Kamis, 09 Februari 2012

Sebatas Almamater

              “Udah dibilang ngga’ bisa datang, masih saja aku disuruh ambil sekarang. Emang bener-bener deh tuh anak”, ucap Caca dalam hatinya.
            Caca terus saja mengomel sepanjang perjalanan. Untung saja dia mengendarai sepeda motornya sendiri. Kalau tidak, bayangkan saja apa yang akan terjadi jika dia berada dalam mobil angkutan umum, pasti ia akan dimarahi oleh penumpang sebab tak tahan mendengar ocehan dari bibir Caca. Kalau sudah berbicara, Caca itu ratunya, apalagi kalau mengomel. Dia jagonya.
            Perjalanan masih berlanjut dan Caca masih tetap pada omelan yang tak tentu arah. Dia sangat geram dengan sahabatnya yang satu ini. Gimana ngga’ coba? Rena tahu kalau hari ini Caca tidak bisa keluar begitu saja, soalnya dia harus mengerjakan tugas kampus yang seabreknya minta ampun. Bagi Caca, sedetikpun ia melewatkan begitu saja, itu waktu berharga sekali. Caca itu punya waktu yang sudah diatur jadi Caca termasuk orang yang bisa membagi waktu, kapan waktu main, bantu orang tuanya, istirahat, ngerjain tugas, dan yang lainnya.
            “Hai Ca!” ucap seorang cewek yang melambaikan tangannya ke arah Caca.
            Caca pun mendekati cewek itu.
            “Nyebelin tau ngga’ , Ren?” kata Caca.
            “Idih, ni anak. Dateng-dateng malah sewot,” jawab cewek itu.
            “Idih, ni anak. Dateng-dateng malah sewot,” tutur Caca meniru gaya cewek itu.
            “Hehe.”
            “Huh,” ketus Caca.
            Begitulah Caca dan Rena. Cewek yang melambaikan tangannya itu Rena, sahabat Caca. Rena dan Caca sudah lama sekali bersahabat, kira-kira 15 tahun, sebab mereka bersahabat sejak kecil. Mereka sebaya. Mereka bersahabat sejak kecil bukan karena rumah mereka berdekatan, melainkan pertemuan mereka di sekolah. Mereka duduk sebangku dan akhirnya merasa cocok satu sama lain. Dan buktinya, sampai sekarang, mereka masih bersama walaupun kelihatannya mereka tidak harmonis. Tetapi sesungguhnya itulah kebersamaan mereka selama ini.
            “Udah aku bilang berapa kali lagi sih, Ren. Kamu udah tau jadwal aku gimana, tapi masih aja kamu kayak gini. Kamu kayak baru kenal aku aja,” tutur Caca.
            “Ya e la, Ca. Nyantai aja. Tugas kamu juga ngga’ bakal kemana-mana. Jadi tenang aja ya,” jawab Rena dengan santai sambil tersenyum.
            “Siapa yang bilang tugas aku bakal lari? Emangnya kamu, yang kabur kalo ngadepin tugas?”
            “Udah ah ngomelnya, udah panas nih kuping aku ngedenger ocehan kamu dari tadi. Lagian, kamu ngga’ malu apa ngomel-ngomel kayak gini?” sambil melihat sekitar.
            “Biarin aja. Biar semua orang tau kalo kamu nyebelin.”
            Rena tersenyum.
            “Senyum lagi.”
            “Kamu mau tunggu sini atau ikut aku ke dalem nih, Ca?
            “Aku ikut aja biar cepet.”
           Caca mengikuti Rena dari belakang. Mereka memasuki sebuah gedung yang letaknya di depan gedung fakultas mereka. Dalam gedung tersebut cukup ramai dan sedikit gaduh karena suara-suara yang tak bisa dikontrol.
            Rena mendekati tasnya dan mengambil sesuatu dari sana. Sedangkan Caca mengalihkan pandangan ke sekitar lingkungannya. Dia melihat wajah-wajah yang tak asing lagi baginya. Bahkan sesekali ada yang memanggilnya.
            “Eh, Ca,” sapa Jojo sambil menebarkan senyumnya.
            Caca membalas sapaan temannya itu. Kembali Caca melihat sekitarnya. Kemudian pandangannya terhenti pada sebuah kekamumpok kecil. Sebagian besar dari kekamumpok kecil itu ia mengenalnya tetapi ada sesosok wajah yang begitu asing baginya. Caca bahkan tidak mengenalnya.
            “Nih Ca, maaf ya kalau ada yang kurang,” kata Rena.
            “Kamu Ren, ngagetin aku aja.”
            “Kayak gitu aja kaget.”
            “Aku pulang ya.”
            “Biar aku anter, soalnya aku mau beli minum.”
            Rena mengantar Caca keluar dari gedung tersebut. Sebelum keluar, Rena mendekati kekamumpok kecil yang menjadi sorotan Caca tadi. Ketika Rena berbicara, pandangan Caca tearah pada sesosok wajah asing tadi dan tidak sengaja sosok itu juga mengarah padanya. Caca langsung mengalihkan pandangannya. Kemudian Rena mengajaknya berlalu dari kekamumpok itu.
            Caca mulai menggunakan jurus suka mau tahunya. Dia menanyakan sosok itu pada Rena. Dan dengan santai Rena menjawab.
            “Oh, dia itu kakak tingkat. Dua tingkat di atas kita.”

***

            Seusai makan malam, Caca masuk ke dalam kamarnya dan saat itulah waktunya menghibur diri. Facebook. Siapa sih yang tidak tahu fb? Pasti tahu. Bagi Caca, ini hanya sekedar merefleksikan diri saja. Fb terbuka dan sudah ada beberapa pemberitahuan dan satu permintaan pertemanan. Caca meilhat permintaan tersebut dan kemudian diterimanya. Setelah itu, Caca mulai berjelajah dalam fb.
            “Hoaaam, lemes amat ni mata. Kayaknya dia minta istirahat deh,” ujar Caca.
            Caca menutup laptop kemudian membiarkan raga dan matanya untuk sejenak menikmati malam.
            Keesokan harinya, Caca harus mengembalikan buku ke perpustakaan kampusnya. Dia sendiri. Berjalan melewati koridor kampus kemudian menaiki tangga kemudian bekamuk kiri dan sampailah ia di perpustakaan.
            “Untung aja belum tutup.”
            “Kalau tutup?”
“Mati aku.”
            Caca merasa aneh. Siapa yang bertanya padanya. Ia lihat di sekitarnya. Ternyata salah satu dosen yang telah bertanya begitu padanya. Betapa malunya ia telah menjawab seperti itu. Kemudian ia mengembalikan buku. Dan bisa kembali ke kelas dengan sedikit santai. Ketika ia keluar dari perpustakaan, ia melewati bangku panjang dan tak disangka sosok asing itu duduk di sana. Tak sengaja pandangan Caca mengarah ke sana, lebih tepatnya pada sosok itu. Parahnya lagi, sosok itu mengembangkan bibirnya dan mau tak mau Caca membalasnya.
            “Oh, my God. Aku mimpi ngga’ ya?” ucap Caca pada dirinya sendiri sambil berjalan.
            Caca tidak menyangka. Sosok itu tersenyum manis padanya. Sosok yang baru ia temukan selama ini. Caca sedikit aneh saja, selama kuliah di sini, kenapa baru kali ini bertemunya?
            “Kok dari kemarin dia terus sih,” ucap Caca pelan.
            “Haayyoo, dia siapa?”
            Tiba-tiba Rena mengagetkan Caca. Wajah Caca memerah. Ia tidak menjawab pertanyaan Rena sebab ia tak mau sahabatnya ini kembali membuatnya malu, sebab pernah suatu ketika Caca bercerita pada Rena bahwa ia mengagumi seorang cowok di kampusnya. Caca mengatakan siapa cowok itu dan alhasil setiap ada cowok itu, Rena membuat Caca salah tingkah. Dengan begitu, Caca tidak mau lagi banyak bercerita tentang cowok pada Rena.
            “Kalau aku bilang ngga’ mau ya ngga’ mau. Ngga’ pake’ maksa kali, Ren.”
            “Plis, sekali ini aja ya, Ca. Kalo bukan kamu siapa lagi, ‘kan cuma kamu sahabat terbaik aku,” bujuk Rena sambil tersenyum.
            “Kamu ‘kan tahu hari ni tuh aku nyiar. Ngga’ mungkin aku bolos, ntar yang ada gaji aku dipotong. Kamu seneng liat gaji aku kepotong?”
            “Tapi ‘kan sebelum kamu nyiar bisa, Ca. Bentar aja kok. Tolong aku, Ca.”
            Rena kembali meminta pertolongan Caca. Caca sebenarnya mau membantu hanya saja waktunya itu mendekati waktu siaran. Caca tidak mau dianggap tidak disiplin dalan bekerja. Namun Rena berusaha meyakinkan Caca bahwa pertolongan ini tidak akan mengganggu jadwal siaran Caca.
            “Bener-bener kamu. Dari kemarin nyusahin aku terus. Udah tau aku ada siaran. Inget ya, ngga’ pake’ lama,” tutur Caca.
            “Sip. Makasi ya, Ca,” jawab Rena penuh senyuman.
            Caca memenuhi permintaan Rena. Seribu kali Caca menolak, seribu kali pula cara Rena untuk tetap berusaha. Ya begitulah mereka.
            Waktunya tiba, Caca sudah sampai di tempat. Caca menunggu Rena di tempat yang telah dijanjikan. Namun Rena belum datang juga. Dalam masa menunggu itu, Caca didatangi oleh seorang cowok yang tingginya lebih dari Caca. Kemudian cowok itu memulai pembicaraan.
            “Nunggu siapa?”
            “Nunggu temen.”
            Cowok itu mengangguk. Kemudian terdiam. Hening. Tak lama kemudian, ia memulai lagi.
            “Temannya Rena?”
            “Iya. Kok tahu?”
            “Sebelumnya aku pernah lihat kamu bareng sama Rena. Waktu aku lihat kamu, kayaknya kamu juga lihat aku. Ya ngga’?”
            Caca tersenyum. Ia tak menjawab. Kemudian mereka berkenalan dan mulai berbicara dengan santai. Ternyata cowok itu kakak tingkat yang asing bagi Caca. Dodi namanya. Awalnya Caca merasa canggung tapi rasa canggung itu tak berapa lama di dalam tubuh Caca sebab Dodi bisa mencairkan suasana. Dan sepertinya mereka mulai akrab. Namun keakaraban itu hanya sebentar karena kedatangan Rena.
            “Sori ya, Ca. Tadi ban motor aku bocor jadi mesti dibaikin dulu,” ucap Rena.
            “Ya udah. Nih bajunya,” jawab Caca sambil menyerahkan baju pada Rena.
            Tak lama kemudian, ponsel Caca berdering. Tanda pesan diterima. Caca membaca pesan.
            “Ya ampun, telat aku. Aku pergi dulu ya, Ren. Mati aku.”
            Caca menerima pesan dari teman kerjanya. Caca memberi senyum pada Dodi. Kemudian Caca berlalu meninggalkan Rena dan Dodi.
            Dalam perjalanannya, Caca mengingat perkenalan dan percakapannya dengan Dodi. Tidak menyangka ia bisa berbicara dengan Dodi. Hanya berdua. Dodi terlihat tidak kaku ketika berbicara dan itu membuat Caca merasa nyaman. Caca jadi senyum-senyum sendiri.
           
***

            Kelas berakhir dan Caca belum bisa langsung pulang karena masih ada kelas, dua jam lagi. Menunggu kelas berikutnya, Caca dan teman-temannya duduk di taman sambil menikmati makanan ringan.
            “Ca, ntar aku duduk di deket kamu ya,” ucap Lili sambil nyengir.
            “Dasar, ada maunya aja baru deh deketan sama Caca,” sindir Toni.
            “Ciyee yang takut sama pak Jojo. Haha,” sambung Nino.
            Semua tertawa. Lili memang begitu orangnya. Setiap kelas pak Jojo, ia duduknya tidak jauh dari Caca sebab pak Jojo itu suka tiba-tiba saja bertanya tentang materi perkuliahan pada mahasiswanya. Berhubung Caca termasuk salah satu mahasiswa yang pandai, jadi Lili berharap Caca bisa menolongnya.
            Mereka masih larut dalam percakapan. Caca sesekali mengarahkan pandangannya ke sekitarnya dan ia melihat Dodi sedang berjalan menuju area kampus. Dodi bersama Fani. Mereka terlihat akrab, bahkan hangat. Caca mengalihkan pandangannya. Namun ia sesekali melihat mereka.
            “Denger-denger mereka baru jadian. Walaupun sebenarnya si Dodi udah lama suka sama Fani,” ucap Ira.
            “Serius kamu, Ra. Pantesan aja kemarin waktu aku jalan ke Mall, aku ngga’ sengaja ngeliat mereka berdua jalan bareng. Emang keliatannya kayak orang pacaran sih,” sambung Lili.
            Caca hanya sebagai pendengar yang baik. Ia tidak ikut dalam percakapan itu sebab ia memang tidak tau apa-apa. Jadi ia lebih memilih diam saja.
            Seakan langit akan runtuh dan Caca berharap tubuhnya terimpit oleh bumi. Caca tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Kenapa penglihatan tadi membuatnya terpaku?
            “Ternyata aku menyimpen rasa dan ngga’ mungkin aku ngelanjutin rasa ini,” tutur Caca dalam hati.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar