Selasa, 24 Juni 2014

"kesempatan" dari sudut lain


Aku belajar tentang kesempatan. Belajar tentang itu dari “Sunset Bersama Rosie”-nya Tere Liye.
Dari awal pertama baca, novel itu seperti punya daya magis tersendiri. Selalu membuatku mempunyai waktu untuk menyentuhnya dan memasukinya lebih dalam lagi.
Kesempatan. Apa itu kesempatan? Apakah kesempatan itu sesuatu yang kita buat sendiri? Atau sesuatu yang datang tanpa disadari?
Pasti banyak persepsi tentang kesempatan. Seperti yang diungkap oleh Tere Liye, “Begitulah. Jauh Lebih menyenangkan mengenang sesuatu yang hanya selintas terjadinya. Bahkan dalam banyak kesempatan jauh lebih menyenangkan mengenang sesuatu yang sepantasnya terjadi tapi kita tidak membuatnya terjadi, meski kita bisa dengan mudah membuatnya terjadi.”
Dari rangkaian kalimat itu, bisa diartikan begini, walaupun ada banyak kesempatan yang menyinggahi, tetapi jika kita tidak menyambutnya dan membiarkannya berlalu begitu saja, ya itu kesempatan itu tidak akan nyata. Justru kesempatan itu akan berlanjut dalam angan, bukan konkret. Dan itu lebih menyenangkan.
Ada perincian kenapa hal seperti itu bisa menyenangkan. Tere Liye menyontohkan begini, ada seorang pemuda yang memerlukan persiapan enam bulan untuk melakukan pendakian ke puncak Jaya Wijaya. Tiba saatnya pendakian dan hanya tinggal seratus meter menuju puncak, ia justru memutuskan untuk turun. Itu artinya apa? Dia tidak melanjutkan perjalanan.  Perjalanan yang seharusnya bisa membanggakan dirinya karena persiapannya selama ini tidak sia-sia. Perjalanan yang seharusnya terbayarkan dengan pemandangan yang indah. Perjalanan yang seharusnya menjadi kenangan indah selama hidupnya. Akan tetapi, pemuda itu merasa lebih menyenangkan ketika dikenang bahwa dia pernah mempunyai kesempatan itu. Dan memutuskan untuk menebak sendiri apa yang akan dirasakannya jika sampai puncak Jaya Wijaya tersebut. Membayangkan seperti apa hebatnya perasaan itu akan jauh lebih hebat dibandingkan kalau aku benar-benar tiba di sana, itu katanya.
Nahloh, kalau menurutmu gimana? Merasa aneh dengan pernyataan itu? Begitu pun saya.
Ada juga pemahaman yang lain. Misalnya begini, seperti yang ada dalam cerita “Sunset Bersama Rosie”, bahwa Tegar tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengatakan perasaannya pada Rosie sehingga 20 tahun Tegar sebanding dengan 2 bulan Nathan. Yang pada akhirnya, Rosie menikah dengan Nathan. Padahal tanpa diketahui Tegar, ternyata Rosie juga memiliki rasa itu dan sempat menunda pernikannya selama enam bulan hanya untuk menunggu Tegar.
Baiklah, Jika kita tidak pernah berani membuat kesempatan, hilanglah semuanya. Kurang lebih seperti itu pengertiannya. Jadi, setidaknya cobalah untuk berani membuka kesempatan itu dengan tangan sendiri.
Namun ada juga pemahaman yang berbeda. Terkadang kita sudah berani membuka kesempatan itu dengan tangan sendiri –atau dengan tangan orang lain–, justru kesempatan itu hilang. Atau ketika kita sudah mempersiapkan semuanya dengan matang dan siap menyelesaikan kesempatan itu. Akan tetapi, kesempatan itu yang tak mau diselesaikan. Dan kita kecewa. Atau bisa juga, ketika telah menyelesaikan kesempatan itu, justru tidak semenyenangkan pikiran kita. Terkecuali atas kehendak-Nya.
Ya, jika Dia menghendaki, semua kesempatan akan selalu ada.

Minggu, 22 Juni 2014

Ini nyata

Ini nyata. Datang dan pergi. Hitam dan putih. Genap dan ganjil. Pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan dan kesedihan. Ini nyata.
yaa itulah kehidupan. Ada banyak yang memang seharusnya berjalan, bergantian. Bukan beriringan. Bergantian.
Aku selalu paham tentang hal itu. Namun yang tidak aku mengerti, kenapa harus air mata menjadi saksi bisu saat sedih melanda? Kenapa justru pertemuan lebih sadis daripada perpisahan? Walaupun kata mereka, perpisahan itu menyakitkan. Sedang aku, pertemuan sama perihnya dengan belati.
sudahlah, tak perlu bahas lebih lanjut. Nanti kalian akan mengubah haluan pula.