Rintik
hujan kembali menyapa tanpa bosan. Dan aku sebagai penikmatnya yang selalu
setia. Setia menanti datangnya hujan. Setia menemaninya sampai ia lelah. Tapi
aku sendiri tidak yakin, apakah ia akan lelah seperti aku yang terlalu cepat
mengeluh karena lelah menantinya? Tidak. Tidak seperti itu. Ia terlalu kuat
untuk lelah sebab tenaganya saja tidak bisa dihitung dengan alat ukur mana pun,
pikirku. Karena kehebatan kekuatannya itu, aku tidak bisa bergerak, bernafas
pun sulit. Dalam rengkuhannya itu membuat organ-organ dalam tubuh ini berhenti
untuk beroperasi, tangan seperti diikat erat oleh tali tambang, kaki dipasung
sedemikian rupa sehingga mati rasa.
Seharusnya
ia lebih mengerti aku, aku yang masih terlalu dini. Seharusnya ia berpura-pura
lelah sejenak untukku sehingga aku bisa menari di atas jalan raya. Sebentar
saja. Aku hanya ingin meminjam sedikit ruang. Biarkan aku menyicip ruang di
kota ini. Aku tidak akan berani egois terhadapnya karena kekuatanku tidak
sebanding.
Tiga
hari sudah aku menginjakkan kaki di kota ini, Jambi namanya. Kalian bisa
menyebutku sebagai pendatang baru. Tapi bukan pendatang baru yang akan tinggal
di sini selama beberapa tahun. Kedatanganku ke sini hanya sekedar liburan
semata. Liburan yang kupikir bisa menghibur diri dari penatnya kegiatan di
kampus. Sepertinya hanya itu alasanku datang ke negeri Jambi. Kalian pasti
berpikir aku memiliki saudara di sini sehingga aku memilih berlibur di Jambi.
Atau itu hanya pikiranku saja? Tidak seperti itu kawan. Aku tidak memiliki
saudara sedikit pun di negeri Jambi. Yang kupunya hanya Tio, teman kecil ketika
masa putih merah.
Dering
ponsel membuyarkan lamunanku tentang hujan yang tak pernah bosan datang. Sebuah
pesan dari Tio yang mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan menjemputku. Cuaca
dingin seperti ini mendukung sekali untuk bercengkerama dengan kasur. Tapi kali
ini aku harus tahan banting. Bagaimana pun cuacanya aku harus tetap pergi
karena waktuku di sini tidak lama. Sudah cukup tiga hari ini aku mengendap
dalam kamar.
Tio
mengajakku ke acara pentas seni di sekolah, tempat dimana ia mengajar. Saat Tio
mengatakan ingin mengajakku pergi ke acara ini, tanpa pikir panjang aku
mengiyakan ajakannya. Sampai di sana, Tio memperkenalkan aku pada guru-guru dan
anak-anak muridnya. Mereka ramah dan menerima kehadiranku dengan tangan terbuka
sehingga aku merasa nyaman berada di sana walaupun baru pertama kali bertemu
mereka. Dengan yakinnya, Tio meninggalkanku bersama Sinta. Sinta juga guru yang
mengajar di sana. Sinta tidak mau kupanggil dengan sebutan “Ibu Sinta” karena
Sinta masih sebaya denganku.
Bersama
Sinta, aku merasa jalan-jalan sekitar Jambi padahal kami berdua hanya duduk
santai di kursi tamu. Sambil menikmati kue, Sinta menjelaskan tempat wisata
Jambi, makanan khas Jambi, dan dia juga menceritakan tentang kehidupannya
sehingga ia membuka diri untukku. Sinta menceritakan tentang perebutan pulau
Berhala antara provinsi Jambi dan provinsi Kepulauan Riau. Dari segi
geografisnya, pulau Berhala memang termasuk dalam wilayah provinsi Kepulauan
Riau. Tetapi dilihat dari sejarahnya, pulau Berhala didirikan oleh Datuk Paduka
Berhala yang berasal dari Jambi. Namun perebutan tersebut sudah selesai dan
pulau Berhala kini menjadi milik provinsi Jambi.
“Tio
sudah mengajakmu ke Tanggo Rajo?” Tanya Sinta padaku.
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Menyebutnya saja Tio belum pernah, jawabku.
Namanya aneh sekali, bicaraku dalam hati. Tanpa ditanyakan, Sinta langsung
mejelaskannya padaku. Tanggo Rajo itu sebuah kawasan di pinggir aliran sungai
Batang Hari. Di kawasan itu kita bisa menghabiskan waktu atau akhir minggu,
bersama keluarga dan orang-orang terdekat, sambil menikmati jajanan ringan. Di
sepanjang kawasan Tanggo Rajo terdapat beberapa penjual yang menyajikan jajanan
ringan, jagung bakar misalnya yang paling banyak diminati oleh pengunjung.
Menikmati senja di pinggir sungai Batang Hari bersama orang-orang terdekat dan
tersedia pula jagung bakar dan es tebu, itu sangat mengasyikkan sekali, tutur
Sinta tanpa ragu padaku. Aku yang mendengarnya merasa nyaman sekali dan ingin
mengunjungi tempat itu.
Sinta
tidak lagi melanjutkan ceritanya karena acara pentas seni segera dimulai.
Mataku terpusatkan pada pentas yang ukurannya tidak begitu besar namun
hiasannya cukup menarik hati. Aku sudah siap dengan kamera digital yang setia
menemaniku selama empat tahun. Walaupun sudah tua dan terkadang sakit, tapi aku
masih mempertahankannya. Beberapa siswa sudah siap dengan tariannya dan mulai
menari di hadapan kami. Tari yang disajikan itu Sekapur Sirih namanya, kata
Sinta. Aku memperhatikan tiap gerak yang dimainkan. Lembut dan hati-hati
terlihat penari itu sangat pandai berkomunikasi dengan gerakan dan iramanya.
Tari Sekapur Sirih yaitu tari penghormatan, maksudnya tari yang biasanya
disajikan ketika menghormati kedatangan orang tertentu. Berhubung saat ini yang
datang adalah bapak walikota Jambi dan untuk menghormati kedatangannya,
disajikanlah tari Sekapur Sirih. Pada akhir tarian, salah satu penari membawa
tampan kecil yang berisi sirih yang diberi kapur dan berdiri di hadapan bapak
walikota. Kemudian bapak walikota harus memakan sirih tersebut. Sajian seperti
ini pertama kali baru kulihat. Dan ini menjadi pengalaman yang mengesankan.
Tari
Sekapur Sirih selesai. Dan acara dilanjutkan dengan sambutan oleh ketua
panitia, ketua osis, kepala sekolah, dan bapak walikota. Di sela-sela sambutan
yang berlangsung, aku meminta Sinta untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih
penasaran dengan cerita-cerita menarik lainnya. Awalnya Sinta mempermainkanku
untuk tidak melanjutkannya dengan alasan karena ada urusan yang ingin
diselesaikannya. Sinta memang pergi, meninggalkan aku sendirian di keramaian
anak-anak. Tapi tidak beberapa lama Sinta datang menghampiriku lagi. Dan ia
langsung melanjutkan ceritanya.
Sinta
menjelaskan salah satu tempat wisata yang cukup ramai dikunjungi yaitu Kampung
Raja. Di Kampung Raja terdapat permainan-permainan untuk anak-anak dan orang
dewasa. Di sana juga terdapat outbond sebagai tempat untuk mengacu adrenalin.
Bagi yang suka tembak-tembakan, ada juga tempat menembak., tempatnya itu memang
sesuai sekali untuk tembak-menembak. Bagi pengunjung yang tidak membawa
makanan, jangan khawatir karena di sana juga terdapat kios-kios makanan. Dan
ada pendopo kecil yang letaknya berada di pinggir air, itu sepertinya tempat
yang bagus untuk menikmati makanan. Belum selesai Sinta menjelaskannya, Tio
menghampiri kami berdua. Tio mengajakku segera pergi dari sana. Dengan tegas
aku menjawab, “Aku masih ingin bercerita dengan Sinta. Kamu datang ke sini
hanya untuk mengusirku?
Tio
tersenyum. “Bukan seperti itu maksudku. Aku juga tidak ingin merusak
pembicaraan kalian. Tapi aku ada keperluan lain lagi, Mel. Saat kita pergi
tadi, bukannya aku sudah memberitahumu?” Jelas Tio padaku. Memang benar Tio telah
memberitahuku bahwa hari ini Tio ada acara lain yang harus dikerjakannya
sehingga aku tidak bisa berlama-lama di sekolah. Dengan berat hati, aku
mengatakan sampai jumpa pada Sinta dengan harapan masih bisa bertemu lagi.
Entah kapan itu aku tidak tahu.
Sampailah
kami di candi Muara Jambi dan inilah bagian dari urusan lain Tio. Ketika
memasuki kawasan candi Muara Jambi, mataku mulai menjalar kemana-mana. Melihat
pemandangan sekitar candi Muara Jambi aku merasa seperti berada dalam
lingkungan sejarah yang agung. Tapi ketika masuk kawasan candi, aku tidak
merasa masuk dalam kawasan budaya karena ketidakadaan petugas berseragam
sehingga terlihat biasa saja. Padahal jika dilihat dalamnya, kawasan candi
Muara Jambi harus dikawal dengan pagar besi sehingga tidak ada yang berani
mengganggunya. Di sana juga terdapat pusat informasi yang bisa dikunjungi dan
aku tidak mau melewatkan kesempatan ini, aku mengunjungi pusat informasi.
Sendirian. Karena Tio harus bersiap-siap dengan acaranya. Aku juga menikmati
kawasan candi Muara Jambi dengan sepeda yang aku sewa.
Hari
semakin sore. Tio menghubungiku dan menanyakan aku dimana. Sepertinya pekerjaan
Tio sudah selesai makanya ia mencariku, pikirku seperti itu. Tio pun
memperkenalkan aku dengan teman-temannya ketika aku menemui Tio di dekat danau
yang masih berada dalam kawasan candi Muara Jambi. Tak lama kemudian, Tio
mengajakku beranjak dari kawasan candi Muara Jambi.
Namun
perjalanan yang kulihat sepertinya tidak mengarah pada hotel dan tidak mengarah
ke rumah Tio. Lantas mau kemana? Mobil Tio berhasil parkir di tempat yang tidak
jauh dari panglihatan. Sepertinya tempat ini yang diceritakan oleh Sinta tadi,
bicaraku dalam hati. Kemudian Tio mendekati penjual jagung bakar dan memesan
dua jagung bakar dan dua es tebu. Setelah itu, Tio mengajakku duduk di pinggir
sungai. “Ini sungai Batang Hari namanya,” kata Tio.
“Namanya
Tanggo Rajo, bukan?”
Rio
menatapku dengan aneh. “Jangan menatapku seperti itu. Aku bukan orang pintar
yang tahu segala-galanya. Tanggo Rajo itu aku tahu dari Sinta. Tadi di sekolah
dia bercerita banyak,” jelasku pada Tio sambil menikmati jagung bakar.
“Ternyata
Sinta mendahuluiku. Dia yang tidak sopan atau aku yang tidak memperhatikanmu?”
“Sepertinya
pertanyaan yang kedua.”
Tio
tersenyum padaku. Dan aku dengan wajah serius. Keadaan sepertinya terbalik.
Kemudian kami tertawa. Tio sadar bahwa hari ini ia telah mengacuhkanku karena
kegiatannya hari ini dan ia juga minta maaf karena belum bisa bercerita lebih
tentang kota kelahirannya. Aku mengerti. Kalau aku berada di posisi Tio,
mungkin juga akan bersikap seperti itu. Baiklah aku meminta Tio untuk melupakan
ini dan lebih baik menikmati senja.
Di
sungai Batang Hari kulihat banyak perahu yang menghiasi suasana senja. Terlihat
orang-orang menggunakan perahu sebagai alat perhubungan untuk menyebrangi
sungai. Keadaan seperti itu memang dari dulu. Sungai Batang Hari memang
dijadikan lalu lintas oleh sebagian besar masyarakat Jambi. Bahkan dulu sungai
Batang Hari menjadi lalu lintas yang ramai dipadati karena hanya sungai Batang
Hari saja yang dapat dijadikan sebagai lalu lintas perdagangan dan perhubungan.
Dulu ketika ingin pergi ke candi Muara Jambi juga menggunakan sungai Batang
Hari sebagai jalur lalu lintasnya sebab belum ada lalu lintas darat. Begitulah
penjelasan singkat dari Tio. Mungkin itu sebagai pengganti maaf karena tidak
begitu memperhatikanku, pikirku begitu.
Keesokan
harinya, Tio menepati janjinya untuk menemaniku ke tempat pengrajin batik.
Sepulangnya dari mengajar, Tio menjemputku di hotel. Kemudian ia mengantarku
daerah Tanjung Raden namanya. Tanjung Raden meruapakan salah satu daerah yang
terdapat di Sebrang Kota Jambi. Di daerah tersebut, banyak sekali pengrajin
batik sehingga jika membeli langsung ke sana, kita tidak akan mendengar harga
batik yang menjulang tinggi seperti di pasar. Tio mengantarku ke rumah
keluarganya yang menghasilkan sendiri batik Jambi. Di sana aku melihat
bagaimana membatik itu dan bertanya jika ada sesuatu yang kurang dimengerti.
Karena semangatnya ingin tahu membatik, aku lupa pada waktu yang hampir
menunjukkan pukul 17.00 wib. Tanpa menunggu ajakan Tio, aku yang mengajak Tio
untuk pulang.
**
Waktunya aku kembali pada kegiatanku
dan mengakhiri liburan. Seharusnya liburanku ini masih panjang tapi ada urusan
yang harus kuselesaikan di kampus. Lima hari di sini terlalu singkat untuk aku
yang masih penasaran dengan kota ini. Mungkin akan ada waktu yang lebih, yang
bersedia membagi ruangnya untukku.
Aku telah duduk manis di bangku 26
dan siap meninggalkan kota kelahiran Tio. Di luar sana masih ada Tio yang
menunggu kepergianku. Sepertinya ia tidak rela membiarkanku pergi dan masih
ingin aku berada di sini, itu hanya imajinasiku saja. Bagaimana pun sikap Tio
selama aku di sini, aku tetap menganggapnya teman kecilku yang baik.
Suara mesin mulai terdengar. Bus
bergetar. Tak lama kemudian, roda pun berputar. Pasti aku beranjak dari sini. Tio
melambaikan tangannya padaku. Hujan pun ikut dalam perpisahanku dengan Tio.
Hujan
seperti ini mengingatkanku ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku
tiba di bandara sekitar pukul 13.00 wib. Sambil menunggu jemputan, aku
menikmati lingkungan sekitar. Took-toko berjejer dengan rapi, ada yang berisi
jajanan ringan, oleh-oleh Jambi, dan ada juga butik batik Jambi. Aku memasuki
toko batik Jambi dan di sana terdapat berbagai batik. Ketika menikmati batik di
toko tersebut, aku mendengar namaku disebut oleh sumber suara yang terdengar
nyaring di atas kepalaku. Awalnya aku tidak yakin jika namaku yang menjadi
pusat perhatian saat ini. Tanpa ragu aku meninggalkan toko dan berlari menuju
tempat yang diberitahukan oleh sumber suara tadi.
“Tio?”
kataku sambil melihat arah Tio dan ternyata mengagetkan beberapa orang yang
berada di tempat itu.
“Kamu
kemana saja? Meninggalkan tas begitu saja di ruang tunggu. Aku kira, kamu
diculik,” kata Tio dengan wajah serius.
Aku
hanya tersenyum menanggapi pernyataan Tio. Tio memang seperti orangnya, raut
wajahnya terlihat begitu serius tapi sebenarnya ia santai. Setelah itu, kami
memutuskan untuk segera meninggalkan bandara. Dalam perjalanan, kami
berbincang-bincang santai seperti biasa yang kami lakukan ketika berbincang
melalui ponsel. Ketika berbincang, aku menceritakan tentang kunjungan
sebentarku ke toko batik di bandara tadi. Aku mengatakan bahwa aku tertarik
melihat model dan bentuk batik tersebut karena terlihat memiliki makna di dalam
ukiran batik tersebut. Karena kunjungan itulah aku lupa dengan tas yang
kutinggal di ruang tunggu. Dan aku ingin belajar membuat batik. Tio tersenyum.
Sedikit. Tersenyum karena tidak menyangka bahwa aku bisa menyukai hal semacam
itu. Bagaimana tidak? Ketika putih merah, aku terlihat tomboy dan sudah
dipastikan tidak akan suka dengan hal yang barbau wanita. Dan sekarang berbeda,
bahkan di luar dugaan.
“Kamu
yakin mau belajar membatik?”
Pertanyaan
Tio seperti meremehkan keyakinanku. Ada apa dengan mata Tio? Aku melihat
baik-baik saja tapi kenapa ia seperti orang yang menutup mata karena masih
tertidur? Seharusnya ia mulai membuka mata ketika bersamaku. Pikiran Tio?
Sepertinya aku harus mencari tempat untuk mengisi ulang pikiran Tio atau bisa juga
menginstal pikirannya. Menginstal pikiran supaya ia tahu bahwa aku yang
sekarang tidak sama dengan yang dulu.
***
tulisan ini mengingatkan saya pada peksimida 2012
walaupun gag menang, tapi ikut berpartisipasi aja udah seneng :)
260412
Tidak ada komentar:
Posting Komentar