Rabu, 16 November 2011

Yang Kupunya Hanya Sepetak

yang kupunya hanya sepetak
tanah
diantara ribuan hektar tanah
mereka
jangan usik
sebab aku tak kan menoreh

yang kupunya hanya sepetak
tanah
takkan kubiarkan keegoisan berdiri
takkan ada nurani terjepit
sebab tak cukup tempat itu

yang kupunya hanya sepetak
bukan untuk salah paham
bukan untuk perang dingin,
tangisan halus
dan bukan untuk pembantaian kata
bahkan bukan juga untuk pembelaan
bukan untuk itu
sebab sepetak ini tak cukup untuk hal seperti itu

yang kupunya hanya sepetak
tanah
kan kudirikan komunikasi canggih
bahkan lebih canggih dari media apapun
kan kutanam tumbuhan yang rindang
agar kita bisa bercengkerama
hanya itu
sebab
yang kupunya hanya sepetak

Minggu, 13 November 2011

Putih Ya Putih

Semua orang pasti menginginkan mempunyai ayah dan ibu serta keluarga yang harmonis. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, asalkan bersama orang-orang yang disayangi pasti akan lebih bahagia. Tidak ada yang menginginkan hidup dalam penderitaan, apalagi dalam kebohongan.
Aku tidak tahu apa hidupku ini bisa dibilang bahagia atau tidak. Bukan berarti aku tidak mempunyai keluarga, justru aku mempunyai ayah, ibu, dan keluarga yang lengkap. Tapi ada suatu hal yang sedikit berbeda sehingga aku sendiri bingung, aku harus bahagia atau sebaliknya.
Berawal dari percakapan itu, aku mulai curiga dengan semuanya. Aku bingung harus bagaimana menghadapi ini. Orang-orang di sekitarku kini terasa asing bagiku dan mereka seakan-akan jauh dariku. Pernyataan mereka membuatku begitu sakit.
“Sikap Aya persis nian samo sikap kakaknyo, dan wajahnyo Aya begitu lembut seperti ibunyo.”
Aku tidak menyangka mama mengatakan hal seperti itu. Apa aku bermimpi ketika mendengar pernyataan itu, tetapi jelas rasanya aku mendengar itu. Hatiku kaku mendengarnya dan begitu rapuh jiwaku saat mama berbicara saperti itu. Apa yang terjadi sebenarnya.

***

22 tahun tidak cukup bagiku untuk mendewasakan diri sendiri. Lucu memang kedengarannya tapi pada kenyataannya seperti ini. Aku masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas yang ada di Jambi dan kini aku menduduki semester akhir. Mungkin orang mengatakan bahwa biasanya usia 22 tahun itu sudah cukup dewasa dan bisa dibilang boleh melakukan kewajiban untuk berumah tangga. Tapi berbeda denganku, buat aku usia itu tidak mengukur kedewasaan seseorang. Buktinya, aku sendiri merasa bahwa aku belum cukup dewasa, kadang-kadang masih suka menangis kalau sedang berada dalam kesulitan dan tidak mampu untuk menyelesaikannya. Selain itu, aku belum berpikir terlalu jauh untuk berumah tangga karena aku masih fokus menyelesaikan kuliah dan mengejar mimpi-mimpiku. Terlebih lagi, aku bukan tipe wanita yang suka menjalin hubungan dengan pria, yang kata orang itu namanya pacaran, karena bagi aku, cita-cita nomor satu.
“Kamu mau pulang langsung ato dak, Ya?” tanya Rindu pada Aya.
“Iya, Rin. Mang napo? Ada yang bisa aku bantu?”
“Mo dak temenin aku ke Pasar Baru yang di Talang Banjar? Hehe,” pinta Rindu sambil tertawa.
“Emang mau ngapain ke situ? Mau belanja yo? Dak biasonyo mo belanjo.”
“Bukan nak belanjo, Ya. Tapi mau ketemu temen lamo.”
“Aneh-aneh aja kamu ini Rindu. Ketemu temen lama kok di Pasar Baru.”
“Udah dech, mau temenin ato dak?”
“Iya iya, dak pake’ emosi kalee.”
“Siapo jugo yang pake’ emosi, orang pake’ esmosi.”
Merekapun tertawa dan menuju pasar baru dengan mengendarai sepeda motor. Setiba di sana, ternyata memang benar. Rindu bertemu teman lamanya, namanya Putra. Putra itu orang tuanya berjualan bahan pokok makanan di pasar baru, makanya Rindu bertemu Putra di sana karena saat itu Putra sedang membantu orang tuanya berjualan.

***

“Pa, menurut mama, wajah Aya persis nian dengan yuk Ajeng. Bahkan tingkah lakunya juga hampir mirip dengan Dian waktu kecil dulu. Mama jadi takut.”
“Ma, wajar saja kalo wajah Aya tuch persis yuk Ajeng, dio ‘kan ibu kandung Aya.”
“Justru itu yang membuat mama takut.”
Gub. Jantungku seperti mati rasa dan hatiku telah tergoreskan belati sedalam-dalamnya. Apa yang kudengar ini. Aku telah salah mendengar percakapan ini. Aku salah. Mengapa aku mendengar semua ini. Benar-benar membuatku sakit. Mungkin ini salahku karena telah mendengar percakapan ini, tapi mengapa mama dan papa mengatakan hal seperti itu.
“Siapa yuk Ajeng yang mama maksud? Dan siapa Dian? Katakan pada Aya,” tiba-tiba aku masuk ke dalam kamar mama dan papa.
Seketika itu juga, mama dan papa terkejut melihat aku yang telah masuk dalam kamar mereka. Benar-benar terkejut.
“Begini Aya, mama tadi tuch dak ado bilang Yuk Ajeng ataupun Dian. Kamu salah denger mungkin Aya,” berusaha menghindari.
“Dak. Mama bohong. Tadi tuch Aya jelas nian dengernya. Kasih tau Aya, Ma. Pa, kasih tau Aya. Aya dak suko dibohongin,” meminta sambil menangis.
“Benar, Nak. Tadi papa samo mama dak ado ngomongin yang namanya yuk Ajeng.”
“Aya udah besar, dak biso dibohongin lagi. Kenapo sich mama sama papa dak jujur bae sama Aya. Aya bukan anak kandung mama sama papa kan?”
Mama dan papa diam. Sebenarnya aku takut mendengar jawaban mereka tapi aku harus siap.
“Jawab, Ma, Pa. Jawab pertanyaan Aya,” aku mulai meneteskan air mata.
Mereka tetap diam. Aku begitu ingin tahu semuanya tapi mereka hanya diam.
“Ma, jawab pertanyaan Aya. Apa benar Aya bukan anak kandung mama?” tangisanku semakin menjadi.
“Pa, Aya bukan anak papa ya?”
Aku berusaha semaksimal mungkin agar mama dan papa menolongku tapi mereka tetap pada sudut keterdiaman.
“Jawab, Ma, Pa. Jawab pertanyaan Aya. Jawab,” kian lama suaraku kian keras.
Tangisanku tidak ada artinya buat mereka. Mereka tetap diam, sedang aku butuh jawaban mereka. Aku seakan-akan haus akan pengetahuan, pengetahuan yang seharusnya aku tahu dari dulu. Mereka tidak berusaha mendekatiku, mereka tetap diam, dan hanya bisa meneteskan air mata melihatku. Tak kuasa aku dengan keadaan ini, lalu aku pergi ke luar kamar, lebih tepatnya, keluar rumah.
“Aya, kamu mau kemana, Nak. Jangan tinggalin mama,” mama berusaha mencegahku.
Aku menghiraukan. Aku tetap saja melangkahkan kaki dan menyusuri malam menuju rumah Rindu. Rumah Rindu bisa dikatakan cukup jauh tapi aku tidak merasakan itu karena dalam pikiranku hanya ingin kejelasan. Malam ini semakin larut dan semakin deras saja air hujan yang turun membasahi aku, aku yang berada dalam dunia kebohongan. Benar-benar dingin saat ini, aku butuh pelukan mama dan papa. Aku ingin mereka tapi mereka telah membuatku benci karena kebohongan mereka. Aku pun tiba di rumah Rindu. Awalnya, Rindu tidak mempercayai perkataanku tapi aku berusaha meyakinkannya.
“Percaya Rindu, percaya sama aku. Aku tuch jelas nian denger percakapan mereka. Mereka bilang, wajar aja kalo wajah aku persis yuk Ajeng karena aku anak kandungnya. Trus…” air mataku kembali menetes.
“Trus, mereka juga bilang kalo sikap aku nich juga persis sikap Dian waktu kecil. aku bener-bener dak ngerti, Rin,” kembali aku meneruskan ucapanku.
“Kamu mungkin salah denger, Ya. Kamu tenang dulu ya. Semuanya pasti dak bener yang kamu denger itu,” berusaha menenangkan Aya.
Aku tetap pada keyakinanku. Aku tidak mungkin salah. Tidak mungkin aku salah mendengar. Aku jelas mendengar semuanya. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang bernama yuk Ajeng maupun yang namanya Dian. Siapa mereka. Apa mereka keluargaku sesungguhnya. Aku bingung. Dimana aku harus menemukan mereka. Aku benar-benar tidak tahu. Aku harus mencari tahu semuanya karena aku tidak mau masuk dalam dunia kebohongan. Apapun caranya, aku harus menemukan cara untuk membuktikan semuanya.

***

Hari ini tepat tiga bulan lamanya aku meninggalkan rumah, dan aku juga tidak bertemu mama dan papa. Aku melakukan ini untuk mencari kebenaran yang harus diungkapkan. Hari ini juga hari dimana aku harus mengikuti sidang skripsi karena aku telah menyelesaikan mata kuliah. Sedikit grogi. Tapi wajar saja karena saat ini penentuan hasil pendidikan aku di perguruan tinggi. Persidangan sedikit kaku awalnya, namun berjalan lancar. Aku berusaha mempresentasikan semaksimal mungkin dan menjawab pertanyaan semampu pengetahuanku. Para dosen mengatakan cukup puas dengan skripsi yang aku buat dan aku dinyatakan lulus. Alhamdulillah, perjuanganku tidak sia-sia. Begitu juga dengan Rindu, dia juga dinyatakan lulus.
Aku dan Rindu bersama-sama siap menghadapi hari wisuda. Kamipun mempersiapkan segala sesuatu untuk wisuda nanti. Tidak menyangka akhirnya aku telah menyelesaikan kuliahku walaupun banyak rintangan yang harus aku hadapi. Tapi aku masih belum menemukan kebenaran keluargaku yang sebenarnya. Aku masih dalam keterpurukanku.
“Kamu udah kasih tau mama sama papa kamu kalau besok kita wisuda.”
“Dak perlu, Rin. Ngapain juga aku kasih tau mereka. Mereka udah ngebohongin aku. Kamu tau ‘kan, Rindu. Aku tuch orangnya dak suko dibohongin.”
“Iya, aku tau. Tapi lebih baik, kamu kasih tau. Besok itu ‘kan hari bahagia dimana kamu berhasil menyelesaikan kuliah. Lagian, mereka ‘kan udah membesarkan kamu, menyayangi, dan menjaga kamu. Apapun yang udah mereka lakuin, itu yang terbaik buat kamu.”
“Termasuk ngebohongin aku? Gitu?”
“Ya, mungkin itu juga yang terbaik buat kamu.”
“Kebohongan terbaik buat aku? Aku bener-bener dak ngerti maksud kamu, Rin?”
“Ya udah, sekarang, kamu telpon mama dan papa kamu. Kasih tau mereka ya.”
Aku berusaha mengerti maksud perkataan Rindu walau sebenarnya aku tidak mau memberitahu mereka. Aku menelpon mama. Percakapanku dengan mama hanya sebentar hanya sekedar memberitahu bahwa besok adalah hari wisudaku.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku bangun. Aku dan Rindu bersiap-siap berpenampilan terbaik di hari yang baik. Kami tertawa sambil mengingat hari-hari di masa lalu yang pernah kami lewati bersama. Ada suka, dan juga ada duka. Semuanya masih teringat dengan jelas.
Tepat pukul 08.00 wib, aku dan Rindu tiba di Balairung kampus. Semua wanita memakai pakaian kebaya, dan laki-laki memakai kemeja putih dengan jas hitam. Terlihat sudah dewasanya. Tapi apa aku juga terlihat dewasa, mungkin iya, mungkin tidak. Acara dimulai pukul 09.00 wib. Jantungku berdetak begitu hebat. Aku seperti tidak percaya, apa ini mimpi atau bukan. Aku membayangkan gelar sarjana yang selama ini aku tunggu-tunggu akhirnya kini di depan mata.
“Aya Anggraini.”
Namaku dipanggil. Namaku. Benar-benar membuatku grogi. Aku pun naik ke panggung, menerima toga, dan meraih gelar sarjana. Aya Anggraini, S.Pd, lebih tepatnya. Benar-benar membahagiakan hari ini. Walaupun begitu, hatiku masih merasa ada yang belum selesai dan harus segera diselesaikan. Aku harus menyelesaikannya supaya hidupku lebih membahagiakan lagi.
“Aya.”
Tiba-tiba ada yang memanggilku. Mama. Aku pun langsung memeluk mama karena aku sangat merindukannya. Benar-benar kupeluk erat.
“Maafin Aya, Ma.”
“Selamat ya, Nak. Kamu berhasil jadi sarjana. Jadi bu guru yang baik ya.”
“Makasi, Ma.”
Pelukan terhenti ketika mama menjelaskan sesuatu. Awalnya, mama minta maaf karena selama ini sudah tidak jujur padaku tapi mama hanya menginginkan yang terbaik. Mama tidak bermaksud membohongiku, melainkan membuatku tidak merasa terbebani dengan kenyataan ini. Ternyata memang benar, aku bukan anak kandung mama dan papa. Aku diangkat oleh mereka ketika aku berusia satu minggu. Mereka sebenarnya tidak mengambil aku dari orang tuaku tetapi justru orang tuaku sendiri yang menyerahkanku pada mama dan papa. Mereka menyerahkanku pada mama dan papa karena mereka takut tidak sanggup memberikan yang terbaik untukku. Orang tua kandungku sudah memiliki dua orang anak sebelum aku, dan kalau aku tetap bersama orang tua kandungku, takutnya mereka tidak bisa membesarkanku dengan baik, terlebih lagi tidak bisa membiayai sekolah. Makanya, mereka menyerahkan aku pada mama dan papa karena menurut mereka, mama dan papa bisa membesarkanku dan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi, seperti sekarang ini.
Aku tak kuasa mendengar semua penjelasan dari mama. Semua terasa begitu aneh tapi inilah kenyataannya. Aku sedikit merasa kesal pada orang tua kandungku karena mereka membiarkanku dipelihara orang lain, padahal sepahit apapun keadaannya, aku lebih bahagia tinggal bersama orang tua kandungku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, semua telah terjadi dan aku harus bersyukur karena aku diberi kesempatan oleh Allah swt untuk mengetahui siapa sebenarnya orang tuaku.
***

Sabtu, 12 November 2011

Dunia Akhir, 2011

Tok tok tok tok tok. Begitulah ibu mengetuk pintu kamarku. Makin lama makin cepat. Cepat sekali seperti dunia yang saat ini kujalani. “Iya Bu, sudah bangun,” begitu sahutku. “Cepat ibu tunggu di meja makan”. Ketukan dan suara ibu mengejutkan. Inginnya masih bermain dengan guling. Stop. Aku tak boleh seperti ini lagi. Sudah cukup kebiasaan ini kulakukan hingga aku mampu bertahan di dalam kampus. Bertahun-tahun.

2011, tahun kedua aku berusaha untuk memisahkan diri dari kampus. Tahun pertama gagal karena aku terbata-bata, seperti anak kelas 1 SD yang baru belajar mengeja kata-kata yang tertera di papan tulis, ketika menjawab pertanyaan dari tim penguji. Entah itu grogi atau kurang mengerti apa yang ditanyakan. Entahlah. Saat itu aku seperti tidak sadar. Dan tahun kedua ini harus bisa. Jika tidak, aku akan menjadi orang yang teramat abadi di kampus. “Halo penghuni,” itulah sapaan dari tiap makhluk kampus yang akan kudengar. Dan aku tak mau. Sia-sia saja aku berada di kampus selama ini, dan itu artinya mencicipi uang pemberian orang tua tanpa meninggalkan rasa sedikitpun. Pastinya, ini akan menjadi dunia akhir bagiku.

“Aduh!” kataku sambil mengusap-usap kepala. Entah dari mana datangnya spidol ini. Kulihat keadaan sekitar. Pepohonan masih saja hijau dan rindang, serta daun-daun melambai bersama angin. Jalanan masih saja ramai dipadati. Cuaca hari ini masih cerah seperti tadi pagi. Tapi kenapa ada yang terasa janggal? Ada sedikit perubahan. Kenapa aku sendiri di sini? Kemana yang lain? Tim penguji? “Permisi dek, kok ruangannya kosong ya?” tanyaku sambil menunjuk ruangan, di depanku, pada adik tingkat yang melewatiku. “Oh iya kak, sekitar 15 menit yang lalu ujiannya sudah selesai. Saya duluan ya, kak,” begitu jawaban singkatnya, kemudian berlalu. Apa? Sudah selesai?
***

Senja Kali Ini

senja kali ini. aku di pinggir sungai. di sungai anak-anak
riang berenang. matahari bersinar dan begitu hangat. langit
kemerahan dan gumpalan-gumpalan awan bentuknya berbeda-beda
seperti ingin bermain denganku
aliran air begitu tenang. ingin kurangkai apa yang kuinginkan
tapi. percuma saja. air tetap saja air. bukan buku yang
bisa menampung rangkaian kata. lalu bisa diabadikan
di pinggir sungai. dan senja kali ini. matahari begitu
menghangatkan tubuhku
kemudian tenggelam begitu saja

Selamat Pagi Cinta

berlari
terus berlari
mengejar asa yang telah tertimbun
dalam tong impian

mungkin kau beranjak dari istanaku,
tapi aku tetap berlari
merangkul tahta dunia

dan ini pagi,
menyambut sinar hatiku,
Selamat pagi cinta

Rabu, 09 November 2011

tulang

penyengat bersama olak
mengawali langkah ini
kuayunkan langkah
bertemu aurduri
perantara nusantara

ilalang peneman panjang
langkah tak berhenti melangkah
hingga air tak enggan melihatnya

tiba persimpangan tiga
dua jalur mengapit
tapi tak usah ragu
tujuan langkah
tlah siap didaki

angin hulu

kawan, hampir saja aku membangun gubuk. bukan hanya untukku. tapi kami. tiap detik kami bangun bersama. kerikil-kerikil usang. debu-debu lampau. semen-semen basi. dan juga tiang-tiang sisa bangunan. aku mulai bersahabat dengan tanah di sekitar. mencoba akrab dan terbiasa. namun ia, tak mampu menaklukan tanah. tak mampu melawan angin hulu hingga ia pun terbawa, hulu pula. aku tak bisa menahannya. dan punah sudah pondasi mini yang dibangun.

Senin, 07 November 2011

berhentilah

tak pernah kukikis senyum ini
jika kau datang
tapi saat ini
kehadiranmu melukaiku dan
mereka
maaf
semakin lama kau datang
semakin perih pula aku
kumohon berhentilah
secepatnya
biarkan aku
dan mereka
bernafas semestinya

Sabtu, 05 November 2011

baiklah

ini bukan pertama kalinya bagiku
sudah terlalu sering
bahkan kami sudah berkawan
akrab sekali
jadi kau tak perlu takut

aku sudah paham
bagaimana menghadapi ini
tapi
apa hanya ini yang bisa kudapatkan?
hanya ini yang berkawan padaku?

baiklah
aku terima
mencoba menerima

Kamis, 03 November 2011

belum puas?

aku tak perlu buih_buih terima kasih
tak butuh aneka ragam hormat

setidaknya kalian menghargai
apa yang telah aku lakukan
aku tau, apa yang telah aku lakukan itu
belum seutuhnya benar
tapi setidaknya aku telah berusaha semaksimal mungkin

apa kalian tidak merasakan itu?
atau belum puas?
mau melihatku hingga tak berdaya?
begitu?

Rabu, 02 November 2011

tak apa

jika malam ini tak sanggup mengatakannya
baiklah
tak apa
aku takkan mengikis senyum ini

mungkin malam enggan
untuk membongkarnya
dan
mungkin sinar mentari
akan lebih berarti
malam,
saat ini
bukan aku
tapi
kau yang akan meminta
sebab aku tau
dimana kekosongan itu