Sekolah dipenuhi kecemasan seluruh murid kelas 3, termasuk Lara. Kecemasan mereka akan hasil kelulusan nanti, beberapa menit lagi. Lara pun menunggu hasil kelulusan dengan kekhawatiran juga, dan takut tidak bisa menerima hasil yang tidak diinginkan. Bagaimana ia bisa menerima hasil itu dan bagaimana ia mempertanggungjawabkan hasil seperti itu pada orang tuanya. Lara hanya bisa berdoa.
“Sudah siap anak-anak?” kata Ibu Mala.
“Dari tadi, Bu.” Jawab Nino, salah satu siswa kelas tiga.
“Sekarang saja keluarkan hasilnya.” Tambah yang lainnya.
“Iya, Bu. Sekarang saja.”
“Baiklah. Tapi harus janji, tidak boleh mendorong teman. Jangan saling berebutan. Saling bergantian ya.”
“Iya, Bu.”
Kemudian ibu Mala mulai mengeluarkan papan pengumuman kelulusan. Lara berhasil berdiri paling depan. Bersama Ita, sahabatnya. Lara berusaha mencari nomor ujiannya. Awalnya Ita yang telah berhasil menemukan nomornya. Dinyatakan lulus. Tapi Lara belum juga menemukan nomornya sendiri. Kemudian Ita membantu Lara. Lara berusaha teliti mungkin mencari dan mengamatinya dengan baik-baik. Dan akhirnya ditemukan. Lara menemukan nomornya dan juga dinyatakan lulus. Lara dan Ita sangat bahagia sekali. Akhirnya mereka bisa menyelesaikan pendidikannya.
Keesokan harinya, Lara sibuk mengurusi ijazah dan menentukan sekolah mana yang akan ia tuju selanjutnya. Sekolah memberikan dua pilihan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak muridnya, begitu juga bagi Lara. Lara telah menentukan pilihan sekolahnya, yang pertama yaitu SMAN Maju Bersama, sekolah yang diinginkannya sejak duduk di bangku lanjutan pertama, dan SMAN Luhur, sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
Setelah menunggu beberapa hari akhirnya keputusan itu pun diumumkan. Keputusan yang akan membuat Lara semakin mudah untuk mencapai cita-citanya. Sebab hari ini dimana sekolah menengah atas akan mengumumkan siswa-siswi yang telah berhasil lolos dalam seleksi penerimaan siswa tahun ini. Lara pergi ke sekolah pilihan pertama bersama ibunya. Awalnya tidak begitu mengenal daerah sekitar sekolah itu, namun berhasil ditemukan juga.
“Alhamdulillah.” Ucap syukur Lara.
Lara bersyukur karena diberikan kepercayaan untuk menjadi salah satu siswa di sekolah ini. Ternyata Lara bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah yang sangat diinginkannya selama ini dan ia tidak akan menyia-nyiakannya. Tidak hanya Lara, sebagian besar teman-teman Lara juga diterima di sekolah ini, termasuk Ita. Perkiraan Ita tidak tepat. Ita berpikir bahwa ia tidak akan diterima di sekolah ini dan tidak bisa bersama Lara lebih lama. Tapi nyatanya, Ita diterima dan mereka masih bisa tetap bersama. Benar-benar membahagiakan.
“Pengembalian formulir dan penyelesaian administrasi diberikan waktu 5 hari sejak hari ini dan jika melewati batas, siswa dianggap batal.”
Lara mengulang membaca kalimat itu. Memang tidak ada yang menarik, namun bagi Lara, ini sangat menarik. Waktu 5 hari itu tidak lama. Ia tahu bahwa orang tuanya pasti memberikan yang terbaik untuknya. Lara pun yakin bahwa ia akan mengikuti pendidikan di sekolah ini. Tahun ini juga.
“Nak, ayah sedang dan akan berusaha untuk sekolahmu. Doakan ayah.”
“Pasti, Yah. Lara selalu berdoa agar ayah diberikan kesehatan dan diberi rezeki supaya Lara bisa menggapai cita-cita Lara.”
“Ibu juga akan berusaha.”
“Terima kasih, ibu, ayah. Lara sayang kalian.”
Mereka pun berpelukan. Begitu hangatnya. Lara sangat menyayangi orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Mereka tidak hanya bertiga, sebab Lara memiliki seorang adik. Odi namanya. Odi telah mengikuti pendidikan sekolah dasar dan kini duduk di bangku kelas 5. Mereka bukan dari keluarga yang mampu, melainkan keluarga kurang mampu. Namun kenyataan ini tidak mematahkan semangat Lara untuk mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Lara ingin menjadi dokter karena ia ingin memberikan pelayanan kesehatan kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama kepada mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Lara berpikir, kesehatan itu penting sebab jika kita sehat, kita akan nyaman melakukan apapun kegiatannya.
Waktu telah berjalan empat hari dan besok adalah hari terakhir. Namun sampai sekarang Lara belum menyelesaikan administrasi. Bukan ingin menunda namun memang masih ada yang kurang. Lara berusaha menerima walaupun sebenarnya Lara sudah merasa ketakutan. Takut jika ia akan gagal tahun ini.
“Nak, apakah besok itu benar-benar hari terakhir?” Tanya ayahnya.
“Iya ayah.” Jawabku.
“Seandainya Allah mengizinkanmu untuk melanjutkan pendidikan tidak tahun ini, tapi tahun depan. Bagaimana?”
Lara terdiam. Tidak bisa menjawab. Pertanyaan yang sulit. Antara keinginan dan kenyataan. Lara berusaha mengeluarkan kata-kata namun air mata yang berhasil mendahuluinya.
“Lara, kami tidak bermaksud mematahkan semangatmu tapi ayah dan ibu hanya memberimu pilihan yang mungkin akan terjadi.” Jelas ibu.
“Ya sudah. Hapus air matamu. Sekarang Lara tidur. Ayah dan ibu akan berusaha semaksimal mungkin.” Tutur ayah.
Lara pun menghapus air mata dan pergi meninggalkan orang tuanya menuju kamar tidur. Lara berusaha menenangkan diri dan masih berharap.
Esoknya, Lara masih dalam pengharapan. Berharap akan mengikuti pendidikan tahun ini. Semoga saja. Namun orang tuanya belum memberi tanda itu. Pikir Lara, apa benar ia akan melewati kesempatan ini dan melanjutkannya tahun depan.
Waktu terus berjalan. Sekarang pukul 11.00 wib dan belum ada tanda-tanda kehidupan bagi Lara. Tanpa disadarinya, Lara pun kembali meneteskan air mata sambil mengingat bahwa hari ini ialah hari terakhir, lebih tepatnya dua jam lagi akan ditutup. Tapi Lara masih berdiam diri di rumah. Orang tua Lara masih berusaha memperjuangkannya. Berusaha membantu Lara untuk mengejar cita-citanya.
“Maafkan ayah, Nak. Ayah sudah berusaha namun inilah kemampuan ayah.”
“Ibu juga sudah berusaha meminjam sama Ibu Retno, tapi karena hutang yang kemarin belum lunas jadi dia tidak mau memberikan pinjaman lagi. Sedangkan yang lain, juga memerlukan uang untuk membiayai keperluan anak mereka.”
Kembali air mata menemani Lara. Semakin lama semakin deras. Lara tak bisa menahannya. Lara benar-benar akan kehilangan kesempatan ini, pikirnya.
“Baiklah. Lara menerima ini. Lara tidak akan marah pada ayah dan ibu. Justru, Lara berterima kasih pada ayah dan ibu karena sudah berusaha untuk Lara. Terima kasih sekali. Terima kasih karena kalian telah berjuang untuk Lara. Lara berusaha menerima semua ini. Mungkin ini yang terbaik untuk Lara.” Tutur Lara sambil mendekati orang tuanya dan masih dalam keadaan isakan tangisnya.
Ketakutan ini terjadi juga. Sebelumnya Lara telah menduga peristiwa seperti ini namun Lara menangkisnya dengan mempercayai bahwa Allah akan membantunya. Namun mau bagaimana lagi, inilah kenyataan yang harus diterima Lara. Lara harus memahami kemampuan ayah dan ibunya.
“Ita?” Kata Lara.
Lara pun menghapus air matanya. Dan terkejut melihat kehadiran Ita.
“Kenapa kamu tidak cerita sama aku, Ra? Kamu anggap aku apa?” Tanya Ita.
“Apa Ta? Kamu bicara apa? Kamu sahabat aku tentunya.”
“Sahabat? Kamu bilang sahabat? Kalau kamu anggap aku sahabat, lantas kenapa kamu tidak berbagi semua ini denganku.”
“Berbagi apa?”
“Aku sudah mendengar semuanya. Kamu tidak perlu menutupinya lagi. Sekarang kita pergi ke sekolah kita.”
“Mungkin ini takdir aku, Ta. Takdir bahwa aku akan melanjutkan pendidikan tahun depan. Lagi pula, aku sudah banyak merepotkanmu.”
“Aku tidak merasa direpotkan. Ya sudah, Lara aku ikhlas membantumu karena aku sudah menganggapmu seperti saudara. Dan sekarang aku wajib membantu saudaraku yang membutuhkan pertolonganku.”
Kemudian Ita, Lara, dan ibu Lara pergi ke sekolah. Waktu telah menunjukkan pukul 12.45 wib. Langkah mereka semakin dipercepat. Di tengah perjalanan mereka bertiga sambil berdoa, semoga masih diberi kesempatan. Terik matahari tidak dihiraukan. Dan akhirnya mereka sampai di tempat pengembalian formulir dan penyelesaian administrasi, pukul 12.55 wib. Sepi. Memang sudah sepi karena yang lain sudah selesai menyelesaikan tahap ini. Dan aku pun terdaftar sebagai siswa di sekolah ini, tahun ini juga.
“Terima kasih, Ta. Terima kasih sekali.”
Mereka berdua pun berpelukan. Pelukan hangat persahabatan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar