rabu, 15 Oktober 2014

After The Honeymoon -- Ollie




Judul: After The Honeymoon (Drama Baru Dimulai Seusai Pesta)
Penulis: Ollie
Penerbit: Gagas Media
Tahun terbit: 2009 (cetakan pertama)
Jumlah halaman: vi + 238 halaman


Novel ini mengungkapkan sesuatu terjadi setelah honeymoon (sesuai dengan judul) :D. Saya kira, “sesuatu” itu akan terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun karena permasalahan anak yang tak kunjung diberi-Nya, ekonomi, atau mertua yang tak cocok dengan menantu. Namun, perkiraan saya meleset. Justru tepat setelah pulang honeymoon, ketidaknyamanan mulai terasa.
Setiba di kantor –setelah pulang dari honeymoon—, Ata sudah diminta pertanggungjawaban atas pekerjaannya. Terlebih lagi, ia mendapatkan promosi sehingga jam kerjanya akan berlebih. Itu artinya ia akan sering lembur dan waktu di rumah akan berkurang. Padahal keinginannya dulu, setelah menikah ingin menjadi ibu rumah tangga yang memiliki bisnis kecil-kecilan. Tapi apa mau dikata, ia tetap mensyukuri rezeki dan itu bisa membantu keuangan keluarga. Bukan berarti Barra tidak bekerja. Ia bekerja tetapi penghasilannya tidak melebihi Ata. Selain diminta pertanggungjawaban, Ata juga telah ditunggu oleh tagihan-tagihan yang menumpuk (cicilan rumah, listrik, air, asuransi mobil, dsb). Dan Ata mulai stress. Kenapa? Karna ia yang akan membayar semua tagihan itu. Penghasilan Barra sudah habis untuk membayar keinginannya mendapatkan gadget terbaru.
          Ia pikir, cinta akan membuat segalanya lebih mudah, termasuk pembagian tanggung jawab urusan financial. Tidak perlu terlalu kaku, apalagi sampai membuat peraturan. Namun, ternyata dia terbukti salah. Sekarang, Ata merasakan beban berat yang harus ditanggungnya. (hal:16)

Ata dan Barra baru saja melangsungkan pernikahan yang awalnya sulit untuk dilaksanakan karena masing-masing orang tua mereka kurang setuju. Tapi semua berjalan normal. Kini, mereka tinggal di sebuah rumah yang berada di pinggiran Jakarta yang cukup memakan waktu di jalan untuk pulang pergi ke kantor mereka. Dan Ata yang menyetir.
Tak lama kemudian, Ata pun hamil. Perdebatan terjadi. Barra enggan tinggal bersama mertuanya, terlebih mendengar omongan Rey, teman kantornya. Akhirnya, Barra mengalah. Hari pertama di rumah mertua, Barra sudah merasa terusik. Dimulai dari ketokan pintu di pagi hari dari sang mertua. Lalu, duduk berdua di teras rumah sambil menikmati mangga muda. Ditambah lagi dengan kedatangan pakde dan bude Ata dari Jawa Tengah dan Ata seorang diri yang menjemput mereka di stasiun kereta.
Ata terkejut. Tabungan bersamanya hanya tersisa seratus ribu rupiah. Ternyata, suaminya telah “mencuri” tabungan bersama mereka untuk menanam investasi kelapa sawit yang ditawarkan Matthew, kakak ipar Barra. Perang sengit terjadi antara Ata dan Barra. Ata tidak mengerti kenapa Barra memercayai kakak iparnya yang jelas-jelas sering melakukan penipuan. Saat itu juga Barra pergi dari rumah. Meninggalkan Ata yang berbadan dua.
Cerita lain, Widi mengetahui bahwa suaminya, yang merasa Widi tak lagi menghiraukan dia, telah bermain api dengan perempuan bernama Stella. Namun Widi tetap mempertahankan rumah tangganya dengan berpura-pura bahagia di hadapan orang tua dan adiknya. Sampai pada akhirnya, Widi masuk rumah sakit karena mencoba bunuh diri, melukai urat nadinya. Ata tak menyangka kakaknya, seorang istri dan ibu yang bahagia, bisa melakukan hal itu. Justru selama ini Ata iri dengan keharmonisan rumah tangga kakaknya.
Sebulan berlalu, Barra berkelana ke Solo, lebih tepatnya meminta pekerjaanya dialihkan ke perusahaan di Solo. Di sana memiliki sekretaris cantik bernama Putri. Barra mulai merasakan keanehan ketika sedang bersama Putri.
Selama proses penyembuhan Widi, Ata, yang berusaha tegar ketika rumah tangganya diambang perpisahan, selalu menemani. Jeff tak menampakkan diri. Sesakit apa pun hatinya, Widi tetap menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan mengirim pesan selamat ulang tahun pada Jeff. Di sanalah, awal mula proses mereka untuk belajar memperbaiki pondasi yang hampir runtuh.
Barra hanya dua minggu di Solo. Lalu kembali ke Jakarta, berniat mengajak kembali Ata. Namun niat baiknya tidak ditanggapi baik oleh keluarga Ata. Mereka pun terpisah (lagi) tanpa sempat diberi waktu berdua.
Mereka pun bertemu. Ata dan Barra (dengan bantuan Widi dan Jeff). Di Taman Suropati, tempat favorit mereka. Berjanji akan terus bersama walaupun orang tua tidak menyetujui. Semacam backstreet. Rutin bertemu. Barra menemani istrinya memeriksa kandungan. Seminggu sekali menikmati kasur di rumah mereka sendiri. Dan menemukan solusi untuk kebaikan rumah tangganya: Barra belajar menyetir, Ata belajar memasak, kejujuran dalam keuangan, Ata mengurangi jadwal di kantor, dan keinginan Barra pada gadget terbaru yang menggiurkan.
Mereka dianugerahi anak ketika kandungan Ata berusia tujuh bulan. Seorang bayi laki-laki.

***

Hal pertama yang membuat saya tertarik untuk mendekati novel ini ialah sampul novel. Terkesan elegan. Gambar yang disajikan berasa putri raja J
Sudut pandang yang digunakan orang ketiga. Alur cerita yang disajikan cukup menarik, menarik ulur kita terhadap peristiwa yang diberikan. Cerita yang disajikan juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata rumah tangga yang sudah diujung tanduk bisa diselamatkan. Intinya, sama-sama mau belajar dan sama-sama bertahan. Saya belajar bagaimana menjadi seorang istri kelak jika saya sudah mengemban kewajiban tersebut. Memang ada banyak hal yang harus diperhitungkan ketika kita melangkahkan kaki ke “dunia baru” bersama pasangan kita. Perlu kesabaran, komunikasi, kejujuran, dan kebersamaan untuk terus mengenggam apa yang sudah dijanjikan.
Bahasa yang digunakan membuat saya nyaman, mudah dipahami. Tokoh-tokoh yang disajikan juga realita, ada di sekitar kita. Saya salut dengan tokoh Widi. Seorang wanita kuat yang mau mempertahankan keluarganya walaupun dia sempat mencoba “pergi”. Itu sangat disayangkan. Sepertinya ia tak sanggup lagi menanggung bebannya. Sedangkan tokoh Ata dengan ketangguhannya menanggung semua tagihan yang ada karena penghasilan suaminya tidak begitu mampu membantu. Namun, tokoh Barra dan Jeff terjadi perubahan tingkah laku. Barra menyesali tingkah laku seenaknya yang menyusahkan istrinya dan Jeff juga tak lagi bermain dengan Stella. Dalam novel ini, saya tidak suka dengan tokoh Reynold yang menjadi kompor bagi Barra. Pun tokoh orang tua, terlebih pada Nyonya Soemardjan, ibu dari Barra. Novel ini sukses membuat saya geram pada Rey dan Nyonya Soemardjan.
Yang membuat saya kurang nyaman adalah akhir dari kisah ini. Tidak dijelaskan apakah mereka rujuk, bagaimana tanggapan orang tua Barra setelah lahirnya bayi laki-laki Ata dan Barra. Ending terbuka.
Novel ini tepat dibaca bagi teman-teman yang akan atau sedang memasuki kehidupan baru bersama pasangan hidupnya. Terlebih lagi, teruntuk teman-teman yang sedang mengalami permasalahan.
Kisah ini mengajarkan kita untuk tetap kuat ketika permasalahan rumah tangga menerpa. Butuh proses untuk mencapai puncak. Sama seperti kehidupan baru bersama pasangan, perlu tahap untuk mengenal kata “utuh”. Saya yakin, untuk berbicara memang mudah tetapi sukar dilaksanakan. Sadarlah, bahwa Sang Pencipta memiliki segala keajaiban untuk kita ^^

Sabtu, 11 Oktober 2014

dua tahun telah berlalu


Hal yang menenangkan hati itu adalah siaran, salah satu dari beberapa hal. Kenapa begitu? Karena dengan siaran, saya bisa berbagi pengetahuan, apa pun itu, dan juga menyajikan lagu-lagu yang diharapkan bisa menemani pendengar yang sedang beraktivitas. Berada di dunia broadcasting itu ternyata banyak cerita dan kisah: menambah pengetahun. Ada ucapan yang haram dikatakan saat siaran, lalu juga harus mempunyai etika. Sebelum siaran sebaiknya udah nyiapin naskah siaran biar siarannya lebih teratur.
Alhamdulillah, dua tahun sudah belajar di Dian Irama FM, lebih tepatnya tanggal 15 Juli. Gak berasa yaa dua tahun itu ternyata berlalu begitu cepat. Dua tahun yang berlalu dengan derasnya dan saya sebagai penikmatnya. Banyak pengalaman, itu pasti. Banyak pengetahuan, yaa itu iya juga karena dunia broadcasting adalah dunia baru yang mulai saya dalami sejak diterima sebagai penyiar di Dian Irama FM. Pun ternyata dua tahun bukan waktu yang cukup untuk membuat saya paham tentang segala sesuatu tentang penyiaran. Belum cukup puas, kawan. Masih banyak yang belum saya tahu dan pahami. Masih banyak kekurangan yang (sering) saya lakukan selama siaran. Dan masih banyak hal yang harus saya gali.

(ini siaran di gedung lama DIRA FM, daerah Simpang Kawat)

(nah nyang ini gedung baru DIRA FM, daerah Thehok)

Selama dua tahun saya berusaha untuk menjadi penyiar yang bisa diterima oleh pendengar; penyiar yang membuat pendengar nyaman; penyiar yang friendly, baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung hehe; penyiar yang memberikan syemangat pagik; penyiar yang ngasi informasi gak setengah-setengah; penyiar yang sepenuhnya untuk pendengar. Tapi itu hanya harapan saya yang sudah diusahakan selama ini. Untuk penilaian, saya serahkan seutuhnya kepada pendengar.
Selama dua tahun ini pula saya hampir merasakan semua suasana; syemangat, syedih, ngantuk, capek, bahagia, terharu, bete, jengkel, syeru, kocak, dan sebagainya. Gimana gak coba? Tiap siaran itu pasti bawaannya beda-beda. Misalnya, kalo siaran pagi dan siarannya sendirian itu rasanya nano-nano. Satu sisi harus syemangat karna yang namanya siaran pagi itu memberikan syemangat sama pendengar supaya mengawali pagi itu dengan sebuah senyuman dan juga syemangat yang luar biasa supaya sepanjang hari akan menjadi hari yang luar biasa juga. Tapi di sisi lain, nge-bete-in kalo off air, gak ada temen ngobrol, mana masih ngantuk, mana belum sarapan (kadang-kadang sih), dan kadang belom mandi jugak (eits tapi lebih sering mandi keleus). Yaa itulah nikmaanya siaran pagi.
Nah akan berbeda ceritanya kalo siaran pagi dan ada temennya. Itu mah asyik dan syeru beud. Dan siarannya pun lebih focus (baca: kacau). Gimana gak kacau? Yang namanya siaran tendem, itu pasti obrolannya melanglang buana entah kemana tapi tetep kok akan kembali ke topic pembicaraan. But it’s fun. Apalagi kalo off air, bakal ngobrol-ngobrol biar gak tambah ngantuk ahaha. Ngomongin siaran pagi, saya pernah tendem sama beberapa temen yang lain, kak Aryn misalnya.
Selain siaran pagi, saya juga pernah siaran siang. Siaran siang itu lebih memberikan informasi aja sih. Kalau menurut saya sih yaa, lebih enak sendiri karna agak sulit untuk pembagiannya (jeilah berasa bagi sembako). Lain cerita lagi kalo siaran sore. Ini lebih berinteraksi sama pendengar karena program kirim salam dan request lagu. Dan gak semua lagu juga yang diputerin karena waktunya gak cukup hoho. Dan siaran malam pun pernah saya jelajahi, jam 9 malam batesnya. Siaran malem itu sesuatu, apalagi malem minggu *ehh maksudnya Sabtu malam hehe. Sebenernya pengen sih siaran sampe jam 12 malem tapi keadaan gak memungkinkan. Well, siaran malem tuh saya jalanin ketika masih di gedung lama, daerah Simpang Kawat. Dan berhubung sekarang lokasi studio tambah jauh, daerah Thehok, saya off untuk siaran malem. Tapi sesekali sempet juga ngerasain siaran malem di gedung baru hehe. Yap, hanya sesekali. Tapi anehnya, walopun gak siaran malem dan ada meeting atau ngumpul sama temen-temen di radio, pulangnya lebih sering malem. Yaa begitulah yaa, kalo udah ketemu gak kenal waktu J
Ngomongin dunia penyiaran, pasti ada team yang bergerak untuk terus menopangnya. Tapi “team” yang saya temui, baru saya rasakan setahun ini. Semangat yang terus berkobar dan seakan tak pernah mati. Semangat yang membuat saya ingin terus berada dalam lingkarannya. Semangat untuk terus bangkit di saat semua tak bersahabat. Bukan sekadar team, melainkan sudah membentuk jalinan persahabatan bahkan persaudaraan. Saya bangga sudah mengenal mereka. Bangga memiliki mereka. Terima kasih Allah karena Engkau telah mempertemukan hamba dengan orang-orang yang hebat.
Yap, inilah “team” yang saya maksud
(ini foto diambil tanggal 15 Juni 2013)


