Selasa, 08 Januari 2013

Sasa



            Sebelum berangkat dari rumah, seperti biasa Sasa mengirim pesan ke 32665, “kuawali pagi ini dengan senyum J”, begitu bunyinya. Setelah terkirim, Sasa langsung melangkahkan kaki dan pergi meninggalkan rumah bersama si hitam yang selama ini setia menemaninya. Dia pastikan hari ini akan lebih baik dari kemarin. Jika mengingat kemarin, dirinya jadi kesal sendiri dan rasanya ingin terbang ke langit yang paling tinggi. Jadi lebih baik tak memikirkannya lagi dan fokus pada perjalanan pagi ini.
            Perjalanan ini sudah menjadi rutinitas dan terkadang Sasa menjadi bosan sendiri. Dalam perjalanan selalu memikirkan berbagai hal, entah itu kehidupan pribadi, keluarga, teman-teman lama, kenangan masa lalu, dan juga kehidupan di masa akan datang. Kali ini Sasa membayangkan bagaimana akan berdiri tegak di hadapan khalayak ramai dan mendapat gelar sarjana. Sungguh membanggakan pastinya. Semua mata tertuju padanya. Jadi senyum-senyum sendiri.
            “Hei, sudah bergeser ya?”


            Tiba-tiba terdengar suara. Dia tak langsung mengarah pada sumber suara itu. Mungkin saja orang itu tidak berbicara padanya jadi dia menghiraukan suara itu.
            “Sombong ya, Sa. Sudah lama tidak bertemu, sekali bertemu seperti ini.”
            Sasa langsung menoleh pada penghuni suara itu sebab ia merasa namanya disebut.
            “Ya ampun. Edo! Apa kabar?”, Sasa dengan terkejutnya.
            “Baik. Kamu gimana, Sa?”, jawab Edo.
            “Makin baik, Do. Mau kemana?”
            “Aku mau ke kantor. Kamu sendiri?”
            Sasa tidak menjawab pertanyaan Edo sebab lampu telah berwarna hijau dan tidak mungkin Sasa tidak melanjutkan perjalanannya.
            “Sa” suara Edo kembali mengejutkan Sasa.
            “Iya, Do. Aku mau ke kampus. Kamu tidak kuliah?”
            “Tidak, Sa. Rencananya tahun depan aku baru melanjutkan pendidikan. Maaf ya, Sa. Aku duluan.”
            “ Iya, Do”
            Kecepatan Edo dipercepat. Sepertinya ia tergesa-gesa sekali. Sudah lama tidak bertemu dengannya, kira-kira tiga tahun lamanya. Sedikit terkejut dengan penampilannya, berbeda dengan dulu ketika masih menduduki bangku sekolah. Perjalanan Sasa dilanjutkan tapi tidak lagi membayangkan sarjana itu. Sasa melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 07.30 wib. Baru 10 menit ia dalam perjalanan ini.
            Sasa mengarahkan sepeda motornya ke pom bensin sebab sepeda motornya membutuhkan minum. Antrian tidak begitu panjang tapi lumayan memerlukan waktu yang cukup. Sasa mengarahkan pandangan di sekitarnya dan akhirnya pandangannya tertuju pada satu arah, sesosok wanita setengah baya berjilbab putih dan memakai kaca mata.
            “Assalamu’alaikum”, ucap Sasa mendekati wanita setengah baya itu.
            “Wa’alaikumsalam”, jawab wanita itu.
            “Apa kabar, Bu? Masih ingat tidak dengan saya?”. Tanya Sasa.
            “Alhamdulillah baik. Rasa-rasanya ibu tidak asing dengan wajahmu, Nak”
            “Saya salah satu murid Ibu ketika sekolah dulu. Saya Sasa, Bu.”
            Ibu Mala akhirnya mengingatnya juga. Percakapan mereka terhenti sebab giliran Sasa untuk mengisi bensin. Dan aku melanjutkan perjalanan. Tak menyangka juga bertemu dengan seorang guru yang begitu berarti buatnya. Ibu Mala. Ia merupakan salah satu guru yang membimbingnya ketika ia menggunakan seragam putih-biru. Ia juga pernah merasakan kasih sayang bu Mala ketika menjadi wali kelas, lebih tepatnya kelas delapan. Bu Mala tidak pernah berbicara dengan nada tinggi dan selalu membuat murid-muridnya merasa nyaman dengannya. Bu Mala memahami keadaan Sasa dan teman-temannya jika merasa kesulitan dalam belajar. Begitu indahnya jika mengenang ketika itu dan tak pernah habis jika membicarakan bu Mala.
            Kembali pada perjalanan. Sasa tidak lagi bercakap-cakap dengan bu Mala karena bu Mala telah pergi meninggalkannya dan Sasa pun juga telah melanjutkan perjalanannya. Sasa tidak menyangka juga bahwa pagi ini ia akan bertemu dengan salah satu guru yang pernah membimbingnya dan bahkan guru tersebut sangat menyayanginya. Pikiran Sasa kini terbayang pada masa putih biru. Di saat itulah ia bertemu dengan teman-teman yang berasal dari beberapa daerah dan saat itu juga ia bertemu dengan bu Mala. Ia menjadi geli sendiri jika mengingat peristiwa-peristiwa yang telah ia alami selama itu. Rasa rindupun menyerang pada mereka yang pernah membuatnya tertawa dan menangis, pada mereka yang telah sabar membimbingnya dalam memahami pelajaran, dan pada mereka yang telah bersedia membantunya dalam materi dan spiritual.
            Tak terasa perjalananpun hampir sampai. Mungkin sekitar lima menit lagi. Sebelum sampai di kampus, Sasa mampir sebentar di tempat fotokopi, yang letaknya di depan kampus, untuk membeli pena. Setelah itu, ia tertuju pada sesosok pria yang tingginya kurang lebih 170 cm dan ia seperti mengenali pria itu. Kemudian ia memasuki gerbang kampus dan sambil memperhatikan pria tersebut. Dan ternyata pria itu ialah Pian.
            “Pian?” Tegur Sasa sambil mendekati Pian.
            “Maaf, siapa ya?”
            “Aku Sasa.”
            Pian masih agak bingung memperhatikan Sasa.
            “Bogor?” Tanya Sasa.
            Sedikit mengingat.
            “Oh iya, iya, iya. Sasa yang dulu itu kan?”
            “Yang mana memangnya?”
            “Kita kan dulu tetanggaan waktu tinggal di Bogor. Bener kan?”
            “Alhamdulillah. Aku pikir, kamu lupa seratus persen.”
            “Awalnya tadi sempat lupa tapi . . . akhirnya ingat juga. Kamu kuliah di sini?”
            “Iya, kamu juga?”
            Pian mengangguk.
            “Kok bisa? Gimana ceritanya?”
            “Panjang ceritanya, Sa. Nanti siang ada waktu? Makan siang gimana?”
            “Nanti siang ya, hmm”berpikir.
            “Gimana?” tanya Pian.
            Akhirnya Sasa menerima tawaran Pian untuk makan siang bersama. Mereka pun berpisah karena fakultas mereka berbeda. Sasa melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai di parkiran, ia mengambil handphone dan kembali memijit-mijit keypad. 32665 terkirim. Setelah itu, ia menelusuri koridor dan memasuki kelasnya. Setiba di kelas, sudah ramai juga teman-temannya yang telah datang.
            “Eh, Sa. Semua orang juga tau kalau namamu itu S-A-S-A. Sasa. Jadi tidak perlu repot-repot membuat status namamu.” Kata Nino, teman kelasnya.
            “Kalau tidak tau apa-apa, diam saja, No.”
            “Emang ada maksudnya, Sa?”
            “Menurutmu?”
            “Sepertinya ada.” Tifa ikut nimbrung.
            “Itu artinya.”
            Nino dan Tifa bersiap-siap menunggu.
            “Artinya itu.”
            “Apa artinya Sasa?” tanya Nino.
            “Sapa sesaat.”


(kalo tulisan yang ini lahir bulan dua taun kemarin hehe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar