Pergi
bukan berarti meninggalkan. Langkah kaki yang semakin jauh bukan berarti hanya
meninggalkan jejak lalu terhapus oleh debu, justru dengan jejak itulah bisa
menjadi kompas untuk kembali.
***
Juni
telah usai. Telah berlalu dengan kenangan, entah itu kenangan atau hanya
sekadar angin lalu yang tidak terasa kelembutannya. Telah berakhir dengan
segala putusan, yang entah dimana letaknya. Namun apakah penderitaan telah
berujung? Tidak!
“Ehm yang mau diwisuda,” Sinta
membangunkan lamunan Rima sehingga membuat buku yang digenggamnya terjatuh.
Rima melihat Sinta sejenak, lalu
mengambil bukunya yang terjatuh. Kemudian berlalu tanpa memperdulikan Sinta. Tanpa
perintah apa pun, Sinta mengundurkan diri dari hadapan Rima. Rima tidak mau
dipusingkan dengan kicauan Sinta yang selalu menyodorkan Aji padanya. Awalnya Sinta,
katanya hanya, berniat untuk memperkenalkan Aji pada Rima, tanpa embel-embel
apapun. Namun pada akhirnya Sinta meminta agar Rima menerima ajakan Aji untuk
makan siang, jalan bersama, yang katanya hanya sekadar itu. Tidak lebih.
Rima memang belum terlalu lama
mengenal Sinta, tapi itu sudah cukup bagi Rima untuk mengetahui bagaimana perangai
seorang Sinta. Tanpa diberitahu pun, Rima telah mengetahui siasat apa yang
sedang dilaksanakan agar Rima bisa masuk dalam skenario yang ia buat. Rima
benar-benar paham.
Sinta pernah meminta bertemu dengan
Rima di suatu tempat. Saat itu Rima tidak pergi sendiri melainkan ditemani oleh
Didin, teman kerjanya. Sampai di lokasi yang diberitahu Sinta, Rima sama sekali
tidak mencium sesosok Sinta di sana. Hanya Bowo, seorang laki-laki yang sibuk
dengan buku-buku ilmiahnya, yang pernah dikenalkan Sinta kepadanya. Untuk
menghormati Bowo, Rima tidak meninggalkan Bowo begitu saja. Rima tetap menemui
Bowo dan memperkenalkan Didin sebagai calon tunangannya kepada Bowo. Selama pertemuan
itu, Bowo sibuk menceritakan bagaimana ia telah menemukan sebuah penemuan baru
dan hasilnya nanti akan sangat bermanfaat bagi orang lain. Dan yang pasti, Rima
sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan itu.
“Bagaimana?” Tanya Sinta dengan
antusias.
Rima hanya melihat Sinta. Tanpa kata.
Tanpa kalimat.
“Rima, bagaimana kencanmu? Bowo?”
“Tidak letihkah dengan pekerjaan
yang hasilnya sudah pasti sia-sia? Sudahlah Sinta, terima kasih untuk
perhatianmu. Tapi maaf, aku tidak berminat.”
“Kau belum mencoba, Rima. Kenapa tadi
kau membawa si Didin?”
“Kura-kura dalam perahu. Apa kau
tidak bisa membuat skenario yang lebih cerdik?”
Seharusnya Sinta menyadari bahwa
permintaannya untuk bertemu dengan Rima dipertimbangkan terlebih dahulu. Bagaimana
bisa Sinta mengajak bertemu di Kamis sore? Bukankah pada saat itu Sinta sedang
menjalankan tugas dari ayahnya? Rima menggeleng-gelengkan kepala. Sinta memang
baik dan mempunyai niat membantu temannya agar bahagia namun caranya saja yang
kurang tepat, pikir Rima.
Kini, sosok Aji yang ditampilkan
Sinta pada Rima, seperti mempresentasikan makalah saja yang bisa diklik lalu
muncul berbagai teori-teori versi Sinta. Rima merasa sudah cukup jelas untuk
tidak terlibat lagi dalam skenario yang dibuat Sinta. Entah Sinta yang pekerja
keras atau Sinta yang tidak mengerti Sinta. Ya anggap saja Sinta seorang
pekerja keras dan tidak mudah putus asa. Rima tidak mau memusingkan hal seperti
itu. Lebih baik ia memikirkan bagaimana mengaplikasikan gelar sarjana yang akan
ia raih esok hari.
Jika ditelusuri lagi perjalanan
ketika memasuki dunia perkuliahan hingga pada tahap akhir ini, Rima tersenyum. Tidak.
Tidak hanya Rima, sebab bulan ikut menemani senyum Rima dengan menghadirkan
gerimis. Gerimis yang pernah ia lalui bersama Igo.
Lamunan Rima dibuyarkan oleh pesan
yang diterima di ponselnya.
Selamat
malam. Sinta sekarang berada dalam ICU karena tadi kecelakaan. Mohon kehadirannya
segera di rumah sakit Cipta Kita.
Begitulah isi pesan yang tertera. Walaupun
pesan itu dari nomor ponsel Sinta tapi dari isi pesan itu jelas bahwa bukan
Sinta yang mengirimnya. Entah siapa, Rima tidak tahu karena orang itu tidak memperkenalkan
diri. Di luar dari konteks perkenalan diri itu, Rima panik dengan keadaan
Sinta. Terlebih lagi disebutkan bahwa Sinta berada dalam ruangan ICU. Separah itukah
Sinta sampai-sampai harus menikmati ICU?
Tanpa persiapan apapun, Rima
langsung mengendarai sepeda motornya dan melaju secepat mungkin namun tetap terkontrol.
Selama perjalanan, Rima berpikir keras. Kenapa Sinta seceroboh itu sehingga
terjadi kecelakaan? Tapi apakah sepenuhnya kesalahan Sinta? Bisa saja Sinta
menjadi korban. Atau memang Sinta yang tidak hati-hati? Entahlah. Berbagai pertanyaan
berkecamuk di benak Rima.
Setiba di rumah sakit, Rima
menyusuri koridor dan sampailah di depan ruangan ICU. Namun dilihat dari papan
nama yang terletak di sebelah kiri ruangan, tidak ada nama Sinta Dewi. Kening Rima
berkerut.
“Permisi Mbak, apakah dalam ruangan
ini ada yang bernama Sinta?” Tanya Rima pada perawat yang baru keluar dari
ruangan ICU.
“Sebentar saya cek dulu.”
Perawat itu pun membuka buku yang
digenggamnya kemudian mengecek daftar nama di dalam buku itu.
“Maaf, di dalam ruangan ini tidak
ada yang bernama Sinta.”
“Yakin tidak ada yang bernama Sinta?
Sinta Dewi?”
“Iya, memang benar tidak ada. Memangnya
Sinta Dewi masuk dalam ICU? Mungkin dia berada di kamar lain. Silahkan Anda
bertanya di resepsionis, mungkin di sana akan memudahkan pencarian Anda.”
“Baiklah, terima kasih.”
Rima mulai bertanya-tanya. Sebenarnya
apa yang terjadi? Apakah pesan singkat itu hanya guyonan saja? Tapi bagaimana
bisa berita duka itu dijadikan permainan? Tanpa berlama-lama Rima mendatangi
meja resepsionis. Namun sebelum sampai, Rima mendapat pesan bahwa Sinta berada
di kamar Putih 22.
Kembali dirasuki beragam pertanyaan.
Rima semakin bingung. Apakah ini benar? Akankah Sinta ada di sana? Jika ini
benar, kenapa tadi mengatakan Sinta di dalam ruangan ICU sedangkan di sana sama
sekali tidak ada nama Sinta? Dan jika ini tidak benar, apa manfaatnya? Apakah ia
tidak berpikir bahwa Rima harus istirahat karena esok hari akan melelahkan?
Tepat di depan kamar Putih 22. Rima mengetuk
pintu dan membuka pintu.
Ruangan diterangi oleh dua lilin. Terdapat
dua kursi yang saling berhadapan dan dibatasi oleh sebuah meja kecil. Di atas
meja tergeletak secarik kertas.
Aku memang
pernah meninggalkanmu di saat pondasi sedang dibangun. Tapi aku ingin membangun
pondasi itu lagi. Hanya aku dan kamu.
Rima terperanjat. Keningnya kembali
berkerut. Tak lama kemudian, lampu hidup dan sebuah suara memanggil Rima. Rima menoleh
ke belakang. Igo.
Bagaimana bisa ia di sini? Bukankah seharusnya
ini tempat dimana Sinta dirawat?
“Bagaimana?”
“Sinta dimana? Apa ini skenarionya? Cerdik
sekali dia sekarang,” ucap Rima.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Bagaimana
menurutmu?”
Rima terlihat masih bingung dan
sekaligus malu karena penampilannya berantakan sekali. Mau dikata apa, dia
mendapat kabar Sinta kecelakaan, jadi tidak sempat tukar pakaian. Keadaan Sinta
yang menjadi pusat perhatiannya. Namun ternyata Rima dijebak Sinta, lagi.
Berhadapan dengan Igo, membuat Rima
salah tingkah. Igo, seorang pria yang pernah hadir dalam dunianya namun tidak
begitu lama. Walaupun telah dua tahun berlalu, Rima masih saja dibayangi
kenangan bersama Igo dan mungkin karena itu membuat Rima belum bisa menerima
kehadiran sesosok pria lain. Terlebih lagi Igo yang pernah mengukir luka.
“Tolong katakan sesuatu. Apapun yang
kamu berikan atas permintaan itu, aku terima. Apapun itu.”
“Ini benar-benar membuatku terkejut.
Tapi maaf, aku tak bisa memberi tanggapan apapun.”
“Tidak adakah celah sedikitpun yang
bisa diterangi?”
“Celah? Entahlah. Semua tergantung
waktu. Jika kamu mau bersabar, biar angin yang menghembuskan kabarnya.”
Ternyata malam tidak berpihak pada
Igo. Tapi jika Igo mau menunggu malam-malam selanjutnya, bisa saja akan
berpihak padanya. Lantas Rima dan Igo menjadi kita.
hmm, pergi bukan meninggalkan, brati balik lagi ya? :D
BalasHapustergantung persepsi yg baca *_^
Hapus