Selasa, 14 Februari 2012

Cukup Empat Tahun

            “Baru pulang, Din?” suara mama yang mengejutkan Dinda.
            Dinda tersenyum sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
            “Kok senyum? Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang, “ sambil melihat jam dinding bermotif mickey mouse.
            “Maaf ya, Ma. Tadi Dinda mampir ke rumah Lila, rencananya sebentar aja di sana. Waktu Dinda mau pamit pulang, mamanya Lila ngajakin jalan ke mall. Mau belanja buat acara cukuran keponakannya Lila. Dinda mengiyakan. Dan sekarang baru pulang,” mencium pipi mamanya sambil tersenyum kemudian berlalu.
            Dinda masuk ke kamar kemudian merebahkan diri di atas kasur yang empuk sekali rasanya untuk saat seperti ini. Benar-benar melelahkan, Dinda berkata dalam hati. Tanpa sadar Dinda memejamkan matanya dan tertidur. Namun tak lama kemudian, ia tak bisa melanjutkan mimpi indahnya karena ketokan pintu oleh sang mama.
            “Dinda sayang, kamu lagi ngapain?” kata mama sambil mengetok pintu.
Mama tidak mendengar sahutan dari Dinda. Kemudian mama mencoba membuka pintu kamar dan melihat anakya tertidur lelap. Mama mendekati Dinda dan mencoba membangunkan anak satu-satunya itu. Sebenarnya Dinda masih ingin berada di atas kasur empuknya itu tetapi rayuan mama tidak bisa ditandingi. Mama keluar kamar untuk mempersiapkan makan malam dan Dinda pergi ke kamar mandi karena ia merasa bau badannya itu sangat mengganggu. Setelah mandi, Dinda menghampiri meja makan dan kemudian makan malam bersama mamanya. Sedangkan ayah Dinda sudah meninggal dunia sejak Dinda duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 2. Ayahnya meninggal karena kecelakaan ketika pulang dari kantor dan hal ini sangat membuat mereka tertekan batin. Dan sejak saat itu, ibunya Dinda bekerja keras agar tetap mempertahankan kehidupan keluarganya. Selain itu, Dinda juga membantu dengan bekerja sebagai penyiar di sebuah stasiun radio.
Setelah makan malam, Dinda kembali ke kamarnya dan kemudian ia mendatangi meja belajarnya, lalu duduk sambil membaca buku. Sepuluh menit kemudian, ponsel Dinda berbunyi, tanda pesan masuk. Kemudian Dinda membaca pesan itu, dan tak lama kemudian tersenyum. Buku diletakkan di atas meja, Dinda berpaling ke atas kasur, sambil memegang ponsel dan terlihat tersenyum lagi, lagi, lagi, dan lagi.
***
Dinda sedang menikmati makanan ringan di taman kampusnya sambil tersenyum sendiri. Lila yang sedari tadi heran melihat sikap Dinda seperti itu. Kemudian Lila menempelkan telapak tangannya ke kening Dinda.
“Apa-apaan sih La?” sambil mengelak dari Lila.
“Kamu yang apa-apaan! Dari tadi senyam-senyum, senyam-senyum sendiri. Ayo, kamu pasti…”
“Pasti apa? Ayo, mau ngomong apa kamu, La?”
“Nggak tau ah. Lagi males main tebak-tebakan,” jawab Lila dengan cuek.
“Kamu pasti kaget kalau kamu denger cerita aku. Tadi malam waktu aku lagi baca buku, tiba-tiba ponsel aku bunyi. Itu bunyi tanda pesan masuk. Dan kamu tau, siapa yang mengirim pesan itu? Kamu pasti nggak percaya, La,” sambil tersenyum.
“Kenapa berhenti ceritanya?”
“Gayamu itu lho, La. Tanpa reaksi. Biasa aja. Nggak jadi aku ceritanya,” Dinda cemberut.
“Emang siapa yang mengirim pesan itu, Din?” tersenyum dengan gaya yang terlalu over.
“Iras.”
“Apa? Iras?”
Aku mengangguk-anggukan kepala. Memang benar Iras yang mengirim pesan itu pada Dinda. Iras adalah teman Dinda ketika sekolah di SMP Budaya Bangsa. Mereka berada dalam lingkungan yang sama, lebih tepatnya satu kelas selama tiga tahun. Walaupun mereka berada dalam kelas yang sama selama tiga tahun, tetapi komunikasi mereka kurang baik, bahkan buruk menurut Dinda. Ketika mereka duduk di kelas satu, ada satu peristiwa yang menyudutkan mereka berdua dan Iras sepertinya sangat tidak menyukai hal itu. Dan menurut kaca mata Dinda, sejak itulah Iras tidak pernah mau berkomunikasi baik dengannya. Sebenarnya Dinda ingin mendekati Iras dan menanyakan mengapa Iras seperti itu tapi keberanian Dinda terbang entah kemana. Dinda membiarkan begitu saja. Sampai tamat sekolah pun, mereka tidak berkomunikasi baik. Dan kini, Iras menghubungi Dinda setelah empat tahun lamanya tidak berjumpa.
Kemudian Dinda menceritakan pada Lila tentang keberadaan Iras yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan Dinda. Betapa bahagianya Dinda ketika bercerita bagaimana ia dan Iras berbalas pesan tadi malam. Iras begitu hangat. Mereka bersenda gurau sambil mengingat masa lalu. Dari perbincangan itu, Dinda masih berada dalam dunia ketidakpercayaan bahwa yang menghubunginya itu ialah Iras, seorang Iras menghubunginya. Mungkin menurut orang lain biasa saja, tetapi bagi Dinda ini luar biasa. Bayangkan saja, seorang Iras, yang dulunya bersikap acuh, menghubungi Dinda. Semenjak itu, Dinda merasa saat ini dunia sedang berpihak padanya dan ia tidak akan menyia-nyiakan begitu saja.
Dua minggu sejak malam itu, Iras tidak pernah lagi menghubungi Dinda. Dinda ingin menghubungi Iras tetapi ia tidak yakin dengan dirinya. Keraguan Dinda mulai timbul atas kebenaran Iras. Dinda berpikir, apa untungnya Iras menghubunginya, mungkin kemarin itu ada orang iseng yang mengerjainya. Dinda mondar-mandir di ruang tamu sambil memegang ponsel.
“Aku harus berbuat sesuatu,” katanya lirih.
“Berbuat apa?”
Dinda kaget dan ponsel menjadi korban. Tersenyum melihat mama di hadapannya. Dinda mengambil ponsel kemudian berlalu meninggalkan mamanya. Dinda berlari ke luar rumah. Dinda tidak bermaksud meninggalkan mamanya begitu saja tetapi ia tidak siap jika mamanya menanyakan apa yang akan dilakukan olehnya dan ia memilih keluar rumah. Lagi pula, hari itu Dinda memang ada janji bertemu dengan Lila di sebuah toko buku. Dalam perjalanannya, ponsel Dinda berdering. Iras memanggil. Jantung Dinda berdegup cepat. Bimbang menyelimuti Dinda. Keputusannya, Dinda memencet tombol hijau. Mereka pun berbicara tapi tidak begitu lama. Dinda kembali tersenyum, sendiri. Setiba di toko buku, Dinda memperhatikan dengan cermat setiap pengunjung di sana dan sepertinya belum kelihatan gerak-gerik Lila. Dinda melihat buku-buku sambil menanti kedatangan Lila.
Dinda mengambil sebuah novel dan seketika itu juga ada suara asing menyapanya.
“Ada ya hubungannya akutansi sama novel?”
“Iras?,” Dinda dengan wajah kaget.
Peristiwa aneh, pikir Dinda, dua jam yang lalu ia menelepon dan sekarang benar-benar nyata di hadapan Dinda. Kenapa sekarang Iras di sini, apa Iras mengikuti Dinda sejak tadi, atau bagaimana. Berbagai pertanyaan hinggap di benak Dinda.
“Hallo,” kata Iras sambil melambai-lambaikan tangannya di hadapanku.
Baru sadar Dinda, ia telah terdiam beberapa menit di hadapan Iras. Dinda tidak banyak bicara dan sepenglihatan Dinda, Iras tidak ditemani oleh siapapun. Satu hal lagi yang tidak Dinda sangka, Iras mengajaknya makan siang. Awalnya Dinda mengatakan bahwa ia sedang menunggu temannya di toko buku dan tidak mungkin ia pergi dengan meninggalkan temannya. Dan ternyata maksud Iras, Iras mengajak makan siang yang tempatnya berada di depan toko buku, jadi bisa melihat kedatangan teman Dinda. Dinda tidak bisa mengelak lagi. Mereka makan siang bersama.
Hati Dinda berdebar-debar dan jika diizinkan Dinda ingin berteriak agar seluruh pelosok dunia tahu bahwa saat ini ia sedang makan siang bersama Iras. Tapi ia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu, nanti Iras menyangka Dinda orang aneh. Mereka duduk berhadapan. Tampilan Iras begitu dewasa dan tatapannya itu membuat Dinda ingin pingsan. Sedangkan Dinda, terdiam seperti patung. Iras mencairkan suasana dengan menanyakan berbagai hal, apa saja kegiatan Dinda saat ini, masih berkomunikasi tidak dengan teman mereka yang lain, dan membicarakan teman-teman mereka yang telah menikah. Mereka tertawa. Akhirnya Dinda bisa santai juga. Dan Dinda baru meyakini bahwa memang Iras yang mengirim pesan dua minggu yang lalu dan meneleponnya beberapa jam yang lalu.
Satu jam sudah Dinda dan Iras berada di tempat makan, tetapi Lila belum juga muncul. Dinda mulai khawatir, takut kalau ada apa-apa dengan Lila. Dinda mengambil ponsel kemudian mengirim pesan kepada Lila. Lila membalas pesan. Lila sudah berada di rumah karena ternyata Lila tadi sudah menunggu Dinda selama dua jam di toko buku, tetapi bukan toko buku yang berada di hadapan Dinda. Dinda salah tempat. Dinda minta maaf. Lila mengerti bahwa Dinda memang terkadang pelupa. Dinda menceritakan pada Iras bahwa temannya tidak akan datang karena Dinda salah sasaran. Mereka kembali tertawa. Dinda memutuskan untuk kembali ke rumah dan Iras tidak bisa mengantar Dinda karena ia harus segera kembali ke kantornya.
Mereka berpisah di tempat makan itu. Dinda berjalan ke arah utara, sedangkan Iras ke arah selatan. Dinda menikmati teriknya mentari saat itu dengan tersenyum. Bahagia sekali. Tidak disangka akan terjadi peristiwa seperti itu. Ketika mereka masih bersama tadi, sebenarnya Dinda ingin menanyakan mengapa ketika masa putih biru sikap Iras berbeda sekali, tetapi Dinda tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mempertanyakan hal itu. Dinda berharap, waktu akan menyediakan sebuah tempat bagi Dinda untuk memperjelas apa yang harus diperjelas. Ini awal dari empat tahun tidak bertatap muka.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar