Rabu, 15 Oktober 2014

After The Honeymoon -- Ollie




Judul: After The Honeymoon (Drama Baru Dimulai Seusai Pesta)
Penulis: Ollie
Penerbit: Gagas Media
Tahun terbit: 2009 (cetakan pertama)
Jumlah halaman: vi + 238 halaman


Novel ini mengungkapkan sesuatu terjadi setelah honeymoon (sesuai dengan judul) :D. Saya kira, “sesuatu” itu akan terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun karena permasalahan anak yang tak kunjung diberi-Nya, ekonomi, atau mertua yang tak cocok dengan menantu. Namun, perkiraan saya meleset. Justru tepat setelah pulang honeymoon, ketidaknyamanan mulai terasa.
Setiba di kantor –setelah pulang dari honeymoon—, Ata sudah diminta pertanggungjawaban atas pekerjaannya. Terlebih lagi, ia mendapatkan promosi sehingga jam kerjanya akan berlebih. Itu artinya ia akan sering lembur dan waktu di rumah akan berkurang. Padahal keinginannya dulu, setelah menikah ingin menjadi ibu rumah tangga yang memiliki bisnis kecil-kecilan. Tapi apa mau dikata, ia tetap mensyukuri rezeki dan itu bisa membantu keuangan keluarga. Bukan berarti Barra tidak bekerja. Ia bekerja tetapi penghasilannya tidak melebihi Ata. Selain diminta pertanggungjawaban, Ata juga telah ditunggu oleh tagihan-tagihan yang menumpuk (cicilan rumah, listrik, air, asuransi mobil, dsb). Dan Ata mulai stress. Kenapa? Karna ia yang akan membayar semua tagihan itu. Penghasilan Barra sudah habis untuk membayar keinginannya mendapatkan gadget terbaru.
          Ia pikir, cinta akan membuat segalanya lebih mudah, termasuk pembagian tanggung jawab urusan financial. Tidak perlu terlalu kaku, apalagi sampai membuat peraturan. Namun, ternyata dia terbukti salah. Sekarang, Ata merasakan beban berat yang harus ditanggungnya. (hal:16)

Ata dan Barra baru saja melangsungkan pernikahan yang awalnya sulit untuk dilaksanakan karena masing-masing orang tua mereka kurang setuju. Tapi semua berjalan normal. Kini, mereka tinggal di sebuah rumah yang berada di pinggiran Jakarta yang cukup memakan waktu di jalan untuk pulang pergi ke kantor mereka. Dan Ata yang menyetir.
Tak lama kemudian, Ata pun hamil. Perdebatan terjadi. Barra enggan tinggal bersama mertuanya, terlebih mendengar omongan Rey, teman kantornya. Akhirnya, Barra mengalah. Hari pertama di rumah mertua, Barra sudah merasa terusik. Dimulai dari ketokan pintu di pagi hari dari sang mertua. Lalu, duduk berdua di teras rumah sambil menikmati mangga muda. Ditambah lagi dengan kedatangan pakde dan bude Ata dari Jawa Tengah dan Ata seorang diri yang menjemput mereka di stasiun kereta.
Ata terkejut. Tabungan bersamanya hanya tersisa seratus ribu rupiah. Ternyata, suaminya telah “mencuri” tabungan bersama mereka untuk menanam investasi kelapa sawit yang ditawarkan Matthew, kakak ipar Barra. Perang sengit terjadi antara Ata dan Barra. Ata tidak mengerti kenapa Barra memercayai kakak iparnya yang jelas-jelas sering melakukan penipuan. Saat itu juga Barra pergi dari rumah. Meninggalkan Ata yang berbadan dua.
Cerita lain, Widi mengetahui bahwa suaminya, yang merasa Widi tak lagi menghiraukan dia, telah bermain api dengan perempuan bernama Stella. Namun Widi tetap mempertahankan rumah tangganya dengan berpura-pura bahagia di hadapan orang tua dan adiknya. Sampai pada akhirnya, Widi masuk rumah sakit karena mencoba bunuh diri, melukai urat nadinya. Ata tak menyangka kakaknya, seorang istri dan ibu yang bahagia, bisa melakukan hal itu. Justru selama ini Ata iri dengan keharmonisan rumah tangga kakaknya.
Sebulan berlalu, Barra berkelana ke Solo, lebih tepatnya meminta pekerjaanya dialihkan ke perusahaan di Solo. Di sana memiliki sekretaris cantik bernama Putri. Barra mulai merasakan keanehan ketika sedang bersama Putri.
Selama proses penyembuhan Widi, Ata, yang berusaha tegar ketika rumah tangganya diambang perpisahan, selalu menemani. Jeff tak menampakkan diri. Sesakit apa pun hatinya, Widi tetap menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan mengirim pesan selamat ulang tahun pada Jeff. Di sanalah, awal mula proses mereka untuk belajar memperbaiki pondasi yang hampir runtuh.
Barra hanya dua minggu di Solo. Lalu kembali ke Jakarta, berniat mengajak kembali Ata. Namun niat baiknya tidak ditanggapi baik oleh keluarga Ata. Mereka pun terpisah (lagi) tanpa sempat diberi waktu berdua.
Mereka pun bertemu. Ata dan Barra (dengan bantuan Widi dan Jeff). Di Taman Suropati, tempat favorit mereka. Berjanji akan terus bersama walaupun orang tua tidak menyetujui. Semacam backstreet. Rutin bertemu. Barra menemani istrinya memeriksa kandungan. Seminggu sekali menikmati kasur di rumah mereka sendiri. Dan menemukan solusi untuk kebaikan rumah tangganya: Barra belajar menyetir, Ata belajar memasak, kejujuran dalam keuangan, Ata mengurangi jadwal di kantor, dan keinginan Barra pada gadget terbaru yang menggiurkan.
Mereka dianugerahi anak ketika kandungan Ata berusia tujuh bulan. Seorang bayi laki-laki.

***

Hal pertama yang membuat saya tertarik untuk mendekati novel ini ialah sampul novel. Terkesan elegan. Gambar yang disajikan berasa putri raja J
Sudut pandang yang digunakan orang ketiga. Alur cerita yang disajikan cukup menarik, menarik ulur kita terhadap peristiwa yang diberikan. Cerita yang disajikan juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata rumah tangga yang sudah diujung tanduk bisa diselamatkan. Intinya, sama-sama mau belajar dan sama-sama bertahan. Saya belajar bagaimana menjadi seorang istri kelak jika saya sudah mengemban kewajiban tersebut. Memang ada banyak hal yang harus diperhitungkan ketika kita melangkahkan kaki ke “dunia baru” bersama pasangan kita. Perlu kesabaran, komunikasi, kejujuran, dan kebersamaan untuk terus mengenggam apa yang sudah dijanjikan.
Bahasa yang digunakan membuat saya nyaman, mudah dipahami. Tokoh-tokoh yang disajikan juga realita, ada di sekitar kita. Saya salut dengan tokoh Widi. Seorang wanita kuat yang mau mempertahankan keluarganya walaupun dia sempat mencoba “pergi”. Itu sangat disayangkan. Sepertinya ia tak sanggup lagi menanggung bebannya. Sedangkan tokoh Ata dengan ketangguhannya menanggung semua tagihan yang ada karena penghasilan suaminya tidak begitu mampu membantu. Namun, tokoh Barra dan Jeff terjadi perubahan tingkah laku. Barra menyesali tingkah laku seenaknya yang menyusahkan istrinya dan Jeff juga tak lagi bermain dengan Stella. Dalam novel ini, saya tidak suka dengan tokoh Reynold yang menjadi kompor bagi Barra. Pun tokoh orang tua, terlebih pada Nyonya Soemardjan, ibu dari Barra. Novel ini sukses membuat saya geram pada Rey dan Nyonya Soemardjan.
Yang membuat saya kurang nyaman adalah akhir dari kisah ini. Tidak dijelaskan apakah mereka rujuk, bagaimana tanggapan orang tua Barra setelah lahirnya bayi laki-laki Ata dan Barra. Ending terbuka.
Novel ini tepat dibaca bagi teman-teman yang akan atau sedang memasuki kehidupan baru bersama pasangan hidupnya. Terlebih lagi, teruntuk teman-teman yang sedang mengalami permasalahan.
Kisah ini mengajarkan kita untuk tetap kuat ketika permasalahan rumah tangga menerpa. Butuh proses untuk mencapai puncak. Sama seperti kehidupan baru bersama pasangan, perlu tahap untuk mengenal kata “utuh”. Saya yakin, untuk berbicara memang mudah tetapi sukar dilaksanakan. Sadarlah, bahwa Sang Pencipta memiliki segala keajaiban untuk kita ^^

Sabtu, 11 Oktober 2014

dua tahun telah berlalu


Hal yang menenangkan hati itu adalah siaran, salah satu dari beberapa hal. Kenapa begitu? Karena dengan siaran, saya bisa berbagi pengetahuan, apa pun itu, dan juga menyajikan lagu-lagu yang diharapkan bisa menemani pendengar yang sedang beraktivitas. Berada di dunia broadcasting itu ternyata banyak cerita dan kisah: menambah pengetahun. Ada ucapan yang haram dikatakan saat siaran, lalu juga harus mempunyai etika. Sebelum siaran sebaiknya udah nyiapin naskah siaran biar siarannya lebih teratur.
Alhamdulillah, dua tahun sudah belajar di Dian Irama FM, lebih tepatnya tanggal 15 Juli. Gak berasa yaa dua tahun itu ternyata berlalu begitu cepat. Dua tahun yang berlalu dengan derasnya dan saya sebagai penikmatnya. Banyak pengalaman, itu pasti. Banyak pengetahuan, yaa itu iya juga karena dunia broadcasting adalah dunia baru yang mulai saya dalami sejak diterima sebagai penyiar di Dian Irama FM. Pun ternyata dua tahun bukan waktu yang cukup untuk membuat saya paham tentang segala sesuatu tentang penyiaran. Belum cukup puas, kawan. Masih banyak yang belum saya tahu dan pahami. Masih banyak kekurangan yang (sering) saya lakukan selama siaran. Dan masih banyak hal yang harus saya gali.

(ini siaran di gedung lama DIRA FM, daerah Simpang Kawat)

(nah nyang ini gedung baru DIRA FM, daerah Thehok)

Selama dua tahun saya berusaha untuk menjadi penyiar yang bisa diterima oleh pendengar; penyiar yang membuat pendengar nyaman; penyiar yang friendly, baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung hehe; penyiar yang memberikan syemangat pagik; penyiar yang ngasi informasi gak setengah-setengah; penyiar yang sepenuhnya untuk pendengar. Tapi itu hanya harapan saya yang sudah diusahakan selama ini. Untuk penilaian, saya serahkan seutuhnya kepada pendengar.
Selama dua tahun ini pula saya hampir merasakan semua suasana; syemangat, syedih, ngantuk, capek, bahagia, terharu, bete, jengkel, syeru, kocak, dan sebagainya. Gimana gak coba? Tiap siaran itu pasti bawaannya beda-beda. Misalnya, kalo siaran pagi dan siarannya sendirian itu rasanya nano-nano. Satu sisi harus syemangat karna yang namanya siaran pagi itu memberikan syemangat sama pendengar supaya mengawali pagi itu dengan sebuah senyuman dan juga syemangat yang luar biasa supaya sepanjang hari akan menjadi hari yang luar biasa juga. Tapi di sisi lain, nge-bete-in kalo off air, gak ada temen ngobrol, mana masih ngantuk, mana belum sarapan (kadang-kadang sih), dan kadang belom mandi jugak (eits tapi lebih sering mandi keleus). Yaa itulah nikmaanya siaran pagi.
Nah akan berbeda ceritanya kalo siaran pagi dan ada temennya. Itu mah asyik dan syeru beud. Dan siarannya pun lebih focus (baca: kacau). Gimana gak kacau? Yang namanya siaran tendem, itu pasti obrolannya melanglang buana entah kemana tapi tetep kok akan kembali ke topic pembicaraan. But it’s fun. Apalagi kalo off air, bakal ngobrol-ngobrol biar gak tambah ngantuk ahaha. Ngomongin siaran pagi, saya pernah tendem sama beberapa temen yang lain, kak Aryn misalnya.
Selain siaran pagi, saya juga pernah siaran siang. Siaran siang itu lebih memberikan informasi aja sih. Kalau menurut saya sih yaa, lebih enak sendiri karna agak sulit untuk pembagiannya (jeilah berasa bagi sembako). Lain cerita lagi kalo siaran sore. Ini lebih berinteraksi sama pendengar karena program kirim salam dan request lagu. Dan gak semua lagu juga yang diputerin karena waktunya gak cukup hoho. Dan siaran malam pun pernah saya jelajahi, jam 9 malam batesnya. Siaran malem itu sesuatu, apalagi malem minggu *ehh maksudnya Sabtu malam hehe. Sebenernya pengen sih siaran sampe jam 12 malem tapi keadaan gak memungkinkan. Well, siaran malem tuh saya jalanin ketika masih di gedung lama, daerah Simpang Kawat. Dan berhubung sekarang lokasi studio tambah jauh, daerah Thehok, saya off untuk siaran malem. Tapi sesekali sempet juga ngerasain siaran malem di gedung baru hehe. Yap, hanya sesekali. Tapi anehnya, walopun gak siaran malem dan ada meeting atau ngumpul sama temen-temen di radio, pulangnya lebih sering malem. Yaa begitulah yaa, kalo udah ketemu gak kenal waktu J
Ngomongin dunia penyiaran, pasti ada team yang bergerak untuk terus menopangnya. Tapi “team” yang saya temui, baru saya rasakan setahun ini. Semangat yang terus berkobar dan seakan tak pernah mati. Semangat yang membuat saya ingin terus berada dalam lingkarannya. Semangat untuk terus bangkit di saat semua tak bersahabat. Bukan sekadar team, melainkan sudah membentuk jalinan persahabatan bahkan persaudaraan. Saya bangga sudah mengenal mereka. Bangga memiliki mereka. Terima kasih Allah karena Engkau telah mempertemukan hamba dengan orang-orang yang hebat.
Yap, inilah “team” yang saya maksud
(ini foto diambil tanggal 15 Juni 2013)


(nah kalo nyang ini, waktu bulan puasa taun ini, 2014)


Bersama mereka, selalu ada hal-hal kecil yang menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Bersama mereka pun saya mengerti bahwa tidak mudah untuk menyatukan pendapat.
Kurang lebih satu tahun sudah kebersamaan ini. Dalam waktu yang singkat itu pula sudah membuat satu sama lain memahami.

Saya akan membahas kebersamaan kami di postingan yang berbeda karena kami special (gak pake telor yak) :D

Jumat, 26 September 2014

Coffee Cafe #FF100Kata

Coffe Cafe. Di sini setelah tiga tahun lamanya.

"Kak Rando?"

Terperanjat melihatnya. Dia cinta dalam diamku.

Dia sudah beristri dan kau harus ingat, Tasya. 

Tiga tahun tertatih menghapusnya. Sekarang ia tersenyum. Duduk di hadapanku.

"Rasa kopinya masih sama. Pahit sedikit," kataku.

"Sama itu tidak ada pahit sedikit."

Kami tertawa.

"Apa kabar kak Aini?"

Hubungannya kandas sebulan menjelang pernikahannya, dua tahun lalu. Sejak kepergianku ke Jerman, rasanya mau lenyap. Begitu ungkapnya.

"Katanya sudah mantap dengan kak Aini. Sekarang mau apa?"

"Tak mau apa-apa. Hanya ke sini. Bertemu kamu. Lalu Tuhan menawarkanmu padaku. Lantas harus aku lewatkan begitu saja?"

Penantianku berbuah.

***

Tema: Warung Kopi dan bikin kisah romantis.

Ketika Randi menangis #FF100Kata

Sudah jam sebelas malam. Pasti ibu menunggu di ruang tamu sambil merajut, sedangkan adiknya terlelap dalam kamar, pikir Randi.

Namun, Randi tak mendapati ibunya di ruang tamu. Ah, mungkin ibu terlalu lelah.

Bergegas ke kamar ibu. Tak ditemui pula di sana.

Dan di kamar Randi.

Tergeletak.

Pucat.

Darah mengental dari hidung mancung ibunya.

"Ibu ... Ibu ... bangun, Bu! Kenapa begini, Bu?"

Randi mengguncangkan badan ibunya. Berharap beliau segera sadar.

Stok air dari matanya keluar juga.

Tersedu-sedu.

"Cut."

Tiba-tiba Intan mendekatinya bak sutradara ulung.

"Bangunlah, Bu. Natural sekali dan kakak pantas menjadi aktor terkenal," sambil menepuk bahu Randi.

***

Tema: tokoh utama pria POV orang ketiga.

Rabu, 17 September 2014

Bimbingan (lagi) #FF100kata

"Gak bisa? Yang butuh siapa? Kalau mau, saya tunggu satu jam lagi."

Tuuuttt. Terputus.

Hidup ini memang keras.

Sebulan lalu bimbingan di Kampung Radja. Lalu di Ancol. Dan sekarang ke Taman Rimba.

Sungguh aku menikmatinya.

"Telat 15 menit."

"Maaf, Bu. Tadi ..."

"Proposal kamu belum bisa diseminarkan. Proposal dia lebih matang."

Seketika seorang pria turun dari kyda birunya. Gio, temanku sewaktu putih biru, mendekatiku, memberikan sebuah cincin dan sebuah kertas, "Bisakah ada kita untuk masa yang akan datang?"

"Setuju gak kalau proposal aku lebih duluan di-acc? Ya gak, Ma?" ucap Gio sambil tersenyum padaku lalu melihat dosenku

***
Tema: taman hiburan
Kampung Radja: taman wisata di Jambi yang mempunyai banyak wahana yang menyenangkan.
Ancol: bisa disebut kawasan tanggo rajo. Berada di pinggir Sungai Batanghari dan berdekatan dengan rumah dinas Gubernur Jambi merupakan tempat rekreasi buatan yang menjadi tempat tongkrongan anak Jambi.
Taman Rimba: kebun binatang di Jambi; salah satu objek wisata yang tidak jauh dari bandar udara Sultan Thaha Syaifuddin.

Selasa, 16 September 2014

Si Ketty yang Malang

Plakkk!

Lina menampar Toni.

"Jadi maksud kamu deketin aku selama ini karna mau deketin Ketty? Iya?"

"Awalnya sih enggak. Tapi semenjak ngeliat Ketty, aku lebih tertarik sama dia. Dia lebih care," Toni tersenyum ke arah Ketty yang berada di samping Lina.

"Terus maksudnya ngirimin karangan bunga tiap hari apa? For KM? Bukan untuk aku? Kilau Marlina?"

"Ketty Manis. Maaf kalau kamu salah paham."

"Sok misterius. Kenapa pake singkatan? Kenapa gak langsung ditulis lengkap?"

Ketty terdiam. Merasa bersalah karena merebut gebetan Lina. Tapi Toni yang menggodanya.

Lina berlalu dari hadapan Toni dan Ketty.

Satu kata yang terucap dari Ketty. Meongg.

Sabtu, 13 September 2014

Tentang Melepaskan #FF100kata

Saat pepohonan lelah menghadapi matahari. Saat daun-daun mulai berguguran. Saat semua beranjak pulang, aku baru memulainya. Di sini. Di sebuah bangku taman.
"Menikmati taman menjelang malam seperti, apa enaknya? Sepi dan tak banyak suara," tanya seorang kakek sambil mendekatiku.
"Saya merasa nyaman, Kek. Di sini. Tentang keramaian yang hilang. Tentang orang-orang yang meninggalkan tempat ini. Saya belajar melepaskan apa yang baru saja digenggam."
"Ini taman hiburan, Nak. Gunakanlah masa mudamu dengan memanfaatkan tempat ini sebagai taman hiburan," jawab Kakek.
Justru aku memanfaatkan taman ini sebagai taman hiburan, Kek. Tapi dengan caraku sendiri. Jawabku dalam hati.
Beda sendiri boleh 'kan?
***
tema: taman hiburan

Kamis, 10 Juli 2014

tentang suatu kepergian

Kenapa kepergian menjadi momok yang menakutkan?
Ketika perpisahan menghampiri, selalu berpikir tidak akan bersua kembali.
Padahal belum tentu seperti itu, bukan?
Cobalah bayangkan bahwa perpisahan adalah jalan yang harus ditempuh tanpa ketakutan dan air mata dan jalan yang akan menemukan kebahagiannya sendiri.
Memang mudah berbicara, sukar saat menerapkannya.
Hidup terus berjalan.
Ketika ada yang datang, bersiaplah untuk melepaskan.
Seketika ada yang mendarat, entah kapan waktunya pun akan mengudara.
Dan saat perpisahan tiba, ingatlah bahwa akan ada pertemuan dalam bentuk yang berbeda, dalam keadaan yg akan membawamu lebih percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
Percayalah, kawan!



Seharusnya sejak awal menyadari bahwa ini tak boleh berlanjut
Kecenderungan ini dinikmati sebagai proses pendewasaan
Seharusnya sejak awal tak terlalu mendramatisir perasaan hingga keadaan tak semakin menyedihkan
Seharusnya sejak awal tak mengartikan simbol yang ada, bahkan terlalu indah saat diartikan
Seharusnya sejak awal tidak membiarkan kemungkinan-kemungkinan yang ditafsir akan nyata, suatu saat nanti
Seharusnya sejak awal tak ada khayalan yang terlalu dalam
Ya, memang seharusnya sejak awal sadar akan semuanya

 

Selasa, 24 Juni 2014

"kesempatan" dari sudut lain


Aku belajar tentang kesempatan. Belajar tentang itu dari “Sunset Bersama Rosie”-nya Tere Liye.
Dari awal pertama baca, novel itu seperti punya daya magis tersendiri. Selalu membuatku mempunyai waktu untuk menyentuhnya dan memasukinya lebih dalam lagi.
Kesempatan. Apa itu kesempatan? Apakah kesempatan itu sesuatu yang kita buat sendiri? Atau sesuatu yang datang tanpa disadari?
Pasti banyak persepsi tentang kesempatan. Seperti yang diungkap oleh Tere Liye, “Begitulah. Jauh Lebih menyenangkan mengenang sesuatu yang hanya selintas terjadinya. Bahkan dalam banyak kesempatan jauh lebih menyenangkan mengenang sesuatu yang sepantasnya terjadi tapi kita tidak membuatnya terjadi, meski kita bisa dengan mudah membuatnya terjadi.”
Dari rangkaian kalimat itu, bisa diartikan begini, walaupun ada banyak kesempatan yang menyinggahi, tetapi jika kita tidak menyambutnya dan membiarkannya berlalu begitu saja, ya itu kesempatan itu tidak akan nyata. Justru kesempatan itu akan berlanjut dalam angan, bukan konkret. Dan itu lebih menyenangkan.
Ada perincian kenapa hal seperti itu bisa menyenangkan. Tere Liye menyontohkan begini, ada seorang pemuda yang memerlukan persiapan enam bulan untuk melakukan pendakian ke puncak Jaya Wijaya. Tiba saatnya pendakian dan hanya tinggal seratus meter menuju puncak, ia justru memutuskan untuk turun. Itu artinya apa? Dia tidak melanjutkan perjalanan.  Perjalanan yang seharusnya bisa membanggakan dirinya karena persiapannya selama ini tidak sia-sia. Perjalanan yang seharusnya terbayarkan dengan pemandangan yang indah. Perjalanan yang seharusnya menjadi kenangan indah selama hidupnya. Akan tetapi, pemuda itu merasa lebih menyenangkan ketika dikenang bahwa dia pernah mempunyai kesempatan itu. Dan memutuskan untuk menebak sendiri apa yang akan dirasakannya jika sampai puncak Jaya Wijaya tersebut. Membayangkan seperti apa hebatnya perasaan itu akan jauh lebih hebat dibandingkan kalau aku benar-benar tiba di sana, itu katanya.
Nahloh, kalau menurutmu gimana? Merasa aneh dengan pernyataan itu? Begitu pun saya.
Ada juga pemahaman yang lain. Misalnya begini, seperti yang ada dalam cerita “Sunset Bersama Rosie”, bahwa Tegar tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengatakan perasaannya pada Rosie sehingga 20 tahun Tegar sebanding dengan 2 bulan Nathan. Yang pada akhirnya, Rosie menikah dengan Nathan. Padahal tanpa diketahui Tegar, ternyata Rosie juga memiliki rasa itu dan sempat menunda pernikannya selama enam bulan hanya untuk menunggu Tegar.
Baiklah, Jika kita tidak pernah berani membuat kesempatan, hilanglah semuanya. Kurang lebih seperti itu pengertiannya. Jadi, setidaknya cobalah untuk berani membuka kesempatan itu dengan tangan sendiri.
Namun ada juga pemahaman yang berbeda. Terkadang kita sudah berani membuka kesempatan itu dengan tangan sendiri –atau dengan tangan orang lain–, justru kesempatan itu hilang. Atau ketika kita sudah mempersiapkan semuanya dengan matang dan siap menyelesaikan kesempatan itu. Akan tetapi, kesempatan itu yang tak mau diselesaikan. Dan kita kecewa. Atau bisa juga, ketika telah menyelesaikan kesempatan itu, justru tidak semenyenangkan pikiran kita. Terkecuali atas kehendak-Nya.
Ya, jika Dia menghendaki, semua kesempatan akan selalu ada.

Minggu, 22 Juni 2014

Ini nyata

Ini nyata. Datang dan pergi. Hitam dan putih. Genap dan ganjil. Pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan dan kesedihan. Ini nyata.
yaa itulah kehidupan. Ada banyak yang memang seharusnya berjalan, bergantian. Bukan beriringan. Bergantian.
Aku selalu paham tentang hal itu. Namun yang tidak aku mengerti, kenapa harus air mata menjadi saksi bisu saat sedih melanda? Kenapa justru pertemuan lebih sadis daripada perpisahan? Walaupun kata mereka, perpisahan itu menyakitkan. Sedang aku, pertemuan sama perihnya dengan belati.
sudahlah, tak perlu bahas lebih lanjut. Nanti kalian akan mengubah haluan pula.

Minggu, 16 Maret 2014

22 menuju 23 #22menuju23

yap sesuai dengan judul, 22 menuju 23, saya akan menulis (berbagai hal) menjelang besdey saya
hihi
gak ada yang spesial sih sebenernya cuma pengen memberikan sesuatu yang beda untuk tahun ini sekaligus memberikan motivasi menulis untuk diri sendiri.
gak tau kenapa, "males" terlalu mendominasi dalam diri ini #eciyebahasanya
ngomongin males, jadi keinget sama tugas akhir kampus nih, udah memasuki tahun kelima berada di kampus.
*lama banget yak?*
seharusnya sih udah lulus tapi emang "males" menghantui dan akhirnya sekarang masih menyandang MAHASISWA :D
selain males, ada beberapa faktor juga tapi emang cuma "males" yang terlalu besar ikut andil dalam semua ini
ahh syudahlah tak perlu mengeluh, nasi udah jadi bubur ayam..
sekarang itu, fokus sama kerjaan yang ada dan menyelesaikan tugas akhir kampus dengan secepat-cepatnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya..

baiklah, kita omongin yang lain aja
btw btw radio kembali mengudara nih #alhamdulillah
karna kemarin selama 1 bulan lebih gak siaran karena studio pindah ke tempat baru jadi off dulu gitu siarannya..
nah tanggal 12 Maret 2014, radio mulai mengudara lagi dah..
seneng sih bisa siaran lagi tapi daerahnya itu jaoohhh beut
but it's okee
*harus profesional yak
sipp sampe jumpah

Selasa, 14 Januari 2014

indahnya ka ranah minang

awal tahun ini alhamdulillah bisa menginjakkan kaki ke ranah minang.
sebenernya gak ada rencana, lebih tepatnya dadakan.
jadi gini ceritanya, adik saya yang berusia 14 tahun ingin ke Batu Sangkar seorang diri tetapi sebagai kakak yang sayang pada adiknya, tidak tega membiarkan adiknya pergi seorang diri ^^
Jumat (3/1/14) malam saya memutuskan bahwa esok hari saya akan menemani adik saya ke ranah minang. Ini benar benar keputusan berat (seberat apa aja deh).
Keberangkatan pun terjadi. Saya berencana hanya mengantar saja dan Selasa udah balik lagi ke Jambi karena kerjaan menunggu *cieee berasa sibuk aje*
okeh sampailah di Sangka sekitar jam setengah sepuluh malam. Dan istirahat pilihan terbaik.
Tidak banyak berubah. Terakhir kali saya ke Sangka itu Idul Adha tahun 2012 lalu. Dan ini kedua kalinya kedatangan saya sejak nenek tiada. Sedih itu pasti karena ketiadaan nenek terasa aneh jika berada di Sangka. Tapi apalah daya. Ini pilihan terbaik Allah. Semoga nenek tenang di sisi-Nya.
Hari kedua mengunjungi rumah etek Vera, adik bungsu ibu, di daerah Pagaruyung. Menuju rumah etek Vera melewati Istano Pagaruyung. Entah berapa kali saya sudah melewati Istano Pagaruyung tapi belum pernah saya mampir ke sana. Ini seriusan loh. Syedih amat yak. But it's ok. Suatu waktu bisa kali ke sana. Amin.
Ini hari kedua itu artinya hari Senin dan itu artinya besok kembali ke Jambi.
Setelah seharian di rumah etek Vera mengubah kepulangan saya. *tepok jidat* kenapa bisa? yaa bisa dongg. Pasangan yang mau nikah aja bisa gak jadi nikah *lho kenapa ngebahas ini?* #tepokJidat
*okeh kembali ke topik*
Berhubung Kamis baru balik ke Jambi. Jadi saya menikmati Balai Baa di hari Baa. Kalo urang minang lai tau arti kalimat itu hihi.
tapi Indonesia itu kan berbagai suku ya jadi gak semua ngerti bahaso minang.
nah kalimat ntuh artinya "Pasar Rabu di hari Rabu".
Di Sungai Tarab memang ada pasar hanya buka satu kali dalam seminggu, Pasar Rabu. Di sana berbagai macam yang dijual: bahan makanan, makanan ringan khas ranah minang, peralatan sekolah, barang pecah-belah, dan masih banyak lagi.
Rabu malam disibukkan dengan acara pertemuan dua keluarga karena adik sepupu saya akan melaksanakan pernikahan. Insya allah akhir Februari akan diselenggarakan.
Dan tinggal saya seorang diri yang belum menikah karena sepupu yang "gede" udah pada nikah. tapi gpp. Menurut saya, tiap orang itu punya rel masing-masing.
Hal ini membuat saya flashback. Dulu saya ingin sekali menjadi penyiar dan alhamdulillah diberi jalan pertengahan tahun 2012 saya diterima sebagai penyiar DIRA FM. Lalu saya ada niat setelah kukerta ingin mengajar di sebuah bimbel. Dan a saya pun kembali diberi jalan oleh-Nya, alhamdulillah saya diterima sebagai pengajar Nurul Fikri Jambi. Saya menyadari bahwa apa pun yang kita inginkan --selama itu baik-- insya allah akan diberi jalan dan kemudahan oleh-Nya. Tentunya semua itu membutuhkan proses.
Begitu juga dengan menikah. Jika memang ada niat, walaupun belum ada calon, insya allah akan dipertemukan dengan pasangan hidup oleh-Nya.
okeh Kamis pun tiba. Saya kembali ke Jambi. Kembali dengan kegiatan.
Oh iya, selama di ranah minang, hati saya tak menentu. Berhubung pergi mendadak jadi saya meninggalkan jadwal siaran tanpa pengganti, alhasil selama di ranah minang berusaha mencari pengganti. Alhamdulillah ada yang bersedia menggantikan tapi ada juga yang tidak bisa. Namanya juga manusia, pasti punya kegiatan masing-masing. Saya memakluminya.
Walaupun tidak terlalu lama di ranah minang, itu sudah cukup bagi saya karena udara di sana sudah membuat saya nyaman, terlebih lagi pemandangannya.
Jika masih ada umur panjang, ingin menjelajahi ranah minang lebih luas.