(nah kalo nyang ini, waktu bulan puasa taun ini, 2014)


Bersama mereka, selalu ada hal-hal kecil yang menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Bersama mereka pun saya mengerti bahwa tidak mudah untuk menyatukan pendapat.
Kurang lebih satu tahun sudah kebersamaan ini. Dalam waktu yang singkat itu pula sudah membuat satu sama lain memahami.

Saya akan membahas kebersamaan kami di postingan yang berbeda karena kami special (gak pake telor yak) :D

Jumat, 26 September 2014

Coffee Cafe #FF100Kata

Coffe Cafe. Di sini setelah tiga tahun lamanya.

"Kak Rando?"

Terperanjat melihatnya. Dia cinta dalam diamku.

Dia sudah beristri dan kau harus ingat, Tasya. 

Tiga tahun tertatih menghapusnya. Sekarang ia tersenyum. Duduk di hadapanku.

"Rasa kopinya masih sama. Pahit sedikit," kataku.

"Sama itu tidak ada pahit sedikit."

Kami tertawa.

"Apa kabar kak Aini?"

Hubungannya kandas sebulan menjelang pernikahannya, dua tahun lalu. Sejak kepergianku ke Jerman, rasanya mau lenyap. Begitu ungkapnya.

"Katanya sudah mantap dengan kak Aini. Sekarang mau apa?"

"Tak mau apa-apa. Hanya ke sini. Bertemu kamu. Lalu Tuhan menawarkanmu padaku. Lantas harus aku lewatkan begitu saja?"

Penantianku berbuah.

***

Tema: Warung Kopi dan bikin kisah romantis.

Ketika Randi menangis #FF100Kata

Sudah jam sebelas malam. Pasti ibu menunggu di ruang tamu sambil merajut, sedangkan adiknya terlelap dalam kamar, pikir Randi.

Namun, Randi tak mendapati ibunya di ruang tamu. Ah, mungkin ibu terlalu lelah.

Bergegas ke kamar ibu. Tak ditemui pula di sana.

Dan di kamar Randi.

Tergeletak.

Pucat.

Darah mengental dari hidung mancung ibunya.

"Ibu ... Ibu ... bangun, Bu! Kenapa begini, Bu?"

Randi mengguncangkan badan ibunya. Berharap beliau segera sadar.

Stok air dari matanya keluar juga.

Tersedu-sedu.

"Cut."

Tiba-tiba Intan mendekatinya bak sutradara ulung.

"Bangunlah, Bu. Natural sekali dan kakak pantas menjadi aktor terkenal," sambil menepuk bahu Randi.

***

Tema: tokoh utama pria POV orang ketiga.