*tarik napas trus lepasin pelan_pelan
waktu berjalan begitu cepat sampe_sampe gag terasa aja bentar lagi memasuki semester 6. Aiyh, berasa tua gue di kampus, haha
*baru nyadar kalo udah tua
tapi kayaknya belum tua_tua amat deh yaa. Ok lupakan masalah "tua" karena bisa laen kali dibahas.
btw btw semester 6, perlu mempersiapkan diri lebih baik lagi (kayak apaan aja yak nyiapin diri, hehe). Hmm tapi emang harus gitu, kalo gag ntar ketinggalan kereta. Ntar yang lain udah pada mau nyampe, ehh akunya malah belum bisa nyalain keretanya. Kan gawat jadinyaa, iya kan? #ayojawabiya.
Menghitung hari menghadapi semester 6 dan harus siap lahir batin. Harus banyak belajar, rajin baca buku, rajin nulis, pokoknya rajin_rajin dehh.
Intinya, semester 6 itu harus lebih bangkit lagi. Pengennya sih udah punya judul dan seminar proposal, hehe. Amin aja dah yaakk.
amin ya Allah
yaa semoga saja semester 6 ini makin lancar
*_*
Jumat, 24 Februari 2012
Selasa, 21 Februari 2012
Anisa Untuk Al
“Maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu. Ketika mas membaca surat ini, aku sudah resmi menjadi istri orang lain. Aku telah menikah dengan laki-laki pilihan ayahku. Aku tak berniat untuk mengkhianatimu, mas. Tapi aku tak mungkin pula tidak menuruti perkataan ayahku. Ternyata pernikahanku ini telah dibicarakan sejak setahun yang lalu, hanya saja aku baru diberitahu sekitar dua bulan yang lalu. Aku pikir, kepulanganku dua minggu yang lalu bisa membatalkan pernikahanku tapi ayah sakit keras dan beliau memintaku untuk segera menikah dengan mas Surya.
Bukannya aku tidak mau mempertahankanmu mas tapi keadaan ayah saat itu yang membuatku untuk menuruti perintahnya. Setelah akad nikah, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku kalut. Aku ingin kamu yang menenangkanku di saat itu, mas. Sempat terlintas olehku untuk kembali padamu. Tapi aku berfikir, jika aku kembali padamu berarti aku akan membuat ayah kecewa walaupun ayah sudah tiada tapi di sana ayah pasti melihatku. Dan aku tidak ingin ayah bersedih hati di alam sana. Jadi aku teruskan pernikahanku.
Terima kasih untuk kasih sayang yang mas berikan terhadapku. Aku tahu itu kasih sayang yang tulus karena aku merasakan bagaimana kamu memperlakukanku selama ini. Tiga tahun sudah cukup membuktikan ketulusan menerimaku. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mengurai cerita kita. Cerita yang kita ukir bersama, mas. Cerita yang penuh suka duka dan kamu tak pernah berhenti menggenggam tanganku. Kamu begitu hangat padaku dan juga keluargaku walaupun ayah kurang menyenangimu. Tapi semangatmu memperjuangkan tali kita begitu luar biasa. Kenangan kita terlalu indah untuk dilupakan, mas. Terima kasih untuk segalanya.
Kepergianku bukan berarti melenyapkanmu, mas. Aku harap, Anisa masih berada di sampingmu. Dan aku yakin, Anisa adalah orang yang tepat untukmu. Anisa adalah sahabat terbaikku, mas. Kamu pasti tahu itu. Aku juga yakin, Anisa tidak akan beranjak darimu karena dia tidak sepertiku yang berlari darimu. Mas tenang saja, Anisa akan menemani hidupmu.
Aku titip Anisa padamu. Jaga dia baik-baik sebagaimana kamu menjagaku sewaktu kita bersama. Jangan sakiti dia, mas. Jangan pula kamu menyalahkan kehadirannya karena aku. Jadilah imam untuknya. Kasihi dia dengan ketulusan yang kamu punya. Pertahankan ia sampai ajal memisahkan kalian. Aku merestui kalian, mas. Aku sangat merestuimu dan Anisa.
Sekali lagi, maaf. Maaf, mas. Aku benar-benar tak bermaksud menyakiti hatimu atau mempermainkan perasaanmu. Ini yang terbaik untuk kita. Untukmu, aku, dan Anisa.”
Sepucuk surat itu dibaca oleh Aldi. Aldi menangis. Aldi menangis di atas kursi kantornya. Bahkan sampai kehadiran Anisa di hadapannya pun, air mata Aldi masih bertahan. Tanpa ragu, Aldi memberikan surat itu.
“Ternyata Dia tidak main-main.” Kata Anisa sambil meletakkan surat itu di meja setelah membaca surat itu.
“Maksudmu, Nisa?”
“Seminggu sebelum kepergian ke rumah orang tuanya, Dia memintaku untuk menemani hari-hari mas Aldi sampai di hari tuamu jika Dia tidak kembali lagi.”
Aldi terdiam. Masih menatap sepucuk surat yang tergeletak di hadapannya.
“Dia memang begitu. Melakukan hal-hal gila, hal-hal yang tidak pernah terlintas oleh orang-orang di sekitarnya.”
“Keterlaluan sekali dia. Pantas saja, sebelum kepergiannya, Dia selalu membicarakanmu dan aku disuruhnya untuk mengantar jemputmu ke kantor dengan alasan rumah kita satu arah. Tapi ternyata ini artinya dibalik semua ini.” Jelas Aldi.
“Tapi jika mas tidak bersedia dengan ide gilanya, tidak apa-apa juga.”
“Bagaimana bisa aku mengelak dari ide gila itu?”
***
Mawar Bersemi
Wajah Intan sedikit masam. Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat wajahnya yang tidak mengenakkan itu.
“Sudah berapa banyak lelaki yang sudah kamu sakiti hatinya?” Pertanyaan Intan dengan tegas dan seolah-olah membuatku menjadi orang yang terjahat bagi kaum adam. Sungguh terlalu Intan ini.
“Sudahlah, kamu tentu tahu mengapa aku begini.” Jelasku pada Intan dan berharap Intan tidak akan mempermasalahkan ini lagi.
“Aku tidak ingin kamu terlalu larut dengan mawar itu, Febi. Nanti yang ada penantianmu selama ini sia-sia.” Begitulah tanggapan Intan yang kesekian kalinya mengenai mawar. Mawar yang kupetik empat tahun yang lalu di taman. Mawar yang membuatku tertarik untuk menjaganya. Mawar istimewa kunamai. Bagaimana tidak? Karena mawar itu akan mengantarkanku pada seorang lelaki yang akan menemani hidupku sepanjang masa. Jika mawar itu telah bersemi, maka aku akan segera bertemu dengannya. Dan entah mengapa aku percaya akan hal itu.
Intan menyodorkan beberapa foto laki-laki padaku. Dan aku menolak. Maaf, bukannya aku sombong atau merasa cantik atau pilih-pilih, tapi sudah jelas aku menunggu mawar bersemi.
“Febi, kamu masih percaya dengan mawar bersemi, setelah penantianmu empat tahun ini? Bayangkan Febi, kamu sudah empat tahun menunggu, tapi apa hasilnya? Nihil ‘kan?”
“Kamu masih ingat tidak ketika pertama kali aku mulai menunggu mawar itu? Aku mengatakan kalau aku akan menunggu, karena aku yakin mawar akan bersemi, suatu saat nanti. Jadi kamu tidak perlu mempertanyakan lagi. Aku mengerti kenapa kamu bersikap seperti ini Intan, tapi maaf sekali untuk yang ini. Lagi pula, aku pernah mengikuti saranmu untuk menerima kehadiran laki-laki, tapi nyatanya apa? Yang selingkuh, yang belum bisa lupain mantan, yang orang tuanya tidak setuju. Aku pernah mengikuti saranmu dan sekarang aku minta sama kamu untuk mengerti aku.” Jelasku panjang lebar pada Intan. Dan lagi-lagi aku berharap Intan kali ini bisa mengerti.
***
Malam ini aku menghadiri acara ulang tahun Kiki, adik temanku. Walaupun Kiki itu adik dari temanku, tapi aku juga mengenal dekat Kiki karena dulu rumah kami berdekatan. Kiki terlihat berbeda dari sembilan tahun yang lalu. Aku ditemani Diko, kakaknya Kiki. Kami berdua bercerita sambil mengenang masa kecil. Bayangkan saja, aku bersama Diko dan kedua adiknya bermain karet. Lucu sekali. Diko sepertinya malu-malu jika mengingat hal itu.
“Febi, aku bersyukur atas pertemuan kita kembali. Tidak menyangka sembilan tahun berlalu dan kita kembali bertatap muka.”
“Aku juga, Diko. Ternyata ada pertemuan lagi.” Kataku sambil tersenyum.
Hening sesaat. Kemudian, Diko mulai beraksi.
“Febi, semenjak kita bertemu lagi aku merasa bahagia dan aku merasa nyaman ketika bersamamu.” Ucap Diko sambil menatapku. Aku membalasnya dengan senyuman. Diko berkata lagi, “Aku harap kita bisa bersama. Aku ingin menemanimu. Maukah kamu melengkapi hidupku?”
“Maksudmu?”
Diko mengatakan ingin menjadi pasanganku. Aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Dan aku memutuskan untuk melarikan diri. Aku pulang sebelum acara berakhir. Diko mengejarku namun sia-sia. Maaf Diko, bukan maksudku untuk menolak niat baikmu hanya saja aku masih menunggu mawar bersemi. Walau tak bisa kupingkiri kalau aku juga merasa nyaman denganmu dan tak ingin ada perpisahan lagi di antara kita. Namun apa daya sebab aku percaya pada mawar.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan mata sembab. Masih tak percaya dengan peristiwa di rumah Diko. Sudahlah aku tak bisa apa-apa lagi. Jelas-jelas aku telah meninggalkan Diko dan tidak tahu akan kuletakkan dimana muka ini jika bertemu dengannya. Seperti biasa, aku membuka jendela kamar dan betapa terkejut melihat keadaan luar rumah. Entah berapa tangkai mawar yang tersusun menjadi sebuah kalimat “Ich Liebe Dich”. Dan kulihat Diko berada di tengah-tengah mawar itu. Oh my God!
Kini aku berada di hadapan Diko. Aku minta maaf padanya atas peristiwa di rumahnya dan menjelaskan pada Diko bahwa aku tak bisa menerima kehadirannya karena aku menunggu mawar bersemi. Diko tersenyum dan memberikan setangkai mawar yang bersemi. Aku menganga dan bisa dibilang wajahku saat itu polos sekali. Tidak bisa berkata.
Diko menjelaskan padaku tentang setangkai mawar yang ia berikan padaku. Mawar itu diberikan oleh neneknya sekitar empat tahun yang lalu. Diko menuruti pesan neneknya untuk merawat mawar itu dan bersabar menunggu mawar itu bersemi. Jika mawar telah bersemi, itu artinya Diko akan bertemu dengan pasangan sejatinya. Tak terasa aku menitikkan air mata mendengar penjelasan Diko. Kenapa pesan neneknya begitu mirip dengan pesan yang kuterima di dalam mimpi? Jika memang benar, tapi kenapa mawarku tidak bersemi?
Aku langsung pergi ke kamar. Kulihat mawar. Aku tak bisa menahan air mata ini untuk ikut merasakan kebahagiaan. Mawarku bersemi.
***
Sabtu, 18 Februari 2012
Dewara
Tidak lelah Dewa mondar-mandir sedari tadi di hadapan ibunya. Raut wajahnya penuh kegelisahan.
“Wa, kita harus terima kenyataan ini.” Ucap ibu Ajeng pada anaknya, Dewa, yang masih saja mondar-mandir di hadapannya.
“Tapi Bu, bagaimana dengan Ara?”
“Kita jelaskan baik-baik.”
Dewa tidak menjawab lagi. Ia benar-benar tidak siap dengan kenyataan. Dewa tidak bisa lagi bersama Ara. Ya, memang benar. Dewa tidak bisa berada di samping Ara selamanya.
Pintu rumah Dewa seperti ada yang mengetuk. Kemudian, ibu Ajeng membuka pintu. Nyonya Shelly datang. Ibu Ajeng menyambut dengan hangat kedatangan Nyonya Shelly. Ibu Ajeng, Nyonya Shelly, dan Dewa berada di ruang tamu. Mereka berbincang mengenai Ara. Nyonya Shelly berniat untuk mengambil Ara saat itu juga. Dewa terkejut. Sebab ia tak menyangka kalau Nyonya Shelly akan mengambil Ara secepat ini. Dewa meminta pada Nyonya Shelly agar membiarkan Ara tinggal di rumahnya beberapa hari lagi. Sebenarnya Nyonya Shelly tidak bisa menahan perasaannya untuk tinggal bersama Ara, namun ia mengerti keadaan Dewa dan ibu Ajeng.
Ara pulang dari sekolah. “Assalamu’alaikum.” Sapa Ara seperti biasanya ketika memasuki rumah. Ibu Ajeng, Dewa, dan Nyonya Shelly menjawab salam Ara. “Wa’alaikumsalam.” Ara terkejut melihat Nyonya Shelly yang telah duduk di ruang tamu bersama ibu Ajeng dan Dewa. Setelah itu, Ara langsung keluar dari rumah. Ia berlari. Nyonya Shelly ingin mengejar Ara namun Dewa meminta pada Nyonya Shelly agar membiarkan ia saja yang mengejar Ara. Nyonya Shelly menangis lalu pamit pulang pada ibu Ajeng.
Dewa terus mengejar Ara. Sampailah mereka di taman. Ara tidak sanggup lagi berlari. Ara menangis.
“Kenapa? Kakak rela membiarkan Ara pergi? Atau memang itu keinginan kakak? Ara menyusahkan kakak dan ibu?”
“Nyonya Shelly itu ibu kandungmu, Ara. Beliau mama Ara. Dan memang sewajarnya Ara tinggal bersamanya.” Jelas Dewa pada Ara dengan tatapan penuh keyakinan.
“Memangnya masih bisa dibilang orang tua setelah membuang anaknya sendiri?”
“Dia tidak membuangmu, Ra. Dia saja tertipu oleh bibimu. Bibimu yang telah membuatmu seperti ini. Bukan dia. Dia juga korban, sama sepertimu.”
“Itu hanya bualan yang dibuatnya. Kakak sudah termakan oleh omongannya. Jangan percaya, Kak.”
“Harus berapa kali lagi kakak menjelaskannya padamu, Ra? Apa sekarang kakak harus menjelaskannya lagi supaya kamu paham?” Begitulah Dewa. Berusaha meyakinkan Ara bahwa Nyonya Shelly memang benar orang tua kandung Ara. Kenyataan itu mulai terungkap semenjak Dewa bekerja di sebuah perusahaan swasta milik teman Nyonya Shelly. Ketika itu, Nyonya Shelly terjatuh di tangga dan ditolong oleh Ara yang kebetulan mengantar berkas Dewa yang tertinggal di rumah. Dari peristiwa itulah, Nyonya Shelly merasa ada yang aneh ketika ditolong oleh Ara. Ia merasa dekat sekali dengan Ara. Kemudian, Nyonya Shelly mulai mencari informasi mengenai Ara. Dan pada akhirnya, Nyonya Shelly sudah bisa memastikan bahwa Ara adalah anaknya yang selama ini dicarinya.
“Kak, sampai sekarang pun Ara masih menganggap kak Dewa dan ibu adalah keluarga Ara. Kalianlah keluarga Ara yang sebenarnya. Bukan Nyonya Shelly atau siapapun.”
“Iya, kakak tahu. Tapi bagaimanapun juga, Nyonya shelly itu ibu kandung Ara.”
“Ara masih belum mengerti kenapa seperti ini.”
“Lambat laun kamu akan mengerti, Ra.” Tutur Dewa sambil tersenyum pada Ara.
Ara masih dalam linangan air matanya. Ia benar-benar tak menyangka akan begini jadinya. Ia memeluk Dewa dengan sangat erat. Hari semakin sore. Senja menyapa. Dewa berusaha melepas tangan Ara tapi genggamannya begitu kuat. Dewa memanggil tapi tidak ada respon. Dewa melihat Ara. Ternyata mata Ara terpejam dan raut wajahnya pucat. Dewa panik. Kemudian Dewa membawa Ara ke rumah sakit.
Dewa menunggu di ruang tunggu.
“Bagaimana keadaan Ara? Kenapa dia bisa seperti itu?” Tanya Nyonya Shelly dengan gelisah ketika datang ke rumah sakit.
Dewa menjelaskan pada Nyonya Shelly tentang peristiwa di taman. Nyonya Shelly menangis. Tak lama kemudian, dokter keluar. Nyonya Shelly dan Dewa mendekati dokter dan bertanya keadaan Ara.
“Dia sudah lebih baik. Sepertinya maag yang ia derita sudah parah sekali. Besok pagi saya akan memeriksanya kembali. Mudah-mudahan tidak apa-apa.” Jelas dokter kemudian berlalu.
Dewa mempersilahkan Nyonya Shelly untuk melihat keadaan Ara namun Nyonya Shelly menolak. Nyonya Shelly tidak mau menambah keadaan Ara tambah parah. Ia justru menyuruh Dewa untuk menemani Ara. Dewa masuk ke dalam kamar Ara. Terlihat Ara masih terpejam. Dewa duduk di samping Ara. Ia menitikkan air mata tanpa bersuara dan memegang tangan Ara. Tak terasa, mata Dewa pun terpejam.
Beberapa jam kemudian, Dewa terbangun. Ia melihat Ara masih tertidur. Dewa beranjak dari tempat duduknya. Ketika Dewa ingin keluar dari kamar, Ara memanggil Dewa. Ara terbangun. Ara meminta Dewa untuk tetap di sampingnya.
“Kak, apapun yang terjadi, Ara tetap bersama kalian. Bersama kakak dan ibu.” Ucap Ara dengan pelan-pelan sambil menitikkan air mata.
“Sudahlah, jangan pikirkan masalah itu.” Balas Dewa sambil tersenyum dan menghapus air mata Ara.
“Tapi Kak, Ara tidak mau berpisah sama kakak dan ibu. Ara sayang kalian.”
“Ra, kakak sama ibu juga tidak mau pisah sama Ara. Kakak sama ibu juga sayang sama Ara. Tapi kita tidak bisa seperti dulu lagi. Begini ya, sekarang Ara sudah bertemu dengan ibu kandung Ara. Jadi Ara harus tinggal sama beliau. Lagi pula, Nyonya Shelly bisa membiayai kebutuhan sekolah Ara sampai perguruan tinggi.”
“Jadi kakak tidak mau lagi membiayai Ara? Lagi pula, Ara tidak apa-apa tidak meneruskan ke perguruan tinggi asalkan bisa tinggal bersama kakak dan ibu.”
“Bukannya kakak tidak mau membiayai sekolah Ara tapi sekarang ada Nyonya Shelly, ibu kandung Ara. Dia berhak untuk hidup bersama Ara. Pokoknya Ara harus kuliah, supaya bisa menggapai cita-cita Ara. Kalau Ara tidak mau kuliah, terus Ara tidak bisa mencapai cita-cita, itu berarti Ara sudah menyakiti ibu. Ara mau melihat ibu sedih?”
Ara menggeleng. Kemudian Dewa meneruskan omongannya. “Makanya, Ara harus kuliah. Nanti kalau Ara sudah berhasil, pasti ibu bangga sama Ara. Iya ‘kan?” Ara tersenyum. Dewa menggenggam tangan Ara. Tak lama kemudian, mata Ara terpejam lagi. Dewa kembali ke rumah.
Dewa berada di kantor. Ia sedang menyelesaikan tugasnya dan ketika itu, Nyonya Shelly mengiriminya pesan. Nyonya Shelly mengatakan bahwa ia minta maaf karena harus membawa Ara ke luar negri. Ternyata Ara memiliki penyakit leukemia dan harus diobati dengan cepat. Makanya, Nyonya Shelly mengobati Ara ke luar negri sebab Nyonya Shelly memiliki teman seorang dokter yang hebat dan ia yakin, temannya bisa mengobati anaknya.
Dewa langsung ke rumah sakit namun terlambat, Ara sudah keluar dari rumah sakit dari tiga jam yang lalu. Dewa menelepon Nyonya Shelly tapi tidak diangkat. Dewa terus berusaha namun hasilnya nihil.
Dewa terkulai lemas di bangku taman. Ia mengingat peristiwa kemarin ketika ia masih bersama Ara. Tak lama kemudian, ponsel Dewa berdering. Ternyata Nyonya Shelly. Ara dan Dewa berbicara. Ara meminta maaf pada Dewa atas kepergiannya. Ara menangis dengan terisak.
“Ra, kamu jangan nangis. Kamu harus semangat. Kakak mengerti kepergianmu. Kamu tidak perlu khawatir, kakak sama ibu tidak apa-apa. Sekarang yang kamu butuhkan adalah Nyonya Shelly, ibu kandungmu. Ia akan memberikan kasih sayang yang tulus dan akan merawatmu. Kami di sini akan mendoakanmu selalu. Sudah, hapus air matamu.”
“Iya, kak. Nanti kalau Ara sudah kembali lagi, kakak sama ibu datang ke rumah Ara. Ara sayang kalian.”
Begitulah percakapan singkat mereka. Penuh haru biru. Dewa tak bisa menahan lagi, ia menangis. Menangis dalam senja.
“Kakak akan mendoakanmu selalu, Ra. Kakak harap, kamu cepat sembuh, lalu kamu bisa meneruskan sekolah dan melanjutkannya ke perguruan tinggi. Dan kamu bisa meraih cita-citamu. Kakak harap, kehidupanmu akan lebih baik. Kakak yakin, Nyonya Shelly pasti akan membuatmu bahagia. Kakak menyayangimu. Akan selalu menyayangimu.”
***
Selasa, 14 Februari 2012
Cukup Empat Tahun
“Baru pulang, Din?” suara mama yang mengejutkan Dinda.
Dinda tersenyum sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
“Kok senyum? Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang, “ sambil melihat jam dinding bermotif mickey mouse.
“Maaf ya, Ma. Tadi Dinda mampir ke rumah Lila, rencananya sebentar aja di sana. Waktu Dinda mau pamit pulang, mamanya Lila ngajakin jalan ke mall. Mau belanja buat acara cukuran keponakannya Lila. Dinda mengiyakan. Dan sekarang baru pulang,” mencium pipi mamanya sambil tersenyum kemudian berlalu.
Dinda masuk ke kamar kemudian merebahkan diri di atas kasur yang empuk sekali rasanya untuk saat seperti ini. Benar-benar melelahkan, Dinda berkata dalam hati. Tanpa sadar Dinda memejamkan matanya dan tertidur. Namun tak lama kemudian, ia tak bisa melanjutkan mimpi indahnya karena ketokan pintu oleh sang mama.
“Dinda sayang, kamu lagi ngapain?” kata mama sambil mengetok pintu.
Mama tidak mendengar sahutan dari Dinda. Kemudian mama mencoba membuka pintu kamar dan melihat anakya tertidur lelap. Mama mendekati Dinda dan mencoba membangunkan anak satu-satunya itu. Sebenarnya Dinda masih ingin berada di atas kasur empuknya itu tetapi rayuan mama tidak bisa ditandingi. Mama keluar kamar untuk mempersiapkan makan malam dan Dinda pergi ke kamar mandi karena ia merasa bau badannya itu sangat mengganggu. Setelah mandi, Dinda menghampiri meja makan dan kemudian makan malam bersama mamanya. Sedangkan ayah Dinda sudah meninggal dunia sejak Dinda duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 2. Ayahnya meninggal karena kecelakaan ketika pulang dari kantor dan hal ini sangat membuat mereka tertekan batin. Dan sejak saat itu, ibunya Dinda bekerja keras agar tetap mempertahankan kehidupan keluarganya. Selain itu, Dinda juga membantu dengan bekerja sebagai penyiar di sebuah stasiun radio.
Setelah makan malam, Dinda kembali ke kamarnya dan kemudian ia mendatangi meja belajarnya, lalu duduk sambil membaca buku. Sepuluh menit kemudian, ponsel Dinda berbunyi, tanda pesan masuk. Kemudian Dinda membaca pesan itu, dan tak lama kemudian tersenyum. Buku diletakkan di atas meja, Dinda berpaling ke atas kasur, sambil memegang ponsel dan terlihat tersenyum lagi, lagi, lagi, dan lagi.
***
Dinda sedang menikmati makanan ringan di taman kampusnya sambil tersenyum sendiri. Lila yang sedari tadi heran melihat sikap Dinda seperti itu. Kemudian Lila menempelkan telapak tangannya ke kening Dinda.
“Apa-apaan sih La?” sambil mengelak dari Lila.
“Kamu yang apa-apaan! Dari tadi senyam-senyum, senyam-senyum sendiri. Ayo, kamu pasti…”
“Pasti apa? Ayo, mau ngomong apa kamu, La?”
“Nggak tau ah. Lagi males main tebak-tebakan,” jawab Lila dengan cuek.
“Kamu pasti kaget kalau kamu denger cerita aku. Tadi malam waktu aku lagi baca buku, tiba-tiba ponsel aku bunyi. Itu bunyi tanda pesan masuk. Dan kamu tau, siapa yang mengirim pesan itu? Kamu pasti nggak percaya, La,” sambil tersenyum.
“Kenapa berhenti ceritanya?”
“Gayamu itu lho, La. Tanpa reaksi. Biasa aja. Nggak jadi aku ceritanya,” Dinda cemberut.
“Emang siapa yang mengirim pesan itu, Din?” tersenyum dengan gaya yang terlalu over.
“Iras.”
“Apa? Iras?”
Aku mengangguk-anggukan kepala. Memang benar Iras yang mengirim pesan itu pada Dinda. Iras adalah teman Dinda ketika sekolah di SMP Budaya Bangsa. Mereka berada dalam lingkungan yang sama, lebih tepatnya satu kelas selama tiga tahun. Walaupun mereka berada dalam kelas yang sama selama tiga tahun, tetapi komunikasi mereka kurang baik, bahkan buruk menurut Dinda. Ketika mereka duduk di kelas satu, ada satu peristiwa yang menyudutkan mereka berdua dan Iras sepertinya sangat tidak menyukai hal itu. Dan menurut kaca mata Dinda, sejak itulah Iras tidak pernah mau berkomunikasi baik dengannya. Sebenarnya Dinda ingin mendekati Iras dan menanyakan mengapa Iras seperti itu tapi keberanian Dinda terbang entah kemana. Dinda membiarkan begitu saja. Sampai tamat sekolah pun, mereka tidak berkomunikasi baik. Dan kini, Iras menghubungi Dinda setelah empat tahun lamanya tidak berjumpa.
Kemudian Dinda menceritakan pada Lila tentang keberadaan Iras yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan Dinda. Betapa bahagianya Dinda ketika bercerita bagaimana ia dan Iras berbalas pesan tadi malam. Iras begitu hangat. Mereka bersenda gurau sambil mengingat masa lalu. Dari perbincangan itu, Dinda masih berada dalam dunia ketidakpercayaan bahwa yang menghubunginya itu ialah Iras, seorang Iras menghubunginya. Mungkin menurut orang lain biasa saja, tetapi bagi Dinda ini luar biasa. Bayangkan saja, seorang Iras, yang dulunya bersikap acuh, menghubungi Dinda. Semenjak itu, Dinda merasa saat ini dunia sedang berpihak padanya dan ia tidak akan menyia-nyiakan begitu saja.
Dua minggu sejak malam itu, Iras tidak pernah lagi menghubungi Dinda. Dinda ingin menghubungi Iras tetapi ia tidak yakin dengan dirinya. Keraguan Dinda mulai timbul atas kebenaran Iras. Dinda berpikir, apa untungnya Iras menghubunginya, mungkin kemarin itu ada orang iseng yang mengerjainya. Dinda mondar-mandir di ruang tamu sambil memegang ponsel.
“Aku harus berbuat sesuatu,” katanya lirih.
“Berbuat apa?”
Dinda kaget dan ponsel menjadi korban. Tersenyum melihat mama di hadapannya. Dinda mengambil ponsel kemudian berlalu meninggalkan mamanya. Dinda berlari ke luar rumah. Dinda tidak bermaksud meninggalkan mamanya begitu saja tetapi ia tidak siap jika mamanya menanyakan apa yang akan dilakukan olehnya dan ia memilih keluar rumah. Lagi pula, hari itu Dinda memang ada janji bertemu dengan Lila di sebuah toko buku. Dalam perjalanannya, ponsel Dinda berdering. Iras memanggil. Jantung Dinda berdegup cepat. Bimbang menyelimuti Dinda. Keputusannya, Dinda memencet tombol hijau. Mereka pun berbicara tapi tidak begitu lama. Dinda kembali tersenyum, sendiri. Setiba di toko buku, Dinda memperhatikan dengan cermat setiap pengunjung di sana dan sepertinya belum kelihatan gerak-gerik Lila. Dinda melihat buku-buku sambil menanti kedatangan Lila.
Dinda mengambil sebuah novel dan seketika itu juga ada suara asing menyapanya.
“Ada ya hubungannya akutansi sama novel?”
“Iras?,” Dinda dengan wajah kaget.
Peristiwa aneh, pikir Dinda, dua jam yang lalu ia menelepon dan sekarang benar-benar nyata di hadapan Dinda. Kenapa sekarang Iras di sini, apa Iras mengikuti Dinda sejak tadi, atau bagaimana. Berbagai pertanyaan hinggap di benak Dinda.
“Hallo,” kata Iras sambil melambai-lambaikan tangannya di hadapanku.
Baru sadar Dinda, ia telah terdiam beberapa menit di hadapan Iras. Dinda tidak banyak bicara dan sepenglihatan Dinda, Iras tidak ditemani oleh siapapun. Satu hal lagi yang tidak Dinda sangka, Iras mengajaknya makan siang. Awalnya Dinda mengatakan bahwa ia sedang menunggu temannya di toko buku dan tidak mungkin ia pergi dengan meninggalkan temannya. Dan ternyata maksud Iras, Iras mengajak makan siang yang tempatnya berada di depan toko buku, jadi bisa melihat kedatangan teman Dinda. Dinda tidak bisa mengelak lagi. Mereka makan siang bersama.
Hati Dinda berdebar-debar dan jika diizinkan Dinda ingin berteriak agar seluruh pelosok dunia tahu bahwa saat ini ia sedang makan siang bersama Iras. Tapi ia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu, nanti Iras menyangka Dinda orang aneh. Mereka duduk berhadapan. Tampilan Iras begitu dewasa dan tatapannya itu membuat Dinda ingin pingsan. Sedangkan Dinda, terdiam seperti patung. Iras mencairkan suasana dengan menanyakan berbagai hal, apa saja kegiatan Dinda saat ini, masih berkomunikasi tidak dengan teman mereka yang lain, dan membicarakan teman-teman mereka yang telah menikah. Mereka tertawa. Akhirnya Dinda bisa santai juga. Dan Dinda baru meyakini bahwa memang Iras yang mengirim pesan dua minggu yang lalu dan meneleponnya beberapa jam yang lalu.
Satu jam sudah Dinda dan Iras berada di tempat makan, tetapi Lila belum juga muncul. Dinda mulai khawatir, takut kalau ada apa-apa dengan Lila. Dinda mengambil ponsel kemudian mengirim pesan kepada Lila. Lila membalas pesan. Lila sudah berada di rumah karena ternyata Lila tadi sudah menunggu Dinda selama dua jam di toko buku, tetapi bukan toko buku yang berada di hadapan Dinda. Dinda salah tempat. Dinda minta maaf. Lila mengerti bahwa Dinda memang terkadang pelupa. Dinda menceritakan pada Iras bahwa temannya tidak akan datang karena Dinda salah sasaran. Mereka kembali tertawa. Dinda memutuskan untuk kembali ke rumah dan Iras tidak bisa mengantar Dinda karena ia harus segera kembali ke kantornya.
Mereka berpisah di tempat makan itu. Dinda berjalan ke arah utara, sedangkan Iras ke arah selatan. Dinda menikmati teriknya mentari saat itu dengan tersenyum. Bahagia sekali. Tidak disangka akan terjadi peristiwa seperti itu. Ketika mereka masih bersama tadi, sebenarnya Dinda ingin menanyakan mengapa ketika masa putih biru sikap Iras berbeda sekali, tetapi Dinda tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mempertanyakan hal itu. Dinda berharap, waktu akan menyediakan sebuah tempat bagi Dinda untuk memperjelas apa yang harus diperjelas. Ini awal dari empat tahun tidak bertatap muka.
***
Kamis, 09 Februari 2012
Sebatas Almamater
“Udah dibilang ngga’ bisa datang, masih saja aku disuruh ambil sekarang. Emang bener-bener deh tuh anak”, ucap Caca dalam hatinya.
Caca terus saja mengomel sepanjang perjalanan. Untung saja dia mengendarai sepeda motornya sendiri. Kalau tidak, bayangkan saja apa yang akan terjadi jika dia berada dalam mobil angkutan umum, pasti ia akan dimarahi oleh penumpang sebab tak tahan mendengar ocehan dari bibir Caca. Kalau sudah berbicara, Caca itu ratunya, apalagi kalau mengomel. Dia jagonya.
Perjalanan masih berlanjut dan Caca masih tetap pada omelan yang tak tentu arah. Dia sangat geram dengan sahabatnya yang satu ini. Gimana ngga’ coba? Rena tahu kalau hari ini Caca tidak bisa keluar begitu saja, soalnya dia harus mengerjakan tugas kampus yang seabreknya minta ampun. Bagi Caca, sedetikpun ia melewatkan begitu saja, itu waktu berharga sekali. Caca itu punya waktu yang sudah diatur jadi Caca termasuk orang yang bisa membagi waktu, kapan waktu main, bantu orang tuanya, istirahat, ngerjain tugas, dan yang lainnya.
“Hai Ca!” ucap seorang cewek yang melambaikan tangannya ke arah Caca.
Caca pun mendekati cewek itu.
“Nyebelin tau ngga’ , Ren?” kata Caca.
“Idih, ni anak. Dateng-dateng malah sewot,” jawab cewek itu.
“Idih, ni anak. Dateng-dateng malah sewot,” tutur Caca meniru gaya cewek itu.
“Hehe.”
“Huh,” ketus Caca.
Begitulah Caca dan Rena. Cewek yang melambaikan tangannya itu Rena, sahabat Caca. Rena dan Caca sudah lama sekali bersahabat, kira-kira 15 tahun, sebab mereka bersahabat sejak kecil. Mereka sebaya. Mereka bersahabat sejak kecil bukan karena rumah mereka berdekatan, melainkan pertemuan mereka di sekolah. Mereka duduk sebangku dan akhirnya merasa cocok satu sama lain. Dan buktinya, sampai sekarang, mereka masih bersama walaupun kelihatannya mereka tidak harmonis. Tetapi sesungguhnya itulah kebersamaan mereka selama ini.
“Udah aku bilang berapa kali lagi sih, Ren. Kamu udah tau jadwal aku gimana, tapi masih aja kamu kayak gini. Kamu kayak baru kenal aku aja,” tutur Caca.
“Ya e la, Ca. Nyantai aja. Tugas kamu juga ngga’ bakal kemana-mana. Jadi tenang aja ya,” jawab Rena dengan santai sambil tersenyum.
“Siapa yang bilang tugas aku bakal lari? Emangnya kamu, yang kabur kalo ngadepin tugas?”
“Udah ah ngomelnya, udah panas nih kuping aku ngedenger ocehan kamu dari tadi. Lagian, kamu ngga’ malu apa ngomel-ngomel kayak gini?” sambil melihat sekitar.
“Biarin aja. Biar semua orang tau kalo kamu nyebelin.”
Rena tersenyum.
“Senyum lagi.”
“Kamu mau tunggu sini atau ikut aku ke dalem nih, Ca?
“Aku ikut aja biar cepet.”
Caca mengikuti Rena dari belakang. Mereka memasuki sebuah gedung yang letaknya di depan gedung fakultas mereka. Dalam gedung tersebut cukup ramai dan sedikit gaduh karena suara-suara yang tak bisa dikontrol.
Rena mendekati tasnya dan mengambil sesuatu dari sana. Sedangkan Caca mengalihkan pandangan ke sekitar lingkungannya. Dia melihat wajah-wajah yang tak asing lagi baginya. Bahkan sesekali ada yang memanggilnya.
“Eh, Ca,” sapa Jojo sambil menebarkan senyumnya.
Caca membalas sapaan temannya itu. Kembali Caca melihat sekitarnya. Kemudian pandangannya terhenti pada sebuah kekamumpok kecil. Sebagian besar dari kekamumpok kecil itu ia mengenalnya tetapi ada sesosok wajah yang begitu asing baginya. Caca bahkan tidak mengenalnya.
“Nih Ca, maaf ya kalau ada yang kurang,” kata Rena.
“Kamu Ren, ngagetin aku aja.”
“Kayak gitu aja kaget.”
“Aku pulang ya.”
“Biar aku anter, soalnya aku mau beli minum.”
Rena mengantar Caca keluar dari gedung tersebut. Sebelum keluar, Rena mendekati kekamumpok kecil yang menjadi sorotan Caca tadi. Ketika Rena berbicara, pandangan Caca tearah pada sesosok wajah asing tadi dan tidak sengaja sosok itu juga mengarah padanya. Caca langsung mengalihkan pandangannya. Kemudian Rena mengajaknya berlalu dari kekamumpok itu.
Caca mulai menggunakan jurus suka mau tahunya. Dia menanyakan sosok itu pada Rena. Dan dengan santai Rena menjawab.
“Oh, dia itu kakak tingkat. Dua tingkat di atas kita.”
***
Seusai makan malam, Caca masuk ke dalam kamarnya dan saat itulah waktunya menghibur diri. Facebook. Siapa sih yang tidak tahu fb? Pasti tahu. Bagi Caca, ini hanya sekedar merefleksikan diri saja. Fb terbuka dan sudah ada beberapa pemberitahuan dan satu permintaan pertemanan. Caca meilhat permintaan tersebut dan kemudian diterimanya. Setelah itu, Caca mulai berjelajah dalam fb.
“Hoaaam, lemes amat ni mata. Kayaknya dia minta istirahat deh,” ujar Caca.
Caca menutup laptop kemudian membiarkan raga dan matanya untuk sejenak menikmati malam.
Keesokan harinya, Caca harus mengembalikan buku ke perpustakaan kampusnya. Dia sendiri. Berjalan melewati koridor kampus kemudian menaiki tangga kemudian bekamuk kiri dan sampailah ia di perpustakaan.
“Untung aja belum tutup.”
“Kalau tutup?”
“Mati aku.”
Caca merasa aneh. Siapa yang bertanya padanya. Ia lihat di sekitarnya. Ternyata salah satu dosen yang telah bertanya begitu padanya. Betapa malunya ia telah menjawab seperti itu. Kemudian ia mengembalikan buku. Dan bisa kembali ke kelas dengan sedikit santai. Ketika ia keluar dari perpustakaan, ia melewati bangku panjang dan tak disangka sosok asing itu duduk di sana. Tak sengaja pandangan Caca mengarah ke sana, lebih tepatnya pada sosok itu. Parahnya lagi, sosok itu mengembangkan bibirnya dan mau tak mau Caca membalasnya.
“Oh, my God. Aku mimpi ngga’ ya?” ucap Caca pada dirinya sendiri sambil berjalan.
Caca tidak menyangka. Sosok itu tersenyum manis padanya. Sosok yang baru ia temukan selama ini. Caca sedikit aneh saja, selama kuliah di sini, kenapa baru kali ini bertemunya?
“Kok dari kemarin dia terus sih,” ucap Caca pelan.
“Haayyoo, dia siapa?”
Tiba-tiba Rena mengagetkan Caca. Wajah Caca memerah. Ia tidak menjawab pertanyaan Rena sebab ia tak mau sahabatnya ini kembali membuatnya malu, sebab pernah suatu ketika Caca bercerita pada Rena bahwa ia mengagumi seorang cowok di kampusnya. Caca mengatakan siapa cowok itu dan alhasil setiap ada cowok itu, Rena membuat Caca salah tingkah. Dengan begitu, Caca tidak mau lagi banyak bercerita tentang cowok pada Rena.
“Kalau aku bilang ngga’ mau ya ngga’ mau. Ngga’ pake’ maksa kali, Ren.”
“Plis, sekali ini aja ya, Ca. Kalo bukan kamu siapa lagi, ‘kan cuma kamu sahabat terbaik aku,” bujuk Rena sambil tersenyum.
“Kamu ‘kan tahu hari ni tuh aku nyiar. Ngga’ mungkin aku bolos, ntar yang ada gaji aku dipotong. Kamu seneng liat gaji aku kepotong?”
“Tapi ‘kan sebelum kamu nyiar bisa, Ca. Bentar aja kok. Tolong aku, Ca.”
Rena kembali meminta pertolongan Caca. Caca sebenarnya mau membantu hanya saja waktunya itu mendekati waktu siaran. Caca tidak mau dianggap tidak disiplin dalan bekerja. Namun Rena berusaha meyakinkan Caca bahwa pertolongan ini tidak akan mengganggu jadwal siaran Caca.
“Bener-bener kamu. Dari kemarin nyusahin aku terus. Udah tau aku ada siaran. Inget ya, ngga’ pake’ lama,” tutur Caca.
“Sip. Makasi ya, Ca,” jawab Rena penuh senyuman.
Caca memenuhi permintaan Rena. Seribu kali Caca menolak, seribu kali pula cara Rena untuk tetap berusaha. Ya begitulah mereka.
Waktunya tiba, Caca sudah sampai di tempat. Caca menunggu Rena di tempat yang telah dijanjikan. Namun Rena belum datang juga. Dalam masa menunggu itu, Caca didatangi oleh seorang cowok yang tingginya lebih dari Caca. Kemudian cowok itu memulai pembicaraan.
“Nunggu siapa?”
“Nunggu temen.”
Cowok itu mengangguk. Kemudian terdiam. Hening. Tak lama kemudian, ia memulai lagi.
“Temannya Rena?”
“Iya. Kok tahu?”
“Sebelumnya aku pernah lihat kamu bareng sama Rena. Waktu aku lihat kamu, kayaknya kamu juga lihat aku. Ya ngga’?”
Caca tersenyum. Ia tak menjawab. Kemudian mereka berkenalan dan mulai berbicara dengan santai. Ternyata cowok itu kakak tingkat yang asing bagi Caca. Dodi namanya. Awalnya Caca merasa canggung tapi rasa canggung itu tak berapa lama di dalam tubuh Caca sebab Dodi bisa mencairkan suasana. Dan sepertinya mereka mulai akrab. Namun keakaraban itu hanya sebentar karena kedatangan Rena.
“Sori ya, Ca. Tadi ban motor aku bocor jadi mesti dibaikin dulu,” ucap Rena.
“Ya udah. Nih bajunya,” jawab Caca sambil menyerahkan baju pada Rena.
Tak lama kemudian, ponsel Caca berdering. Tanda pesan diterima. Caca membaca pesan.
“Ya ampun, telat aku. Aku pergi dulu ya, Ren. Mati aku.”
Caca menerima pesan dari teman kerjanya. Caca memberi senyum pada Dodi. Kemudian Caca berlalu meninggalkan Rena dan Dodi.
Dalam perjalanannya, Caca mengingat perkenalan dan percakapannya dengan Dodi. Tidak menyangka ia bisa berbicara dengan Dodi. Hanya berdua. Dodi terlihat tidak kaku ketika berbicara dan itu membuat Caca merasa nyaman. Caca jadi senyum-senyum sendiri.
***
Kelas berakhir dan Caca belum bisa langsung pulang karena masih ada kelas, dua jam lagi. Menunggu kelas berikutnya, Caca dan teman-temannya duduk di taman sambil menikmati makanan ringan.
“Ca, ntar aku duduk di deket kamu ya,” ucap Lili sambil nyengir.
“Dasar, ada maunya aja baru deh deketan sama Caca,” sindir Toni.
“Ciyee yang takut sama pak Jojo. Haha,” sambung Nino.
Semua tertawa. Lili memang begitu orangnya. Setiap kelas pak Jojo, ia duduknya tidak jauh dari Caca sebab pak Jojo itu suka tiba-tiba saja bertanya tentang materi perkuliahan pada mahasiswanya. Berhubung Caca termasuk salah satu mahasiswa yang pandai, jadi Lili berharap Caca bisa menolongnya.
Mereka masih larut dalam percakapan. Caca sesekali mengarahkan pandangannya ke sekitarnya dan ia melihat Dodi sedang berjalan menuju area kampus. Dodi bersama Fani. Mereka terlihat akrab, bahkan hangat. Caca mengalihkan pandangannya. Namun ia sesekali melihat mereka.
“Denger-denger mereka baru jadian. Walaupun sebenarnya si Dodi udah lama suka sama Fani,” ucap Ira.
“Serius kamu, Ra. Pantesan aja kemarin waktu aku jalan ke Mall, aku ngga’ sengaja ngeliat mereka berdua jalan bareng. Emang keliatannya kayak orang pacaran sih,” sambung Lili.
Caca hanya sebagai pendengar yang baik. Ia tidak ikut dalam percakapan itu sebab ia memang tidak tau apa-apa. Jadi ia lebih memilih diam saja.
Seakan langit akan runtuh dan Caca berharap tubuhnya terimpit oleh bumi. Caca tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Kenapa penglihatan tadi membuatnya terpaku?
“Ternyata aku menyimpen rasa dan ngga’ mungkin aku ngelanjutin rasa ini,” tutur Caca dalam hati.
***
Langganan:
Postingan (Atom)