Minggu, 25 November 2012

Sajian Singkat


Rintik hujan kembali menyapa tanpa bosan. Dan aku sebagai penikmatnya yang selalu setia. Setia menanti datangnya hujan. Setia menemaninya sampai ia lelah. Tapi aku sendiri tidak yakin, apakah ia akan lelah seperti aku yang terlalu cepat mengeluh karena lelah menantinya? Tidak. Tidak seperti itu. Ia terlalu kuat untuk lelah sebab tenaganya saja tidak bisa dihitung dengan alat ukur mana pun, pikirku. Karena kehebatan kekuatannya itu, aku tidak bisa bergerak, bernafas pun sulit. Dalam rengkuhannya itu membuat organ-organ dalam tubuh ini berhenti untuk beroperasi, tangan seperti diikat erat oleh tali tambang, kaki dipasung sedemikian rupa sehingga mati rasa.
Seharusnya ia lebih mengerti aku, aku yang masih terlalu dini. Seharusnya ia berpura-pura lelah sejenak untukku sehingga aku bisa menari di atas jalan raya. Sebentar saja. Aku hanya ingin meminjam sedikit ruang. Biarkan aku menyicip ruang di kota ini. Aku tidak akan berani egois terhadapnya karena kekuatanku tidak sebanding.
Tiga hari sudah aku menginjakkan kaki di kota ini, Jambi namanya. Kalian bisa menyebutku sebagai pendatang baru. Tapi bukan pendatang baru yang akan tinggal di sini selama beberapa tahun. Kedatanganku ke sini hanya sekedar liburan semata. Liburan yang kupikir bisa menghibur diri dari penatnya kegiatan di kampus. Sepertinya hanya itu alasanku datang ke negeri Jambi. Kalian pasti berpikir aku memiliki saudara di sini sehingga aku memilih berlibur di Jambi. Atau itu hanya pikiranku saja? Tidak seperti itu kawan. Aku tidak memiliki saudara sedikit pun di negeri Jambi. Yang kupunya hanya Tio, teman kecil ketika masa putih merah.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku tentang hujan yang tak pernah bosan datang. Sebuah pesan dari Tio yang mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan menjemputku. Cuaca dingin seperti ini mendukung sekali untuk bercengkerama dengan kasur. Tapi kali ini aku harus tahan banting. Bagaimana pun cuacanya aku harus tetap pergi karena waktuku di sini tidak lama. Sudah cukup tiga hari ini aku mengendap dalam kamar.
Tio mengajakku ke acara pentas seni di sekolah, tempat dimana ia mengajar. Saat Tio mengatakan ingin mengajakku pergi ke acara ini, tanpa pikir panjang aku mengiyakan ajakannya. Sampai di sana, Tio memperkenalkan aku pada guru-guru dan anak-anak muridnya. Mereka ramah dan menerima kehadiranku dengan tangan terbuka sehingga aku merasa nyaman berada di sana walaupun baru pertama kali bertemu mereka. Dengan yakinnya, Tio meninggalkanku bersama Sinta. Sinta juga guru yang mengajar di sana. Sinta tidak mau kupanggil dengan sebutan “Ibu Sinta” karena Sinta masih sebaya denganku.
Bersama Sinta, aku merasa jalan-jalan sekitar Jambi padahal kami berdua hanya duduk santai di kursi tamu. Sambil menikmati kue, Sinta menjelaskan tempat wisata Jambi, makanan khas Jambi, dan dia juga menceritakan tentang kehidupannya sehingga ia membuka diri untukku. Sinta menceritakan tentang perebutan pulau Berhala antara provinsi Jambi dan provinsi Kepulauan Riau. Dari segi geografisnya, pulau Berhala memang termasuk dalam wilayah provinsi Kepulauan Riau. Tetapi dilihat dari sejarahnya, pulau Berhala didirikan oleh Datuk Paduka Berhala yang berasal dari Jambi. Namun perebutan tersebut sudah selesai dan pulau Berhala kini menjadi milik provinsi Jambi.
“Tio sudah mengajakmu ke Tanggo Rajo?” Tanya Sinta padaku.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menyebutnya saja Tio belum pernah, jawabku. Namanya aneh sekali, bicaraku dalam hati. Tanpa ditanyakan, Sinta langsung mejelaskannya padaku. Tanggo Rajo itu sebuah kawasan di pinggir aliran sungai Batang Hari. Di kawasan itu kita bisa menghabiskan waktu atau akhir minggu, bersama keluarga dan orang-orang terdekat, sambil menikmati jajanan ringan. Di sepanjang kawasan Tanggo Rajo terdapat beberapa penjual yang menyajikan jajanan ringan, jagung bakar misalnya yang paling banyak diminati oleh pengunjung. Menikmati senja di pinggir sungai Batang Hari bersama orang-orang terdekat dan tersedia pula jagung bakar dan es tebu, itu sangat mengasyikkan sekali, tutur Sinta tanpa ragu padaku. Aku yang mendengarnya merasa nyaman sekali dan ingin mengunjungi tempat itu.
Sinta tidak lagi melanjutkan ceritanya karena acara pentas seni segera dimulai. Mataku terpusatkan pada pentas yang ukurannya tidak begitu besar namun hiasannya cukup menarik hati. Aku sudah siap dengan kamera digital yang setia menemaniku selama empat tahun. Walaupun sudah tua dan terkadang sakit, tapi aku masih mempertahankannya. Beberapa siswa sudah siap dengan tariannya dan mulai menari di hadapan kami. Tari yang disajikan itu Sekapur Sirih namanya, kata Sinta. Aku memperhatikan tiap gerak yang dimainkan. Lembut dan hati-hati terlihat penari itu sangat pandai berkomunikasi dengan gerakan dan iramanya. Tari Sekapur Sirih yaitu tari penghormatan, maksudnya tari yang biasanya disajikan ketika menghormati kedatangan orang tertentu. Berhubung saat ini yang datang adalah bapak walikota Jambi dan untuk menghormati kedatangannya, disajikanlah tari Sekapur Sirih. Pada akhir tarian, salah satu penari membawa tampan kecil yang berisi sirih yang diberi kapur dan berdiri di hadapan bapak walikota. Kemudian bapak walikota harus memakan sirih tersebut. Sajian seperti ini pertama kali baru kulihat. Dan ini menjadi pengalaman yang mengesankan.
Tari Sekapur Sirih selesai. Dan acara dilanjutkan dengan sambutan oleh ketua panitia, ketua osis, kepala sekolah, dan bapak walikota. Di sela-sela sambutan yang berlangsung, aku meminta Sinta untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih penasaran dengan cerita-cerita menarik lainnya. Awalnya Sinta mempermainkanku untuk tidak melanjutkannya dengan alasan karena ada urusan yang ingin diselesaikannya. Sinta memang pergi, meninggalkan aku sendirian di keramaian anak-anak. Tapi tidak beberapa lama Sinta datang menghampiriku lagi. Dan ia langsung melanjutkan ceritanya.
Sinta menjelaskan salah satu tempat wisata yang cukup ramai dikunjungi yaitu Kampung Raja. Di Kampung Raja terdapat permainan-permainan untuk anak-anak dan orang dewasa. Di sana juga terdapat outbond sebagai tempat untuk mengacu adrenalin. Bagi yang suka tembak-tembakan, ada juga tempat menembak., tempatnya itu memang sesuai sekali untuk tembak-menembak. Bagi pengunjung yang tidak membawa makanan, jangan khawatir karena di sana juga terdapat kios-kios makanan. Dan ada pendopo kecil yang letaknya berada di pinggir air, itu sepertinya tempat yang bagus untuk menikmati makanan. Belum selesai Sinta menjelaskannya, Tio menghampiri kami berdua. Tio mengajakku segera pergi dari sana. Dengan tegas aku menjawab, “Aku masih ingin bercerita dengan Sinta. Kamu datang ke sini hanya untuk mengusirku?
Tio tersenyum. “Bukan seperti itu maksudku. Aku juga tidak ingin merusak pembicaraan kalian. Tapi aku ada keperluan lain lagi, Mel. Saat kita pergi tadi, bukannya aku sudah memberitahumu?” Jelas Tio padaku. Memang benar Tio telah memberitahuku bahwa hari ini Tio ada acara lain yang harus dikerjakannya sehingga aku tidak bisa berlama-lama di sekolah. Dengan berat hati, aku mengatakan sampai jumpa pada Sinta dengan harapan masih bisa bertemu lagi. Entah kapan itu aku tidak tahu.
Sampailah kami di candi Muara Jambi dan inilah bagian dari urusan lain Tio. Ketika memasuki kawasan candi Muara Jambi, mataku mulai menjalar kemana-mana. Melihat pemandangan sekitar candi Muara Jambi aku merasa seperti berada dalam lingkungan sejarah yang agung. Tapi ketika masuk kawasan candi, aku tidak merasa masuk dalam kawasan budaya karena ketidakadaan petugas berseragam sehingga terlihat biasa saja. Padahal jika dilihat dalamnya, kawasan candi Muara Jambi harus dikawal dengan pagar besi sehingga tidak ada yang berani mengganggunya. Di sana juga terdapat pusat informasi yang bisa dikunjungi dan aku tidak mau melewatkan kesempatan ini, aku mengunjungi pusat informasi. Sendirian. Karena Tio harus bersiap-siap dengan acaranya. Aku juga menikmati kawasan candi Muara Jambi dengan sepeda yang aku sewa.
Hari semakin sore. Tio menghubungiku dan menanyakan aku dimana. Sepertinya pekerjaan Tio sudah selesai makanya ia mencariku, pikirku seperti itu. Tio pun memperkenalkan aku dengan teman-temannya ketika aku menemui Tio di dekat danau yang masih berada dalam kawasan candi Muara Jambi. Tak lama kemudian, Tio mengajakku beranjak dari kawasan candi Muara Jambi.
Namun perjalanan yang kulihat sepertinya tidak mengarah pada hotel dan tidak mengarah ke rumah Tio. Lantas mau kemana? Mobil Tio berhasil parkir di tempat yang tidak jauh dari panglihatan. Sepertinya tempat ini yang diceritakan oleh Sinta tadi, bicaraku dalam hati. Kemudian Tio mendekati penjual jagung bakar dan memesan dua jagung bakar dan dua es tebu. Setelah itu, Tio mengajakku duduk di pinggir sungai. “Ini sungai Batang Hari namanya,” kata Tio.
“Namanya Tanggo Rajo, bukan?”
Rio menatapku dengan aneh. “Jangan menatapku seperti itu. Aku bukan orang pintar yang tahu segala-galanya. Tanggo Rajo itu aku tahu dari Sinta. Tadi di sekolah dia bercerita banyak,” jelasku pada Tio sambil menikmati jagung bakar.
“Ternyata Sinta mendahuluiku. Dia yang tidak sopan atau aku yang tidak memperhatikanmu?”
“Sepertinya pertanyaan yang kedua.”
Tio tersenyum padaku. Dan aku dengan wajah serius. Keadaan sepertinya terbalik. Kemudian kami tertawa. Tio sadar bahwa hari ini ia telah mengacuhkanku karena kegiatannya hari ini dan ia juga minta maaf karena belum bisa bercerita lebih tentang kota kelahirannya. Aku mengerti. Kalau aku berada di posisi Tio, mungkin juga akan bersikap seperti itu. Baiklah aku meminta Tio untuk melupakan ini dan lebih baik menikmati senja.
Di sungai Batang Hari kulihat banyak perahu yang menghiasi suasana senja. Terlihat orang-orang menggunakan perahu sebagai alat perhubungan untuk menyebrangi sungai. Keadaan seperti itu memang dari dulu. Sungai Batang Hari memang dijadikan lalu lintas oleh sebagian besar masyarakat Jambi. Bahkan dulu sungai Batang Hari menjadi lalu lintas yang ramai dipadati karena hanya sungai Batang Hari saja yang dapat dijadikan sebagai lalu lintas perdagangan dan perhubungan. Dulu ketika ingin pergi ke candi Muara Jambi juga menggunakan sungai Batang Hari sebagai jalur lalu lintasnya sebab belum ada lalu lintas darat. Begitulah penjelasan singkat dari Tio. Mungkin itu sebagai pengganti maaf karena tidak begitu memperhatikanku, pikirku begitu.
Keesokan harinya, Tio menepati janjinya untuk menemaniku ke tempat pengrajin batik. Sepulangnya dari mengajar, Tio menjemputku di hotel. Kemudian ia mengantarku daerah Tanjung Raden namanya. Tanjung Raden meruapakan salah satu daerah yang terdapat di Sebrang Kota Jambi. Di daerah tersebut, banyak sekali pengrajin batik sehingga jika membeli langsung ke sana, kita tidak akan mendengar harga batik yang menjulang tinggi seperti di pasar. Tio mengantarku ke rumah keluarganya yang menghasilkan sendiri batik Jambi. Di sana aku melihat bagaimana membatik itu dan bertanya jika ada sesuatu yang kurang dimengerti. Karena semangatnya ingin tahu membatik, aku lupa pada waktu yang hampir menunjukkan pukul 17.00 wib. Tanpa menunggu ajakan Tio, aku yang mengajak Tio untuk pulang.
**
            Waktunya aku kembali pada kegiatanku dan mengakhiri liburan. Seharusnya liburanku ini masih panjang tapi ada urusan yang harus kuselesaikan di kampus. Lima hari di sini terlalu singkat untuk aku yang masih penasaran dengan kota ini. Mungkin akan ada waktu yang lebih, yang bersedia membagi ruangnya untukku.
            Aku telah duduk manis di bangku 26 dan siap meninggalkan kota kelahiran Tio. Di luar sana masih ada Tio yang menunggu kepergianku. Sepertinya ia tidak rela membiarkanku pergi dan masih ingin aku berada di sini, itu hanya imajinasiku saja. Bagaimana pun sikap Tio selama aku di sini, aku tetap menganggapnya teman kecilku yang baik.
            Suara mesin mulai terdengar. Bus bergetar. Tak lama kemudian, roda pun berputar. Pasti aku beranjak dari sini. Tio melambaikan tangannya padaku. Hujan pun ikut dalam perpisahanku dengan Tio.
Hujan seperti ini mengingatkanku ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku tiba di bandara sekitar pukul 13.00 wib. Sambil menunggu jemputan, aku menikmati lingkungan sekitar. Took-toko berjejer dengan rapi, ada yang berisi jajanan ringan, oleh-oleh Jambi, dan ada juga butik batik Jambi. Aku memasuki toko batik Jambi dan di sana terdapat berbagai batik. Ketika menikmati batik di toko tersebut, aku mendengar namaku disebut oleh sumber suara yang terdengar nyaring di atas kepalaku. Awalnya aku tidak yakin jika namaku yang menjadi pusat perhatian saat ini. Tanpa ragu aku meninggalkan toko dan berlari menuju tempat yang diberitahukan oleh sumber suara tadi.
“Tio?” kataku sambil melihat arah Tio dan ternyata mengagetkan beberapa orang yang berada di tempat itu.
“Kamu kemana saja? Meninggalkan tas begitu saja di ruang tunggu. Aku kira, kamu diculik,” kata Tio dengan wajah serius.
Aku hanya tersenyum menanggapi pernyataan Tio. Tio memang seperti orangnya, raut wajahnya terlihat begitu serius tapi sebenarnya ia santai. Setelah itu, kami memutuskan untuk segera meninggalkan bandara. Dalam perjalanan, kami berbincang-bincang santai seperti biasa yang kami lakukan ketika berbincang melalui ponsel. Ketika berbincang, aku menceritakan tentang kunjungan sebentarku ke toko batik di bandara tadi. Aku mengatakan bahwa aku tertarik melihat model dan bentuk batik tersebut karena terlihat memiliki makna di dalam ukiran batik tersebut. Karena kunjungan itulah aku lupa dengan tas yang kutinggal di ruang tunggu. Dan aku ingin belajar membuat batik. Tio tersenyum. Sedikit. Tersenyum karena tidak menyangka bahwa aku bisa menyukai hal semacam itu. Bagaimana tidak? Ketika putih merah, aku terlihat tomboy dan sudah dipastikan tidak akan suka dengan hal yang barbau wanita. Dan sekarang berbeda, bahkan di luar dugaan.
“Kamu yakin mau belajar membatik?”
Pertanyaan Tio seperti meremehkan keyakinanku. Ada apa dengan mata Tio? Aku melihat baik-baik saja tapi kenapa ia seperti orang yang menutup mata karena masih tertidur? Seharusnya ia mulai membuka mata ketika bersamaku. Pikiran Tio? Sepertinya aku harus mencari tempat untuk mengisi ulang pikiran Tio atau bisa juga menginstal pikirannya. Menginstal pikiran supaya ia tahu bahwa aku yang sekarang tidak sama dengan yang dulu.

***
tulisan ini mengingatkan saya pada peksimida 2012
walaupun gag menang, tapi ikut berpartisipasi aja udah seneng :)
260412

Tidak ada komentar:

Posting Komentar