Kamis, 31 Januari 2013

Kamis Penghujung Bulan

Kamis, gimana kabarmu menyambut Februari?
apa kamu sedih? sedih karena tidak bisa menemani Januari, sedih karena selama Januari ini tidak berbuat apa-apa, sedih karena tidak ada yang bisa dibanggakan selama Januari ini, sedih karena target tidak tercapai.
atau kamu malah bersorak sorai menyambut Februari?
gembira karena kamu akan bertemu Februari, gembira karena akan ada kejutan yang ingin dilakukan

yap bagaimanapun yang kamu rasakan semoga saja yang terbaik untukmu
karena apa? karena aku sendiri pun tidak tahu harus bersorak sorai menyambut Februari
atau harus berderai air mata
ahh entahlah
bukan aku pesimis
tapi

terima kasih kamis
telah mengantarku sampai di penghujung bulan
semoga kita bertemu kembali

Sabtu, 26 Januari 2013

lieb mich noch einmal

halooooo wie geht's? (apa kabar?) :)
hehe maap yak *bukan memongahkan diri
entah kenapa akhir akhir ini saya lagi rindu dengan salah satu bahasa yang pernah dipelajari ketika putih abu-abu #Deutsch #Germany #Jerman
yap, waktu putih abu abu -tepatnya kelas dua dan tiga- saya mempelajari bahasa #Jerman di sekolah.
karena apa? karena jurusan saya #BAHASA, jadi salah satu keunggulan jurusan itu, mempelajari bahasa #Jerman
I love it *_^
dan hari ini saya merindukan ituu -belajar bersama, menulis bersama, latihan bersama, dan menyanyi bersama-
hayoooo pada bingung kan kenapa menyanyi bersama?
yaahhh waktu kelas tiga kan ada les tambahan gitu dari sekolah, nah saat itulah frau (bahasa Indonesia: guru) mendengarkan beberapa lagu #Jerman (entah itu waktu les atau gag yaa hehe saya lupa)
tapi dari beberapa lagu itu hanya ada satu lagu yang saya tulis lirik lagunya
sumpah demi apa, ntuh lagu keren nian
"Lieb Mich Noch Einmal" (Sayangi Aku Sekali Lagi) -setau saya sihh itu artinyaa-
nahh maka dari itu, berhubung lagi rindu dengan lagu itu -dan bisa aja mengenang masa putih abu abu-, saya cari dehh di mbah google,
ada satu lagu yang saya dapet, judulnya "Vergiss Mich Wenn Du Kannst" (Lupakan Aku Jika Kamu Bisa), lagu ini juga keren kok
mau dengerin? yaudah ke sini ajaa :)
tapi ehh tapi ehh tapi "Lieb Mich Noch Einmal" susah amat ngedapetinnyaa
sekalinyaa dapet ehhh bukan ntuh lagu yang saya cari *ohh so sad :(
tapi tenang aja, gag mudah menyerah donggg
dan sekarang masih dalam tahap pencarian *ciyeee kayak nyari pangeran ajeee hihi
#selamatMencariPut
:)

Jumat, 25 Januari 2013

Oh begini

inget waktu masa masa pertama kali masuk dunia kuliah
waktu itu wejangan wejangan dari kakak tingkat banyak banget -tak terhingga kalau bahasa matematika-
ada yang bilang kalau baru baru masuk kuliah itu pada rajin semua -datang tepat waktu, perhatiin dosen dgn sangat amat serius, dan yang laen laen dah-
oh iyaa, mereka juga bilang kalau udah memasuki semester tujuh, delapan, dan semakin ke atas, pertemuan dengan teman teman itu udah mulai jarang, bahkan bisa diitung.

dan kini saya merasa yang mereka katakan dulu -sekitar tiga tahun yang lalu-
mengakhiri semester tujuh ini, kebersamaan bareng temen temen jarang terlihat -biasanya ngumpul di beranda kampus, nyantai di taman, de el el-
pernah beberapa minggu yang lalu nyantai di taman sama beberapa temen -itu pun karena ada jadwal kuliah tapi dosen gag ada-
it's okee
saya sadar karena sekarang ini waktunya menyelesaikan apa yang harus diselesaikan
dan jarangnya pertemuan dengan mereka karena mereka dan aku memiliki tugas masing masing -SKRIPSI-
tapi walopun saya belom KKN, saya berharap bisa wisuda taun ini jugaa *amin

Jumat, 11 Januari 2013

Bayanganmu (masih) di sini



Saat aku sudah lelah dengan berbagai aktifitas, pastinya aku memilih istirahat agar raga ini bisa bernafas sejenak –mungkin semua orang juga melakukan hal itu, terkecuali pada orang yang tidak memikirkan kesehatannya– dan saat itu juga kenangan itu mengelilingiku –saat aku dan kamu masih bersama–
Bayanganmu (masih) di sini
Satu tahun. Ya kurang lebih satu tahun telah berlalu dengan kesendirian dan tidak ada lagi “kita”. Satu tahun memang telah berlalu tapi kau tahu tidak bagaimana satu tahun itu? Kenangan aku dan kamu masih saja terlintas –dan sempat-sempatnya aku tersenyum–
Saat kamu mengatakan bahwa “lebih baik berteman”, aku lebih memilih diam. Diam untuk memahami kondisi. Diam untuk mengerti pernyataan-pernyataanmu. Diam untuk mengatur nafas. Diam untuk membongkar gubuk yang sudah kubangun –gubuk untuk aku dan kamu–. Diam untuk bisa tahu bagaimana cara agar bisa tersenyum padamu, lagi.
Perkenalan, pendekatan, dan kebersamaan waktu itu memang terasa cepat –seperti makan bakso– tetapi kenapa menghapus kamu begitu terasa lama –seperti mentari berganti bulan–
Setelah satu tahun –vakum menyapamu–, aku mencoba untuk memberi sedikit ruang untuk kamu sebagai teman –sesuai permintaan kamu–. Dan harapanku, dengan sedikit keterbukaan itu, bisa membuat kenangan itu menjauh.
Lantas yang kudapat?
Bayanganmu (masih) disini
Aku bukannya ingin memusnahkan kenangan yang telah terjalin –tapi setidaknya tidak hadir setiap saat– karena aku sadar, dari setiap peristiwa itu memiliki keistimewaan tersendiri dan itu merupakan sesuatu yang harus bisa didokumentasikan dalam sini.
Dan yang paling membuatku takut, dengan adanya bayanganmu –yang selalu hadir di sini–, akan membuat aku salah tingkah padamu dan ingin menarik perhatianmu. Kalau sudah begitu, nanti pikiranku malah ingin kembali padamu, sedangkan kamu tidak menyetujuinya.
Tolonglah, pada bayangan –yang selalu datang–, berikan kesempatan padaku untuk mencari pondasi lain sehingga gubukku nanti tidak akan terbongkar –atau pun hancur–, lagi.

Rabu, 09 Januari 2013

Karena Bunda dan Papa



Sore ini aku sedang menikmati beberapa buku yang terjajar rapi. Memang tiga buku yang menarik perhatianku tapi mengingat kelangsungan hidup untuk beberapa hari ke depan, aku harus memilih satu. Pilihan yang sulit.

“Ketiga-tiganya bagus,” kataku lirih.

“Kalau begitu ambil saja semuanya.”

Tiba-tiba sebuah suara memecahkan kebingunganku di hadapan ketiga buku. Kepalaku dengan sigap menoleh sumber suara. Wajah pemilik suara itu membuatku ternganga.

“Hei, Dam. Apa kabar?”

“Alhamdulillah baik. Kalau kamu pasti baik juga, terlihat dari rautmu,” sahut Sadam dengan santai.

Kami tertawa. Kami melanjutkan pembicaraan di sebuah kafe yang berada di depan toko buku. Hampir dua jam kami berhadapan dan membicarakan berbagai hal semenjak wisuda kampus. Memang sejak wisuda di kampus, empat tahun yang lalu, aku dan Sadam tidak pernah bertemu, bahkan berkomunikasi pun tidak. Aku hidup dengan kehidupanku sendiri, dan Sadam pun juga begitu.

***

“Apa?” tanyaku dengan raut muka penuh kaget.

Selasa, 08 Januari 2013

Sasa



            Sebelum berangkat dari rumah, seperti biasa Sasa mengirim pesan ke 32665, “kuawali pagi ini dengan senyum J”, begitu bunyinya. Setelah terkirim, Sasa langsung melangkahkan kaki dan pergi meninggalkan rumah bersama si hitam yang selama ini setia menemaninya. Dia pastikan hari ini akan lebih baik dari kemarin. Jika mengingat kemarin, dirinya jadi kesal sendiri dan rasanya ingin terbang ke langit yang paling tinggi. Jadi lebih baik tak memikirkannya lagi dan fokus pada perjalanan pagi ini.
            Perjalanan ini sudah menjadi rutinitas dan terkadang Sasa menjadi bosan sendiri. Dalam perjalanan selalu memikirkan berbagai hal, entah itu kehidupan pribadi, keluarga, teman-teman lama, kenangan masa lalu, dan juga kehidupan di masa akan datang. Kali ini Sasa membayangkan bagaimana akan berdiri tegak di hadapan khalayak ramai dan mendapat gelar sarjana. Sungguh membanggakan pastinya. Semua mata tertuju padanya. Jadi senyum-senyum sendiri.
            “Hei, sudah bergeser ya?”

Goresan Qori


Goresan qori
Para pelaku:
Qori     : mahasiswa pecinta kaligrafi
Anisa   : mahasiswa, adik sepupu Qori
Eka      : mahasiswa pecinta kaligrafi
Intan    : mahasiswa, teman Anisa
Tia       : mahasiswa, teman Eka
Lala     : mahasiswa, teman Eka

Panggung menggambarkan sebuah ruangan kelas dengan sejumlah kursi beserta mejanya. Terlihat di sisi kiri dan kanan terdapat jendela yang tidak begitu besar. Sedangkan pintu terdapat di sisi kanan.
Tampak seorang wanita muslim, Anisa namanya, berada di dalam kelas itu, duduk barisan kedua di sisi kanan. Anisa nyaman dengan buku bacaannya itu, terlihat bagaimana tenangnya ia menikmati buku di hadapannya. Tak berapa lama kemudian, Intan memasuki panggung.
Intan    : (berjalan sambil mendekati Anisa) Assalamu’alaikum, Bu ustadzah.
Anisa   : (tersenyum melihat kedatangan Intan) Wa’alaikumsalam. Kamu ini Intan, aku pikir murid mana yang mendatangiku sampai ke kampus.
Intan    : (tertawa) Nisa . . . Nisa. Lucu juga kalau aku jadi murid pengajianmu.
(Sejenak hening. Anisa melanjutkan bacaannya. Sedangkan Intan sibuk dengan ponselnya. Namun sudah beberapa menit, Anisa masih saja berkutat dengan bukunya. Wajah Intan tampak sedikit kesal karena merasa diacuhkan.)
Intan    : (berbicara tanpa melihat Anisa) Sepertinya bacaan yang bagus, sehingga orang di sebelahnya diacuhkan begitu saja.
Anisa   : (menghentikan bacaannya dan melirik Intan) Hmm, maksudnya apa? Kamu menyindirku?
Intan    : (melihat Anisa) Apa dirimu merasa? (tersenyum)
Anisa   : (menggelengkan kepala) Kebiasaan kamu, Ntan.
Intan    : Oh iya Nisa, aku masih tidak mengerti dengan pandangan mereka terhadap kak Qori. Memangnya kak Qori salah apa? Memangnya salah jika kak Qori mengikuti lomba itu? Bukankah siapa saja boleh mengikutinya?
Anisa   : Mungkin karena selama ini kak Qori tidak pernah mengikuti. Dan sekarang tiba-tiba dia muncul dalam perlombaan.
Intan    : Tapi Nisa.. (diam sejenak) apakah itu salah?
Anisa   : (wajahnya menjadi murung) aku merasa semua ini salahku. Keikutsertaaan kak Qori.. (diam sejenak) Itu ideku.
Intan    : (berpindah tempat, ke hadapan Anisa) Anisa, idemu itu bagus. Jangan menyalahkan dirimu, kawan. (tersenyum) Oh iya, tiga hari lagi adikku akan mengikuti perlombaan itu. Mudah-mudahan dia bisa mengikutinya dengan baik dan sebagus dirimu ketika membaca al-qur’an. Hehe.
Anisa   : (tersenyum) Man jadda wajjada
(Tia dan Lala memasuki panggung dan mengucap salam. Anisa dan Intan menjawab salam.)
Tia       : (berjalan ke sisi kiri) La, menurutmu hari ini panas tidak?
Lala     : Bagaimana tidak panas? Matahari tepat sekali di atas ubun-ubun.
Tia       : Tapi kalau di sini panasnya beda, La. Bagaimana ya aku jelaskan padamu.
Lala     : (melihat Tia) Kamu ini kenapa? Tiba-tiba aneh.
Tia       : (melihat Lala) Aneh? Aku aneh katamu? Justru yang aneh itu kemarin sore. (sesekali matanya melirik ke arah Anisa)
(Anisa masih tenang bersama buku bacaannya, sedangkan Intan memperhatikan tingkah laku Tia)
Lala     : Bicaramu kenapa ngelantur begitu, Ti?
Tia       : Kamu itu tidak tahu apa-apa sepertinya. Kamu tidak tahu bukan, bahwa ada keajaiban kemarin sore?
Lala     : Keajaiban apa maksudmu? (diam sejenak) Oh iya, bagaimana karnaval sastra? Eka? Menang?
Tia       : Sedari tadi aku membicarakan itu, La. (wajah kesal) Kau ini, kenapa lambat sekali menangkapnya? (diam sejenak) Ya sudah, lupakan saja!
Lala     : Hehe. Jadi Eka bagaimana?
Tia       : Kamu selalu ketinggalan berita. (melihat Lala) tidakkah kau tahu bahwa kali ini Eka menjadi yang kedua?
Lala     : Kenapa sekarang perkataanmu seperti itu? (terdiam sejenak) Baiklah, lupakan saja! Kembali pada pokok pembicaraan. Maksudmu yang kedua? wajah polos)
Tia       : Kalau kubilang yang kedua, ya yang kedua. Tidak mengerti? (menghirup nafas dalam-dalam) Baiklah saudariku Tia. Begini, ketika puncak karnaval sastra diumumkan pemenang dari tiap cabang perlombaan. Dan untuk cabang perlombaan kaligrafi, pemenang pertamanya itu Qori Maulina.
Lala     : (wajah terkejut) Siapa?
Tia       : Qori Maulina. Perlu kujelaskan siapa dia?
Lala     : Tidak perlu kau jelaskan. Siapa yang tidak mengenal dia di kampus ini? (diam sejenak) Tapi apa aku tidak salah dengar? Dia juaranya? (pandangan tertuju pada Anisa) Bukankah selama ini …
Tia       : Kenapa omonganmu terhenti?
Lala     : Tidak biasanya kak Qori  mau mengikuti perlombaan. Kita semua tahu, bahwa ia hanya melukis untuk dirinya sendiri.
Tia       : Entah benar-benar melukis atau tidak dia. Kita tidak tahu.
Lala     : Aku tahu. Aku pernah melihat hasil karyanya.. (diam sejenak) dan memang bagus.
Tia       : Itu mungkin kebetulan saja, La. Berbeda dengan Eka yang kita tahu bagaimana bagusnya kaligrafinya itu.
(Intan berdiri dan melihat Tia)
Intan    : Jadi kau meragukan kak Qori? Begitu? (memandang sinis pada Tia)
Tia       : Menurutmu? Bagaimana?
Anisa   : (menarik Intan supaya duduk) Sudahlah Intan, tidak ada gunanya. Lebih baik kita duduk manis di sini.
Intan    : Bagaimana bisa aku duduk manis sedangkan dia dengan seenaknya berbicara tanpa berpikir dulu? Apa kau tidak merasa terhina oleh perkataannya? (wajahnya kesal) Kak Qori itu kakakmu, Nis.
Anisa   : Siapa yang tidak sakit hati jika saudaranya dibicarakan seperti itu? Tentunya aku merasakan kesakitan itu. Tapi aku berusaha menerima apa pun perkataan orang, sebab yang tahu kebenarannya hanya Dia. Percuma kita berdebat dengan orang seperti itu. (memandang Tia sekilas)
Intan    : Tapi Nis.. (terhenti)
(Eka memasuki panggung)
Tia       : (berbicara tanpa melihat Anisa dan Intan) Semua sudah jelas. Lihat saja siapa jurinya dan yang menjadi pemenang adalah Qori. Bagaimana? Jelas bukan?
Eka      : (mendekati Tia) Tia, jaga bicaramu. Tidak baik berprasangka buruk seperti itu.
Tia       : Apakah aku mengatakan seperti itu?
Eka      : (berbicara dengan nada kesal) Tapi arah pembicaraanmu mengatakan seperti itu. (diam sejenak) Tia, kita tidak boleh menduga-duga seperti itu. Itu dilarang oleh agama. Kau tahu, bukan? Apa perlu kujelaskan?
Tia       : (melihat Eka) Ada apa denganmu? Kenapa kau berpihak pada mereka?
Eka      : Aku tidak berpihak pada siapa pun. Aku menerima kekalahanku dengan ikhlas. Jadi kenapa kamu yang terlalu membesar-besarkannya? Seakan-akan ingin menghancurkanku.
Tia       : Kenapa kau berbicara seperti itu?
Eka       : Sudahlah. Aku tidak mau berdebat lagi. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa hari ini Pak Toto tidak bisa memberikan perkuliahan sebab ia harus menguji mahasiswanya. Kita diberi tugas. Nanti aku beritahu melalui pesan singkat ke ponsel kalian. Maaf, aku pulang dulu. (mendekati Anisa dan Intan) Maaf atas perkataan dan perbuatan temanku yang kurang berkenan di hati kalian.
(Eka mengucap salam lalu keluar dari panggung)
Tia       : Lala, lebih baik kita keluar saja dari sini.
(Tia dan lala keluar dari panggung)
Intan    : Anak itu.. (melihat ke arah perginya Tia dan Lala) Sepertinya tidak puas jika satu hari tidak membicarakan orang lain. (diam sejenak) Oh iya, Nisa, apa kau bisa ke rumahku sekarang?
Anisa   : (melihat jam tangannya) Sepertinya tidak bisa. Maaf. Besok saja. Hari ini aku mau menemui kak Qori.
Intan    : Bertemu kak Qori? (tersenyum) Ikut ya?
Anisa   : (menggelengkan kepala)
Intan    : Ayolah, Nis! Boleh ya?
Anisa   : (tersenyum) Tidak untuk saat ini, demi kebaikan kak Qori. Kalau kamu ikut, nanti yang ada malah memperburuk suasana.
Intan    : (wajah kesal) Memangnya aku angin puting beliung sampai-sampai memperburuk suasana?
Anisa    : (tersenyum) Intan mau pulang sekarang atau duduk manis di sini sendirian? (beranjak dari tempat duduknya)
(Intan pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Mereka meninggalkan ruangan panggung.)
Panggung menjadi ruang tamu dari sebuah rumah. Ada tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja kecil. Terdapat beberapa kaligrafi menghiasi dinding ruangan itu. Tampak qori sedang duduk di salah satu kursi sambil menjalankan hobinya, kaligrafi.  Terdengar suara pintu yang terketuk dan ucapan salam dari luar rumah.
Anisa   : Assalamu’alaikum
(Qori menjawab salam dan membuka pintu. Anisa memasuki panggung.)
Anisa   : Apa kabar kak?
Qori     : Alhamdulillah baik. (tersenyum) Seperti yang kamu lihat.
Anisa   : Kalau jasmani memang terlihat baik. (diam sejenak) Rohani bagaimana?
Qori     : (tersenyum) Baik, Nisa. Duduk dulu ya. Nisa mau minum apa?
Anisa   : Nisa sedang berpuasa, kak.
Qori     : Oh begitu. Bagaimana keadaan keluarga? Sehat?
Anisa   : Alhamdulillah kak, sehat.
(Qori melanjutkan kaligrafinya. Anisa melihat kaligrafi yang menghiasi di dinding. Tidak lama kemudian, anisa mulai pembicaraan.)
Anisa   : Kenapa sepi? Umi sama abah kemana kak?
Qori     : Abah dan umi pergi menghadiri akad nikahnya kak Hasbi, salah satu muridnya abah.
Anisa   : (mengangguk) Oh begitu. Kakak kenapa tidak ikut? Apa masih merasa… (diam sejenak) tidak enak?
Qori     : Tidak enak bagaimana? (tersenyum)
Anisa   : Kak Qori ini, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Anisa serius kak. Are you okay?
Qori     : Baik. Kakak baik-baik saja, Nis.(tersenyum)
Anisa   : Sebenarnya Anisa benar-benar merasa tidak enak hati dengan kakak. Anisa merasa semua kejadian menimpa kakak, gara-gara keegoisan Nisa. Maafkan Nisa, kak. (mendekati Qori)
Qori     : (melihat Anisa dan berhenti berkutat dengan kaligrafi) Nisa, dalam hal ini tidak ada yang salah dan disalahkan. Siapa pun itu. (diam sejenak) Karena semuanya sudah diatur oleh Allah. Kita tidak bisa seenaknya saja menyalahkan diri sendiri atau orang lain. Justru jika kita menyalahkan diri sendiri atau pun orang lain, itu artinya kita menyalahkan Allah karena Dia-lah yang menghendakinya.
Anisa   : Tapi kak, tetap saja Nisa merasa bersalah atas kejadian itu. Bagaimana bisa berdiam diri ketika kakak dianggap melakukan hal yang tidak benar? (diam sejenak) Kak, mereka telah berani mencaci ukiran tangan kakak? Itu sama saja mereka menyentuh kaligrafi dengan kasar. Mereka dengan seenaknya mengatakan bahwa kaligrafi kakak itu bohong. Palsu lah, apalah. Nisa tidak terima kakak diperlakukan seperti itu.
Qori     : (tersenyum) Kenyataannya bagaimana, Nisa? Apa kakak melakukannya?
Anisa   : (menggelengkan kepala)
Qori     : Ya sudahlah, Nisa. Semua sudah terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Biarkan mereka mau berkata apa. Yang jelas, saat ini kakak masih nyaman.
Anisa   : Sure?
Qori     : Of, course. (tersenyum) Sudah berapa kali kakak katakan pada Nisa, bahwa kaligrafi ini sebagai perantara kakak dengan Allah, semata-mata hanya ingin mendekatkan diri pada-Nya. Dengan goresan seperti ini, kakak sudah cukup merasa nyaman. Kakak hanya sekedar meraih ridho illahi. (diam sejenak) Nisa, apa pun yang kita jalani di dunia ini, asalkan itu masih berada di jalan-Nya, kita pasti akan selalu berada dalam lindungan-Nya dan tentunya membuat hati ini tenang.
Anisa   : (tersenyum) Hati kakak terbuat dari apa ya? Kok bisa sebaik ini sama orang yang sudah melakukan hal yang semena-mena? Nisa bangga memiliki kakak seperti kak Qori.
Qori     : (tersenyum dan melihat Anisa) Terlebih kakak, bangga memiliki adik yang menyayangi kakak.
(Anisa memeluk Qori)

Naskah drama ini lahir bulan Juni tahun 2012 (keikutsertaan dalam sebuah kompetisi)*_^

Jumat, 04 Januari 2013

agresif? Tidak!


Teruntuk pangeran berkuda biru –yang entah dimana keberadaannya.
Ini udah 2013 lhoooo
kamu lagi dimana sih?
Kok sampai sekarang gag nyampe nyampe jugaa? Pegel tau nungguin kamu
Maaf, bukannya aku tak mau mencarimu tapi aku bisa apa
Aku hanya tidak ingin ketika kau sampai, aku tidak berada di tempat
Lalu kau pergi mencariku, dan itu akan memperlambat pertemuan kita
Walaupun aku tahu, Tuhan yang akan mengatur semuanya
Apakah kudamu sakit?
Kakinya terluka? Atau kelelahan menopang ragamu?
Ingin sekali membantu tapi aku bisa apa, sebab tak mampu (bukan seorang dokter –dokter hewan-)
Kamu tahu kan bidangku apa?
Oh iya, bagaimana kau bisa mengetahuinya?
Bertemu saja belum, bagaimana kau tahu tentangku
Baiklah, semoga halangan yang kau hadapi, bisa diatasi sesegera mungkin hingga pertemuan segera terlaksana
Ahaha aku terlalu agresif yaa?
Tolong, jangan sebut aku “agresif”, itu seperti membawa ke dunia ‘negatif’
Aku bukan agresif, tapi hanya ingin sesegera mungkin bertemu denganmu, saling berbagi
Yap, secepat apapun yang kuinginkan, tetap saja keputusan ada di tangan-Nya
O iya, kalau sudah hamper sampai, hubungi aku yaa biar aku bisa menyiapkan segala sesuatunya
Ohhh aku lupa, kita belum bertemu