Sabtu, 29 Oktober 2011

tau tak?

kau tau tidak?
mengerti tidak?
paham tidak?
jawab aku
andai saja kau tau
bagaimana rasanya dilakukan seperti ini
kau bisa saja
mengatakan tau apa yang kurasa
tapi aku yang merasakan ini,
benar_benar perih
aku ingin biasa saja
tapi sulit
maaf
aku tak bisa diperlakukan seperti ini
sukar untukku
tolong kembalikan seperti semula
ketika kau datang
aku tak mau seperti ini
dimainkan oleh riakmu
maaf
sungguh aku tak bisa
aku tak terlalu pandai untuk hal seperti ini

siap_siap

aku tau maksudmu saat itu
aku paham
mengerti apa yang kau maksud
aku hanya terkejut saja saat itu
bingung harus bagaimana menghadapi hal itu
diamku bukan berarti marah
bukan berarti tak mau tahu
tapi memberi waktu berpikir
berpikir untuk mengerti maksudmu saat itu
berpikir apa yang harus kutindaklanjuti
dari apa yang telah kau utarakan padaku
aku rasa wajar saja jika saat itu
aku merasa terombang_ambing oleh lautmu
dan aku tak bersikap manis
namun saat ini
telah aku pahami

ketika kita siap menerima
kita juga harus siap melepaskan

Senin, 17 Oktober 2011

Dear 07 (Batik)

Kamis yang memanas. Keadaan rumah yang tidak senyaman dulu dan tuntutan kerja yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebenarnya aku tidak terlalu memperhitungkan masalah itu tapi lama-kelamaan aku merasa tidak nyaman. Terlebih lagi teman kerja yang tidak bisa diajak bekerja sama. Ditambah lagi tugas kuliah yang harus kuselesaikan dengan segera.
Jalanan debu yang membuat peredaran nafasku memburuk dan terik matahari yang menyengat kulit. Seperti hari-hari sebelumnya, perjalanan kampus dari rumah cukup melelahkan dan harus menempuh waktu sekitar setengah jam. Siang ini membuat sayu mata dan mengantuk menerjang begitu hebat. Sekuat tenaga melawan rasa kantuk dengan segala upaya.
Suasana dalam perjalanan tidak begitu banyak perubahan sehingga terlihat membosankan. Yang terlihat hanya mobil-mobil angkot laju dengan cepat, motor-motor dengan berbagai suara knalpot, minimarket, ruko-ruko yang berisi dagangan barang-barang elektronik, baju, sepatu, dan sebagainya. Dan juga kantor-kantor yang penuh dengan orang berdasi, serta sekolah-sekolah yang berada di pinggir jalan. Kulihat di sepanjang jalan ini anak-anak sekolah berjalan menuju rumahnya masing-masing, ada yang berlari-larian dan ada juga yang berjalan sambil bercanda bersama teman-teman yang lain. Di sanalah pandanganku terpusat. Sangat fokus.
Batik. Batik yang dikenakan oleh anak-anak itu indah sekali. Mengingatkanku pada suasana waktu itu, ketika aku seperti mereka. Batik yang selalu kukenakan ketika dulu. Hanya saja batikku dulu berwarna biru, sedangkan mereka berwarna merah. Batik yang kurindukan sebelas tahun yang lalu.

***

“Udah selesai belum, Yu?” Tanya seorang guru padaku.
“Belum, Bu. Tunggu sebentar, Ayu sebentar lagi selesai.” Pinta Ayu.
“Iya, Nak.”
Ibu guru berjalan mengelilingi aku dan teman-teman di kelas sambil memperhatikan pekerjaan anak muridnya. Jika ada murid yang merasa kesulitan, ibu guru siap membantu dengan senang hati.
Lonceng berbunyi. Ibu guru menyeru pada anak-anak muridnya untuk mengumpulkan pekerjaan mereka. Dan yang paling terakhir mengumpulkannya ialah aku. Tapi tak apa. Ibu guru tidak memarahiku hanya karena aku yang paling terakhir mengumpulkan pekerjaan. Hanya saja teman-temanku yang usil.
“Eh tadi Ayu mau nangis.” Suara Fian yang membuka keusilan.
“Sembarangan saja. Bukannya mau menangis tapi memang sudah menangis.” Lanjut Dion.
Fian, Dion, Mimi, Lara, dan teman lainnya melihatku.
“Benar, Yu?” Semua serempak bertanya.
“Tidak. Aku tidak menangis. Kalian salah orang.” Tangkisku.
“Apa? Salah orang?” Mimi kembali bertanya.
“Salah orang katanya teman-teman.” Kata Dion.
“Benarkah?”
“Kalau tidak salah, waktu kita kelas satu dulu, ada murid yang paling terakhir mengumpulkan latihan. Lalu dia menangis.” Jelas Dion.
“Bukankah itu Ayu?” Jawab Fian.
“Iya iya iya. Ayu.” Jawab mereka serentak.
Semuanya tertawa. Tertawa merasa puas membuatku malu. Langkah kaki kupercepat.
“Hai, Ayu. Cepat sekali jalanmu. Bersantailah sedikit.”
Aku tidak menghiraukan mereka. Lebih baik aku pulang tanpa bersama mereka. Bukannya tidak suka pada mereka. Aku tidak menyalahkan pernyataan mereka karena memang benar, aku pernah menangis ketika kelas 1 SD. Tapi itu sudah tiga tahun yang lalu, jadi tidak perlu diungkit apalagi dibahas. Sekarang aku tidak seperti itu lagi. Mereka hanya bercanda. Aku tahu itu. Tapi aku tidak suka kalau mereka seperti itu.
Hari ini ada pelajaran Olahraga di sekolah. Tidak ada hujan yang turun maka olahraga bisa dilakukan di luar ruangan kelas. Suasana pagi ini sejuk dan menyegarkan tubuh. Guru Olahragaku berasal dari Medan, jadi suaranya menjadi sangat khas. Olahraga hari ini adalah estafet. Lapangan sekolahku cukup luas sehingga meletihkan juga berlari mengelilingi lapangan. Dan pada akhirnya, kami semua tertawa bersama. Seketika itu juga, Fian, Dion, Mimi, dan Lara, melihatku. Kembali tertawa.
Sepulang sekolah aku bersama teman-teman pulang bersama. Tapi sebelum itu, kami memberika kejutan pada salah seorang teman kami. Tama. Kejutannya ia diceploki beberapa telur karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Selain telur, ada juga bahan kue lainnya yaitu tepung. Rambut Tama penuh telur dan tepung. Dan juga baju seragam Tama ikut terkena. Semuanya merasa puas telah memberi kejutan pada Tama. Kami semua menyanyikan selamat ulang tahun di tengan lapangan yang cukup panas. Setelah puas memberi kejutan, Tama mengajak kami semua ke rumahnya untuk merayakan ulang tahunnya. Baik sekali Tama. Kami telah membuatnya terkejut dengan penyiksaan telur dan tepung, ia malah mengajak ke rumahnya. Di rumah Tama, kami merayakan ulang tahunnya.
Setelah perayaan selesai, aku dan teman-teman pulang ke rumah masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 wib. Ternyata sudah cukup lama aku dan teman-teman berada di rumah Tama. Dalam perjalanan pulang, aku dan teman-teman tertawa bersama karena mengingat peristiwa di tengah lapangan tadi.
“Oh iya, besok kita piket, Mi.”
“Iya, Yu. Pasti menyenangkan.”
“Tentunya.”
“Aku duluan ya, Yu. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Mi.”
Sekarang aku berjalan sendirian. Rumah Mimi memang lebih dekat dari sekolah. Tapi rumahku juga tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya rumahku dan rumah Mimi sangat dekat, hanya saja jalannya yang berbeda. Antara rumahku dan rumah Mimi dibatasi oleh papan yang tidak begitu tinggi. Kami memang terlihat lebih dekat, mungkin karena kedekatan rumah kami berdua sehingga terkadang di luar sekolah, kami sering bermain bersama. Terkadang aku bermain ke rumah Mimi dan terkadang Mimi bermain ke rumahku.
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, aku, Mimi, Nana, Maman, dan Tian tidak bisa langsung pulang ke rumah karena kami bertugas piket. Kami membagi tugas. Maman dan Tian mengangkat bangku ke atas meja dan mengangkat air untuk mengepel, sedangkan aku, Mimi, dan Nana menyapu dan mengepel kelas. Setelah semuanya selesai dan ruangan kelas pun bersih. Pemandangan yang nyaman. Lalu kami mengunci kelas.
Hari Sabtu pun telah tiba. Hari yang akan menyenangkan bagi aku dan teman-teman. Seusai pelajaran terakhir, guru meninggalkan kelas, dan kami semua bergembira. Waktunya membersihkan kelas dan pekarangan di sekitar kelas. Ada beberapa teman yang ingin mengaburkan diri, tapi aku dan teman-teman yang lain berusaha mencegah mereka. Tidak ada yang boleh pulang sebelum semuanya selesai membersihkan sekitar lingkungan kelas. Aku dan teman-teman membuka sepatu dan kaos kaki. Membersihkan kelas bersama, kemudian mengepel lantai kelas. Setelah itu bermain luncur-luncuran di koridor sekolah. Berganti-gantian. Menyenangkan sekali. Setelah pakaian kami basah kunyup. Lalu kami pun diperbolehkan pulang oleh guru.
Namun sebelum pulang ke rumah, aku dan teman-teman bersantai dahulu di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Kami duduk dengan santai sambil menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Mimi dan Tama. Kami berbagi. Walau sedikit tapi kebersamaan yang lebih nikmat.
“Besok kalian kemana?” tanya Dion.
“Tentunya pergi ke sekolah. Betul tidak teman-teman?” jawab Didin.
“Sekolah?” ucap Fian dengan wajah kaget.
“Iya, ke sekolah. Kalian tidak mau ke sekolah lagi?” tutur Didin dengan tegasnya.
“Ya sudah, Din. Besok aku sepertinya tidak bisa masuk sekolah. Izinkan aku ya.” Tutur Dion dengan serius.
“Baiklah teman.” Jawab Didin.
Mereka semua tertawa, termasuk Didin. Entah merasa atau tidak bahwa sebenarnya besok itu adalah hari Minggu. Tapi Didin menyangka bahwa esok masih hari kegiatan sekolah. begitulah Didin. Kemudian Tama memutuskan untuk pulang lebih dahulu, namun ternyata teman-teman yang lain juga ingin pulang.
Setiba di rumah, kenyataan itu pun datang dan harus kuhadapi.
“Nak, maaf, papa tidak bermaksud mengingkari janji.”
“Janji?”
“Iya, Nak. Kalau kamu sudah selesai dari pendidikan Sekolah Dasar, kamu akan melanjutkan pendidikan selanjutnya di kampung halaman papa.” Jelas mama.
“Iya iya. Baru ingat, Ma. Kalau ingkar berarti kita tidak jadi pindah ya?”
“Perencanaan itu tetap dilaksanakan, hanya saja dipercepat waktunya.”
“Dipercepat?”
“Iya, sayang. Setelah kamu melaksanakan ujian nanti, kita akan pindah.”
Aku tidak bisa berontak. Tidak bisa mengatakan tidak setuju. Ini adalah keputusan orang tuaku dan aku harus mengikuti keputusan mereka. Walaupun sebenarnya aku tidak rela jika harus berpisah dengan teman-teman secepat ini. Maaf teman, aku harus meninggalkan kalian. Tapi yang aku yakini bahwa tiap perpisahan pasti ada pertemuan.

***

Tet tet tet tet tet.
“Astaghfirullah.” Ucapku.
Suara-suara klakson membangunkanku dari lamunan yang cukup panjang. Lamunanku ketika dahulu. Lamunan yang telah berhasil membuatku tidak mengindahkan klakson-klakson itu. dan tidak disadari aku berhenti di tengah jalan. Untung saja tidak ada yang menabrakku.
“Hei, mau mati ya?”
“Ini jalan punya eyangmu?”
“Sudah gila kau?”
Berbagai ragam ucapan yang kudengar dari pengemudi lainnya. Hari semakin panas, wajar saja jika mereka berkata seperti itu. Hanya satu kata yang dapat kukatakan.
“Maaf.”
Maaf semuanya. Aku tidak bermaksud menghambat perjalanan kalian. Sungguh aku khilaf. Maaf.
Batik itu membuatku hilang akal.
***

Sabtu, 15 Oktober 2011

tali sesaat

baru saja
aku menerima tali
tali yang kuanggap
bisa membantuku
tuk berdiri
namun
tak berselang lama
perlahan
aku harus melepaskan tali itu

aku tak menyalahkan siapapun
waktu terus berjalan
semua akan baik_baik saja

Kamis, 13 Oktober 2011

Rabu, 12 Oktober 2011

pagi ini angin bersenandung
inginku mengikuti
namun tak dapat
sebab iramanya tak kumengerti

merasakan angin yang sama
mengubah hangat sinar mentari
pagi ini menjadi kental
tak perlu dimengerti
isyarat apa yang dibawa angin
janga diikuti kemana ia pergi
tapi bagaimana kita melepasnya

010911
^^with ta^^