Kamis, 07 Februari 2013

Pergi bukan meninggalkan


Pergi bukan berarti meninggalkan. Langkah kaki yang semakin jauh bukan berarti hanya meninggalkan jejak lalu terhapus oleh debu, justru dengan jejak itulah bisa menjadi kompas untuk kembali.
***
Juni telah usai. Telah berlalu dengan kenangan, entah itu kenangan atau hanya sekadar angin lalu yang tidak terasa kelembutannya. Telah berakhir dengan segala putusan, yang entah dimana letaknya. Namun apakah penderitaan telah berujung? Tidak!


            “Ehm yang mau diwisuda,” Sinta membangunkan lamunan Rima sehingga membuat buku yang digenggamnya terjatuh.
            Rima melihat Sinta sejenak, lalu mengambil bukunya yang terjatuh. Kemudian berlalu tanpa memperdulikan Sinta. Tanpa perintah apa pun, Sinta mengundurkan diri dari hadapan Rima. Rima tidak mau dipusingkan dengan kicauan Sinta yang selalu menyodorkan Aji padanya. Awalnya Sinta, katanya hanya, berniat untuk memperkenalkan Aji pada Rima, tanpa embel-embel apapun. Namun pada akhirnya Sinta meminta agar Rima menerima ajakan Aji untuk makan siang, jalan bersama, yang katanya hanya sekadar itu. Tidak lebih.
            Rima memang belum terlalu lama mengenal Sinta, tapi itu sudah cukup bagi Rima untuk mengetahui bagaimana perangai seorang Sinta. Tanpa diberitahu pun, Rima telah mengetahui siasat apa yang sedang dilaksanakan agar Rima bisa masuk dalam skenario yang ia buat. Rima benar-benar paham.
            Sinta pernah meminta bertemu dengan Rima di suatu tempat. Saat itu Rima tidak pergi sendiri melainkan ditemani oleh Didin, teman kerjanya. Sampai di lokasi yang diberitahu Sinta, Rima sama sekali tidak mencium sesosok Sinta di sana. Hanya Bowo, seorang laki-laki yang sibuk dengan buku-buku ilmiahnya, yang pernah dikenalkan Sinta kepadanya. Untuk menghormati Bowo, Rima tidak meninggalkan Bowo begitu saja. Rima tetap menemui Bowo dan memperkenalkan Didin sebagai calon tunangannya kepada Bowo. Selama pertemuan itu, Bowo sibuk menceritakan bagaimana ia telah menemukan sebuah penemuan baru dan hasilnya nanti akan sangat bermanfaat bagi orang lain. Dan yang pasti, Rima sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan itu.
            “Bagaimana?” Tanya Sinta dengan antusias.
            Rima hanya melihat Sinta. Tanpa kata. Tanpa kalimat.
            “Rima, bagaimana kencanmu? Bowo?”
            “Tidak letihkah dengan pekerjaan yang hasilnya sudah pasti sia-sia? Sudahlah Sinta, terima kasih untuk perhatianmu. Tapi maaf, aku tidak berminat.”
            “Kau belum mencoba, Rima. Kenapa tadi kau membawa si Didin?”
            “Kura-kura dalam perahu. Apa kau tidak bisa membuat skenario yang lebih cerdik?”
            Seharusnya Sinta menyadari bahwa permintaannya untuk bertemu dengan Rima dipertimbangkan terlebih dahulu. Bagaimana bisa Sinta mengajak bertemu di Kamis sore? Bukankah pada saat itu Sinta sedang menjalankan tugas dari ayahnya? Rima menggeleng-gelengkan kepala. Sinta memang baik dan mempunyai niat membantu temannya agar bahagia namun caranya saja yang kurang tepat, pikir Rima.
            Kini, sosok Aji yang ditampilkan Sinta pada Rima, seperti mempresentasikan makalah saja yang bisa diklik lalu muncul berbagai teori-teori versi Sinta. Rima merasa sudah cukup jelas untuk tidak terlibat lagi dalam skenario yang dibuat Sinta. Entah Sinta yang pekerja keras atau Sinta yang tidak mengerti Sinta. Ya anggap saja Sinta seorang pekerja keras dan tidak mudah putus asa. Rima tidak mau memusingkan hal seperti itu. Lebih baik ia memikirkan bagaimana mengaplikasikan gelar sarjana yang akan ia raih esok hari.
            Jika ditelusuri lagi perjalanan ketika memasuki dunia perkuliahan hingga pada tahap akhir ini, Rima tersenyum. Tidak. Tidak hanya Rima, sebab bulan ikut menemani senyum Rima dengan menghadirkan gerimis. Gerimis yang pernah ia lalui bersama Igo.
            Lamunan Rima dibuyarkan oleh pesan yang diterima di ponselnya.
            Selamat malam. Sinta sekarang berada dalam ICU karena tadi kecelakaan. Mohon kehadirannya segera di rumah sakit Cipta Kita.
            Begitulah isi pesan yang tertera. Walaupun pesan itu dari nomor ponsel Sinta tapi dari isi pesan itu jelas bahwa bukan Sinta yang mengirimnya. Entah siapa, Rima tidak tahu karena orang itu tidak memperkenalkan diri. Di luar dari konteks perkenalan diri itu, Rima panik dengan keadaan Sinta. Terlebih lagi disebutkan bahwa Sinta berada dalam ruangan ICU. Separah itukah Sinta sampai-sampai harus menikmati ICU?
            Tanpa persiapan apapun, Rima langsung mengendarai sepeda motornya dan melaju secepat mungkin namun tetap terkontrol. Selama perjalanan, Rima berpikir keras. Kenapa Sinta seceroboh itu sehingga terjadi kecelakaan? Tapi apakah sepenuhnya kesalahan Sinta? Bisa saja Sinta menjadi korban. Atau memang Sinta yang tidak hati-hati? Entahlah. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Rima.
            Setiba di rumah sakit, Rima menyusuri koridor dan sampailah di depan ruangan ICU. Namun dilihat dari papan nama yang terletak di sebelah kiri ruangan, tidak ada nama Sinta Dewi. Kening Rima berkerut.
            “Permisi Mbak, apakah dalam ruangan ini ada yang bernama Sinta?” Tanya Rima pada perawat yang baru keluar dari ruangan ICU.
            “Sebentar saya cek dulu.”
            Perawat itu pun membuka buku yang digenggamnya kemudian mengecek daftar nama di dalam buku itu.
            “Maaf, di dalam ruangan ini tidak ada yang bernama Sinta.”
            “Yakin tidak ada yang bernama Sinta? Sinta Dewi?”
            “Iya, memang benar tidak ada. Memangnya Sinta Dewi masuk dalam ICU? Mungkin dia berada di kamar lain. Silahkan Anda bertanya di resepsionis, mungkin di sana akan memudahkan pencarian Anda.”
            “Baiklah, terima kasih.”
            Rima mulai bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah pesan singkat itu hanya guyonan saja? Tapi bagaimana bisa berita duka itu dijadikan permainan? Tanpa berlama-lama Rima mendatangi meja resepsionis. Namun sebelum sampai, Rima mendapat pesan bahwa Sinta berada di kamar Putih 22.
            Kembali dirasuki beragam pertanyaan. Rima semakin bingung. Apakah ini benar? Akankah Sinta ada di sana? Jika ini benar, kenapa tadi mengatakan Sinta di dalam ruangan ICU sedangkan di sana sama sekali tidak ada nama Sinta? Dan jika ini tidak benar, apa manfaatnya? Apakah ia tidak berpikir bahwa Rima harus istirahat karena esok hari akan melelahkan?
            Tepat di depan kamar Putih 22. Rima mengetuk pintu dan membuka pintu.
            Ruangan diterangi oleh dua lilin. Terdapat dua kursi yang saling berhadapan dan dibatasi oleh sebuah meja kecil. Di atas meja tergeletak secarik kertas.
Aku memang pernah meninggalkanmu di saat pondasi sedang dibangun. Tapi aku ingin membangun pondasi itu lagi. Hanya aku dan kamu.
            Rima terperanjat. Keningnya kembali berkerut. Tak lama kemudian, lampu hidup dan sebuah suara memanggil Rima. Rima menoleh ke belakang. Igo.
            Bagaimana bisa ia di sini? Bukankah seharusnya ini tempat dimana Sinta dirawat?
            “Bagaimana?”
            “Sinta dimana? Apa ini skenarionya? Cerdik sekali dia sekarang,” ucap Rima.
            “Jangan mengalihkan pembicaraan. Bagaimana menurutmu?”
            Rima terlihat masih bingung dan sekaligus malu karena penampilannya berantakan sekali. Mau dikata apa, dia mendapat kabar Sinta kecelakaan, jadi tidak sempat tukar pakaian. Keadaan Sinta yang menjadi pusat perhatiannya. Namun ternyata Rima dijebak Sinta, lagi.
            Berhadapan dengan Igo, membuat Rima salah tingkah. Igo, seorang pria yang pernah hadir dalam dunianya namun tidak begitu lama. Walaupun telah dua tahun berlalu, Rima masih saja dibayangi kenangan bersama Igo dan mungkin karena itu membuat Rima belum bisa menerima kehadiran sesosok pria lain. Terlebih lagi Igo yang pernah mengukir luka.
            “Tolong katakan sesuatu. Apapun yang kamu berikan atas permintaan itu, aku terima. Apapun itu.”
            “Ini benar-benar membuatku terkejut. Tapi maaf, aku tak bisa memberi tanggapan apapun.”
            “Tidak adakah celah sedikitpun yang bisa diterangi?”
            “Celah? Entahlah. Semua tergantung waktu. Jika kamu mau bersabar, biar angin yang menghembuskan kabarnya.”
            Ternyata malam tidak berpihak pada Igo. Tapi jika Igo mau menunggu malam-malam selanjutnya, bisa saja akan berpihak padanya. Lantas Rima dan Igo menjadi kita.

2 komentar: