Sebelum berangkat dari rumah,
seperti biasa Sasa mengirim pesan ke 32665, “kuawali pagi ini dengan senyum J”,
begitu bunyinya. Setelah terkirim, Sasa langsung melangkahkan kaki dan pergi
meninggalkan rumah bersama si hitam yang selama ini setia menemaninya. Dia pastikan
hari ini akan lebih baik dari kemarin. Jika mengingat kemarin, dirinya jadi
kesal sendiri dan rasanya ingin terbang ke langit yang paling tinggi. Jadi
lebih baik tak memikirkannya lagi dan fokus pada perjalanan pagi ini.
Perjalanan ini sudah menjadi
rutinitas dan terkadang Sasa menjadi bosan sendiri. Dalam perjalanan selalu
memikirkan berbagai hal, entah itu kehidupan pribadi, keluarga, teman-teman
lama, kenangan masa lalu, dan juga kehidupan di masa akan datang. Kali ini Sasa
membayangkan bagaimana akan berdiri tegak di hadapan khalayak ramai dan
mendapat gelar sarjana. Sungguh membanggakan pastinya. Semua mata tertuju
padanya. Jadi senyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara. Dia tak
langsung mengarah pada sumber suara itu. Mungkin saja orang itu tidak berbicara
padanya jadi dia menghiraukan suara itu.
“Sombong ya, Sa. Sudah lama tidak
bertemu, sekali bertemu seperti ini.”
Sasa langsung menoleh pada penghuni
suara itu sebab ia merasa namanya disebut.
“Ya ampun. Edo !
Apa kabar?”, Sasa dengan terkejutnya.
“Baik. Kamu gimana, Sa?”, jawab Edo .
“Makin baik, Do. Mau kemana?”
“Aku
mau ke kantor. Kamu sendiri?”
Sasa tidak menjawab pertanyaanEdo sebab lampu telah berwarna hijau dan tidak
mungkin Sasa tidak melanjutkan perjalanannya.
Sasa tidak menjawab pertanyaan
“Sa” suara Edo
kembali mengejutkan Sasa.
“Iya, Do. Aku mau ke kampus. Kamu
tidak kuliah?”
“Tidak, Sa. Rencananya tahun depan
aku baru melanjutkan pendidikan. Maaf ya, Sa. Aku duluan.”
“
Iya, Do”
Kecepatan Edo dipercepat. Sepertinya
ia tergesa-gesa sekali. Sudah lama tidak bertemu dengannya, kira-kira tiga
tahun lamanya. Sedikit terkejut dengan penampilannya, berbeda dengan dulu
ketika masih menduduki bangku sekolah. Perjalanan Sasa dilanjutkan tapi tidak
lagi membayangkan sarjana itu. Sasa melihat jam tangannya yang menunjukkan
pukul 07.30 wib. Baru 10 menit ia dalam perjalanan ini.
Sasa mengarahkan sepeda motornya ke
pom bensin sebab sepeda motornya membutuhkan minum. Antrian tidak begitu
panjang tapi lumayan memerlukan waktu yang cukup. Sasa mengarahkan pandangan di
sekitarnya dan akhirnya pandangannya tertuju pada satu arah, sesosok wanita
setengah baya berjilbab putih dan memakai kaca mata.
“Assalamu’alaikum”, ucap Sasa
mendekati wanita setengah baya itu.
“Wa’alaikumsalam”, jawab wanita itu.
“Apa kabar, Bu? Masih ingat tidak
dengan saya?”. Tanya Sasa.
“Alhamdulillah baik. Rasa-rasanya
ibu tidak asing dengan wajahmu, Nak”
“Saya salah satu murid Ibu ketika
sekolah dulu. Saya Sasa, Bu.”
Ibu Mala akhirnya mengingatnya juga.
Percakapan mereka terhenti sebab giliran Sasa untuk mengisi bensin. Dan aku
melanjutkan perjalanan. Tak menyangka juga bertemu dengan seorang guru yang
begitu berarti buatnya. Ibu Mala. Ia merupakan salah satu guru yang
membimbingnya ketika ia menggunakan seragam putih-biru. Ia juga pernah
merasakan kasih sayang bu Mala ketika menjadi wali kelas, lebih tepatnya kelas
delapan. Bu Mala tidak pernah berbicara dengan nada tinggi dan selalu membuat
murid-muridnya merasa nyaman dengannya. Bu Mala memahami keadaan Sasa dan
teman-temannya jika merasa kesulitan dalam belajar. Begitu indahnya jika
mengenang ketika itu dan tak pernah habis jika membicarakan bu Mala.
Kembali pada perjalanan. Sasa tidak
lagi bercakap-cakap dengan bu Mala karena bu Mala telah pergi meninggalkannya
dan Sasa pun juga telah melanjutkan perjalanannya. Sasa tidak menyangka juga
bahwa pagi ini ia akan bertemu dengan salah satu guru yang pernah membimbingnya
dan bahkan guru tersebut sangat menyayanginya. Pikiran Sasa kini terbayang pada
masa putih biru. Di saat itulah ia bertemu dengan teman-teman yang berasal dari
beberapa daerah dan saat itu juga ia bertemu dengan bu Mala. Ia menjadi geli
sendiri jika mengingat peristiwa-peristiwa yang telah ia alami selama itu. Rasa
rindupun menyerang pada mereka yang pernah membuatnya tertawa dan menangis,
pada mereka yang telah sabar membimbingnya dalam memahami pelajaran, dan pada
mereka yang telah bersedia membantunya dalam materi dan spiritual.
Tak terasa perjalananpun hampir
sampai. Mungkin sekitar lima
menit lagi. Sebelum sampai di kampus, Sasa mampir sebentar di tempat fotokopi,
yang letaknya di depan kampus, untuk membeli pena. Setelah itu, ia tertuju pada
sesosok pria yang tingginya kurang lebih 170 cm dan ia seperti mengenali pria
itu. Kemudian ia memasuki gerbang kampus dan sambil memperhatikan pria
tersebut. Dan ternyata pria itu ialah Pian.
“Pian?” Tegur Sasa sambil mendekati
Pian.
“Maaf, siapa ya?”
“Aku Sasa.”
Pian masih agak bingung
memperhatikan Sasa.
“Bogor ?” Tanya Sasa.
Sedikit mengingat.
“Oh iya, iya, iya. Sasa yang dulu
itu kan ?”
“Yang mana memangnya?”
“Kita kan dulu tetanggaan waktu tinggal di Bogor.
Bener kan ?”
“Alhamdulillah. Aku pikir, kamu lupa
seratus persen.”
“Awalnya tadi sempat lupa tapi . . .
akhirnya ingat juga. Kamu kuliah di sini?”
“Iya, kamu juga?”
Pian mengangguk.
“Kok bisa? Gimana ceritanya?”
“Panjang ceritanya, Sa. Nanti siang
ada waktu? Makan siang gimana?”
“Nanti siang ya, hmm”berpikir.
“Gimana?” tanya Pian.
Akhirnya Sasa menerima tawaran Pian
untuk makan siang bersama. Mereka pun berpisah karena fakultas mereka berbeda.
Sasa melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai di parkiran, ia mengambil
handphone dan kembali memijit-mijit keypad. 32665 terkirim. Setelah itu, ia
menelusuri koridor dan memasuki kelasnya. Setiba di kelas, sudah ramai juga
teman-temannya yang telah datang.
“Eh, Sa. Semua orang juga tau kalau
namamu itu S-A-S-A. Sasa. Jadi tidak perlu repot-repot membuat status namamu.”
Kata Nino, teman kelasnya.
“Kalau tidak tau apa-apa, diam saja,
No.”
“Emang ada maksudnya, Sa?”
“Menurutmu?”
“Sepertinya ada.” Tifa ikut
nimbrung.
“Itu artinya.”
Nino dan Tifa bersiap-siap menunggu.
“Artinya itu.”
“Apa artinya Sasa?” tanya Nino.
“Sapa sesaat.”
(kalo tulisan yang ini lahir bulan dua taun kemarin hehe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar