Wajah Intan sedikit masam. Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat wajahnya yang tidak mengenakkan itu.
“Sudah berapa banyak lelaki yang sudah kamu sakiti hatinya?” Pertanyaan Intan dengan tegas dan seolah-olah membuatku menjadi orang yang terjahat bagi kaum adam. Sungguh terlalu Intan ini.
“Sudahlah, kamu tentu tahu mengapa aku begini.” Jelasku pada Intan dan berharap Intan tidak akan mempermasalahkan ini lagi.
“Aku tidak ingin kamu terlalu larut dengan mawar itu, Febi. Nanti yang ada penantianmu selama ini sia-sia.” Begitulah tanggapan Intan yang kesekian kalinya mengenai mawar. Mawar yang kupetik empat tahun yang lalu di taman. Mawar yang membuatku tertarik untuk menjaganya. Mawar istimewa kunamai. Bagaimana tidak? Karena mawar itu akan mengantarkanku pada seorang lelaki yang akan menemani hidupku sepanjang masa. Jika mawar itu telah bersemi, maka aku akan segera bertemu dengannya. Dan entah mengapa aku percaya akan hal itu.
Intan menyodorkan beberapa foto laki-laki padaku. Dan aku menolak. Maaf, bukannya aku sombong atau merasa cantik atau pilih-pilih, tapi sudah jelas aku menunggu mawar bersemi.
“Febi, kamu masih percaya dengan mawar bersemi, setelah penantianmu empat tahun ini? Bayangkan Febi, kamu sudah empat tahun menunggu, tapi apa hasilnya? Nihil ‘kan?”
“Kamu masih ingat tidak ketika pertama kali aku mulai menunggu mawar itu? Aku mengatakan kalau aku akan menunggu, karena aku yakin mawar akan bersemi, suatu saat nanti. Jadi kamu tidak perlu mempertanyakan lagi. Aku mengerti kenapa kamu bersikap seperti ini Intan, tapi maaf sekali untuk yang ini. Lagi pula, aku pernah mengikuti saranmu untuk menerima kehadiran laki-laki, tapi nyatanya apa? Yang selingkuh, yang belum bisa lupain mantan, yang orang tuanya tidak setuju. Aku pernah mengikuti saranmu dan sekarang aku minta sama kamu untuk mengerti aku.” Jelasku panjang lebar pada Intan. Dan lagi-lagi aku berharap Intan kali ini bisa mengerti.
***
Malam ini aku menghadiri acara ulang tahun Kiki, adik temanku. Walaupun Kiki itu adik dari temanku, tapi aku juga mengenal dekat Kiki karena dulu rumah kami berdekatan. Kiki terlihat berbeda dari sembilan tahun yang lalu. Aku ditemani Diko, kakaknya Kiki. Kami berdua bercerita sambil mengenang masa kecil. Bayangkan saja, aku bersama Diko dan kedua adiknya bermain karet. Lucu sekali. Diko sepertinya malu-malu jika mengingat hal itu.
“Febi, aku bersyukur atas pertemuan kita kembali. Tidak menyangka sembilan tahun berlalu dan kita kembali bertatap muka.”
“Aku juga, Diko. Ternyata ada pertemuan lagi.” Kataku sambil tersenyum.
Hening sesaat. Kemudian, Diko mulai beraksi.
“Febi, semenjak kita bertemu lagi aku merasa bahagia dan aku merasa nyaman ketika bersamamu.” Ucap Diko sambil menatapku. Aku membalasnya dengan senyuman. Diko berkata lagi, “Aku harap kita bisa bersama. Aku ingin menemanimu. Maukah kamu melengkapi hidupku?”
“Maksudmu?”
Diko mengatakan ingin menjadi pasanganku. Aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Dan aku memutuskan untuk melarikan diri. Aku pulang sebelum acara berakhir. Diko mengejarku namun sia-sia. Maaf Diko, bukan maksudku untuk menolak niat baikmu hanya saja aku masih menunggu mawar bersemi. Walau tak bisa kupingkiri kalau aku juga merasa nyaman denganmu dan tak ingin ada perpisahan lagi di antara kita. Namun apa daya sebab aku percaya pada mawar.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan mata sembab. Masih tak percaya dengan peristiwa di rumah Diko. Sudahlah aku tak bisa apa-apa lagi. Jelas-jelas aku telah meninggalkan Diko dan tidak tahu akan kuletakkan dimana muka ini jika bertemu dengannya. Seperti biasa, aku membuka jendela kamar dan betapa terkejut melihat keadaan luar rumah. Entah berapa tangkai mawar yang tersusun menjadi sebuah kalimat “Ich Liebe Dich”. Dan kulihat Diko berada di tengah-tengah mawar itu. Oh my God!
Kini aku berada di hadapan Diko. Aku minta maaf padanya atas peristiwa di rumahnya dan menjelaskan pada Diko bahwa aku tak bisa menerima kehadirannya karena aku menunggu mawar bersemi. Diko tersenyum dan memberikan setangkai mawar yang bersemi. Aku menganga dan bisa dibilang wajahku saat itu polos sekali. Tidak bisa berkata.
Diko menjelaskan padaku tentang setangkai mawar yang ia berikan padaku. Mawar itu diberikan oleh neneknya sekitar empat tahun yang lalu. Diko menuruti pesan neneknya untuk merawat mawar itu dan bersabar menunggu mawar itu bersemi. Jika mawar telah bersemi, itu artinya Diko akan bertemu dengan pasangan sejatinya. Tak terasa aku menitikkan air mata mendengar penjelasan Diko. Kenapa pesan neneknya begitu mirip dengan pesan yang kuterima di dalam mimpi? Jika memang benar, tapi kenapa mawarku tidak bersemi?
Aku langsung pergi ke kamar. Kulihat mawar. Aku tak bisa menahan air mata ini untuk ikut merasakan kebahagiaan. Mawarku bersemi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar