Selasa, 21 Februari 2012

Anisa Untuk Al

“Maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu. Ketika mas membaca surat ini, aku sudah resmi menjadi istri orang lain. Aku telah menikah dengan laki-laki pilihan ayahku. Aku tak berniat untuk mengkhianatimu, mas. Tapi aku tak mungkin pula tidak menuruti perkataan ayahku. Ternyata pernikahanku ini telah dibicarakan sejak setahun yang lalu, hanya saja aku baru diberitahu sekitar dua bulan yang lalu. Aku pikir, kepulanganku  dua minggu yang lalu bisa membatalkan pernikahanku tapi ayah sakit keras dan beliau memintaku untuk segera menikah dengan mas Surya.
Bukannya aku tidak mau mempertahankanmu mas tapi keadaan ayah saat itu yang membuatku untuk menuruti perintahnya. Setelah akad nikah, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku kalut. Aku ingin kamu yang menenangkanku di saat itu, mas. Sempat terlintas olehku untuk kembali padamu. Tapi aku berfikir, jika aku kembali padamu berarti aku akan membuat ayah kecewa walaupun ayah sudah tiada tapi di sana ayah pasti melihatku. Dan aku tidak ingin ayah bersedih hati di alam sana. Jadi aku teruskan pernikahanku.
Terima kasih untuk kasih sayang yang mas berikan terhadapku. Aku tahu itu kasih sayang yang tulus karena aku merasakan bagaimana kamu memperlakukanku selama ini. Tiga tahun sudah cukup membuktikan ketulusan menerimaku. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mengurai cerita kita. Cerita yang kita ukir bersama, mas. Cerita yang penuh suka duka dan kamu tak pernah berhenti menggenggam tanganku. Kamu begitu hangat padaku dan juga keluargaku walaupun ayah kurang menyenangimu. Tapi semangatmu memperjuangkan tali kita begitu luar biasa. Kenangan kita terlalu indah untuk dilupakan, mas. Terima kasih untuk segalanya.
Kepergianku bukan berarti melenyapkanmu, mas. Aku harap, Anisa masih berada di sampingmu. Dan aku yakin, Anisa adalah orang yang tepat untukmu. Anisa adalah sahabat terbaikku, mas. Kamu pasti tahu itu. Aku juga yakin, Anisa tidak akan beranjak darimu karena dia tidak sepertiku yang berlari darimu. Mas tenang saja, Anisa akan menemani hidupmu.
Aku titip Anisa padamu. Jaga dia baik-baik sebagaimana kamu menjagaku sewaktu kita bersama. Jangan sakiti dia, mas. Jangan pula kamu menyalahkan kehadirannya karena aku. Jadilah imam untuknya. Kasihi dia dengan ketulusan yang kamu punya. Pertahankan ia sampai ajal memisahkan kalian. Aku merestui kalian, mas. Aku sangat merestuimu dan Anisa.
Sekali lagi, maaf. Maaf, mas. Aku benar-benar tak bermaksud menyakiti hatimu atau mempermainkan perasaanmu. Ini yang terbaik untuk kita. Untukmu, aku, dan Anisa.”
            Sepucuk surat itu dibaca oleh Aldi. Aldi menangis. Aldi menangis di atas kursi kantornya. Bahkan sampai kehadiran Anisa di hadapannya pun, air mata Aldi masih bertahan. Tanpa ragu, Aldi memberikan surat itu.
            “Ternyata Dia tidak main-main.” Kata Anisa sambil meletakkan surat itu di meja setelah membaca surat itu.
            “Maksudmu, Nisa?”
            “Seminggu sebelum kepergian ke rumah orang tuanya, Dia memintaku untuk menemani hari-hari mas Aldi sampai di hari tuamu jika Dia tidak kembali lagi.”
            Aldi terdiam. Masih menatap sepucuk surat yang tergeletak di hadapannya.
            “Dia memang begitu. Melakukan hal-hal gila, hal-hal yang tidak pernah terlintas oleh orang-orang di sekitarnya.”
         “Keterlaluan sekali dia. Pantas saja, sebelum kepergiannya, Dia selalu membicarakanmu dan aku disuruhnya untuk mengantar jemputmu ke kantor dengan alasan rumah kita satu arah. Tapi ternyata ini artinya dibalik semua ini.” Jelas Aldi.
            “Tapi jika mas tidak bersedia dengan ide gilanya, tidak apa-apa juga.”
            “Bagaimana bisa aku mengelak dari ide gila itu?”
***

2 komentar: