Goresan qori
Para
pelaku:
Qori : mahasiswa pecinta kaligrafi
Anisa : mahasiswa, adik sepupu Qori
Eka : mahasiswa pecinta kaligrafi
Intan : mahasiswa, teman Anisa
Tia : mahasiswa, teman Eka
Lala : mahasiswa, teman Eka
Panggung menggambarkan
sebuah ruangan kelas dengan sejumlah kursi beserta mejanya. Terlihat di sisi
kiri dan kanan terdapat jendela yang tidak begitu besar. Sedangkan pintu
terdapat di sisi kanan.
Tampak seorang wanita
muslim, Anisa namanya, berada di dalam kelas itu, duduk barisan kedua di sisi
kanan. Anisa nyaman dengan buku bacaannya itu, terlihat bagaimana tenangnya ia
menikmati buku di hadapannya. Tak berapa lama kemudian, Intan memasuki
panggung.
Intan : (berjalan
sambil mendekati Anisa) Assalamu’alaikum, Bu ustadzah.
Anisa : (tersenyum melihat kedatangan Intan)
Wa’alaikumsalam. Kamu ini Intan, aku pikir murid mana yang mendatangiku sampai
ke kampus.
Intan : (tertawa)
Nisa . . . Nisa. Lucu juga kalau aku jadi murid pengajianmu.
(Sejenak hening. Anisa melanjutkan
bacaannya. Sedangkan Intan sibuk dengan ponselnya. Namun sudah beberapa menit,
Anisa masih saja berkutat dengan bukunya. Wajah Intan tampak sedikit kesal
karena merasa diacuhkan.)
Intan : (berbicara tanpa melihat Anisa) Sepertinya
bacaan yang bagus, sehingga orang di sebelahnya diacuhkan begitu saja.
Anisa : (menghentikan bacaannya dan melirik Intan)
Hmm, maksudnya apa? Kamu menyindirku?
Intan : (melihat
Anisa) Apa dirimu merasa? (tersenyum)
Anisa : (menggelengkan
kepala) Kebiasaan kamu, Ntan.
Intan :
Oh iya Nisa, aku masih tidak mengerti dengan pandangan mereka terhadap kak
Qori. Memangnya kak Qori salah apa? Memangnya salah jika kak Qori mengikuti
lomba itu? Bukankah siapa saja boleh mengikutinya?
Anisa : Mungkin
karena selama ini kak Qori tidak pernah mengikuti. Dan sekarang tiba-tiba dia
muncul dalam perlombaan.
Intan : Tapi Nisa.. (diam sejenak) apakah itu salah?
Anisa : (wajahnya menjadi murung) aku merasa
semua ini salahku. Keikutsertaaan kak Qori.. (diam sejenak) Itu ideku.
Intan : (berpindah tempat, ke hadapan Anisa)
Anisa, idemu itu bagus. Jangan menyalahkan dirimu, kawan. (tersenyum) Oh iya, tiga hari lagi adikku akan mengikuti perlombaan
itu. Mudah-mudahan dia bisa mengikutinya dengan baik dan sebagus dirimu ketika
membaca al-qur’an. Hehe.
Anisa : (tersenyum) Man jadda wajjada
(Tia dan Lala memasuki panggung dan
mengucap salam. Anisa dan Intan menjawab salam.)
Tia : (berjalan
ke sisi kiri) La, menurutmu hari ini panas tidak?
Lala : Bagaimana tidak panas? Matahari tepat
sekali di atas ubun-ubun.
Tia : Tapi kalau di sini panasnya beda, La. Bagaimana
ya aku jelaskan padamu.
Lala : (melihat
Tia) Kamu ini kenapa? Tiba-tiba aneh.
Tia : (melihat Lala) Aneh? Aku aneh katamu?
Justru yang aneh itu kemarin sore. (sesekali
matanya melirik ke arah Anisa)
(Anisa masih tenang bersama buku bacaannya,
sedangkan Intan memperhatikan tingkah laku Tia)
Lala : Bicaramu kenapa ngelantur begitu, Ti?
Tia : Kamu
itu tidak tahu apa-apa sepertinya. Kamu tidak tahu bukan, bahwa ada keajaiban
kemarin sore?
Lala : Keajaiban
apa maksudmu? (diam sejenak) Oh iya,
bagaimana karnaval sastra? Eka? Menang?
Tia : Sedari
tadi aku membicarakan itu, La. (wajah
kesal) Kau ini, kenapa lambat sekali menangkapnya? (diam sejenak) Ya sudah, lupakan saja!
Lala : Hehe. Jadi Eka bagaimana?
Tia : Kamu
selalu ketinggalan berita. (melihat Lala)
tidakkah kau tahu bahwa kali ini Eka menjadi yang kedua?
Lala : Kenapa
sekarang perkataanmu seperti itu? (terdiam
sejenak) Baiklah, lupakan saja! Kembali pada pokok pembicaraan. Maksudmu
yang kedua? wajah polos)
Tia : Kalau
kubilang yang kedua, ya yang kedua. Tidak mengerti? (menghirup nafas dalam-dalam) Baiklah saudariku Tia. Begini, ketika
puncak karnaval sastra diumumkan pemenang dari tiap cabang perlombaan. Dan
untuk cabang perlombaan kaligrafi, pemenang pertamanya itu Qori Maulina.
Lala : (wajah
terkejut) Siapa?
Tia : Qori Maulina. Perlu kujelaskan siapa
dia?
Lala : Tidak
perlu kau jelaskan. Siapa yang tidak mengenal dia di kampus ini? (diam sejenak) Tapi apa aku tidak salah
dengar? Dia juaranya? (pandangan tertuju
pada Anisa) Bukankah selama ini …
Tia : Kenapa omonganmu terhenti?
Lala : Tidak
biasanya kak Qori mau mengikuti
perlombaan. Kita semua tahu, bahwa ia hanya melukis untuk dirinya sendiri.
Tia : Entah benar-benar melukis atau tidak
dia. Kita tidak tahu.
Lala : Aku tahu. Aku pernah melihat hasil
karyanya.. (diam sejenak) dan memang
bagus.
Tia : Itu
mungkin kebetulan saja, La. Berbeda dengan Eka yang kita tahu bagaimana
bagusnya kaligrafinya itu.
(Intan berdiri dan melihat Tia)
Intan : Jadi kau meragukan kak Qori? Begitu? (memandang sinis pada Tia)
Tia : Menurutmu? Bagaimana?
Anisa : (menarik Intan supaya duduk) Sudahlah Intan,
tidak ada gunanya. Lebih baik kita duduk manis di sini.
Intan :
Bagaimana bisa aku duduk manis sedangkan dia dengan seenaknya berbicara tanpa
berpikir dulu? Apa kau tidak merasa terhina oleh perkataannya? (wajahnya kesal) Kak Qori itu kakakmu,
Nis.
Anisa : Siapa
yang tidak sakit hati jika saudaranya dibicarakan seperti itu? Tentunya aku
merasakan kesakitan itu. Tapi aku berusaha menerima apa pun perkataan orang,
sebab yang tahu kebenarannya hanya Dia. Percuma kita berdebat dengan orang
seperti itu. (memandang Tia sekilas)
Intan : Tapi Nis.. (terhenti)
(Eka memasuki panggung)
Tia : (berbicara tanpa melihat Anisa dan Intan)
Semua sudah jelas. Lihat saja siapa jurinya dan yang menjadi pemenang adalah
Qori. Bagaimana? Jelas bukan?
Eka : (mendekati
Tia) Tia, jaga bicaramu. Tidak baik berprasangka buruk seperti itu.
Tia : Apakah aku mengatakan seperti itu?
Eka : (berbicara dengan nada kesal) Tapi arah
pembicaraanmu mengatakan seperti itu. (diam
sejenak) Tia, kita tidak boleh menduga-duga seperti itu. Itu dilarang oleh
agama. Kau tahu, bukan? Apa perlu kujelaskan?
Tia : (melihat
Eka) Ada apa denganmu? Kenapa kau berpihak pada mereka?
Eka : Aku
tidak berpihak pada siapa pun. Aku menerima kekalahanku dengan ikhlas. Jadi
kenapa kamu yang terlalu membesar-besarkannya? Seakan-akan ingin
menghancurkanku.
Tia : Kenapa kau berbicara seperti itu?
Eka :
Sudahlah. Aku tidak mau berdebat lagi. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa hari
ini Pak Toto tidak bisa memberikan perkuliahan sebab ia harus menguji
mahasiswanya. Kita diberi tugas. Nanti aku beritahu melalui pesan singkat ke
ponsel kalian. Maaf, aku pulang dulu. (mendekati
Anisa dan Intan) Maaf atas perkataan dan perbuatan temanku yang kurang
berkenan di hati kalian.
(Eka mengucap salam lalu keluar
dari panggung)
Tia : Lala, lebih baik kita keluar saja dari sini.
(Tia dan lala keluar dari panggung)
Intan : Anak
itu.. (melihat ke arah perginya Tia dan
Lala) Sepertinya tidak puas jika satu hari tidak membicarakan orang lain. (diam sejenak) Oh iya, Nisa, apa kau bisa
ke rumahku sekarang?
Anisa : (melihat jam tangannya) Sepertinya tidak
bisa. Maaf. Besok saja. Hari ini aku mau menemui kak Qori.
Intan : Bertemu kak Qori? (tersenyum) Ikut ya?
Anisa : (menggelengkan
kepala)
Intan : Ayolah, Nis! Boleh ya?
Anisa : (tersenyum) Tidak untuk saat ini, demi
kebaikan kak Qori. Kalau kamu ikut, nanti yang ada malah memperburuk suasana.
Intan : (wajah kesal) Memangnya aku angin puting
beliung sampai-sampai memperburuk suasana?
Anisa :
(tersenyum) Intan mau pulang sekarang
atau duduk manis di sini sendirian? (beranjak dari tempat duduknya)
(Intan pun ikut beranjak dari
tempat duduknya. Mereka meninggalkan ruangan panggung.)
Panggung menjadi ruang tamu dari
sebuah rumah. Ada tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja kecil. Terdapat
beberapa kaligrafi menghiasi dinding ruangan itu. Tampak qori sedang duduk di
salah satu kursi sambil menjalankan hobinya, kaligrafi. Terdengar suara pintu yang terketuk dan ucapan
salam dari luar rumah.
Anisa : Assalamu’alaikum
(Qori menjawab salam dan membuka
pintu. Anisa memasuki panggung.)
Anisa : Apa kabar kak?
Qori : Alhamdulillah baik. (tersenyum) Seperti yang kamu lihat.
Anisa : Kalau jasmani memang terlihat baik. (diam sejenak) Rohani bagaimana?
Qori : (tersenyum)
Baik, Nisa. Duduk dulu ya. Nisa mau minum apa?
Anisa : Nisa sedang berpuasa, kak.
Qori : Oh begitu. Bagaimana keadaan keluarga?
Sehat?
Anisa : Alhamdulillah kak, sehat.
(Qori melanjutkan kaligrafinya. Anisa melihat
kaligrafi yang menghiasi di dinding. Tidak lama kemudian, anisa mulai
pembicaraan.)
Anisa : Kenapa sepi? Umi sama abah kemana kak?
Qori : Abah dan umi pergi menghadiri akad
nikahnya kak Hasbi, salah satu muridnya abah.
Anisa : (mengangguk) Oh begitu. Kakak kenapa
tidak ikut? Apa masih merasa… (diam
sejenak) tidak enak?
Qori : Tidak enak bagaimana? (tersenyum)
Anisa : Kak Qori ini, tidak tahu atau pura-pura
tidak tahu? Anisa serius kak. Are you okay?
Qori : Baik. Kakak baik-baik saja, Nis.(tersenyum)
Anisa : Sebenarnya
Anisa benar-benar merasa tidak enak hati dengan kakak. Anisa merasa semua
kejadian menimpa kakak, gara-gara keegoisan Nisa. Maafkan Nisa, kak. (mendekati Qori)
Qori : (melihat Anisa dan berhenti berkutat dengan
kaligrafi) Nisa, dalam hal ini tidak ada yang salah dan disalahkan. Siapa
pun itu. (diam sejenak) Karena
semuanya sudah diatur oleh Allah. Kita tidak bisa seenaknya saja menyalahkan
diri sendiri atau orang lain. Justru jika kita menyalahkan diri sendiri atau
pun orang lain, itu artinya kita menyalahkan Allah karena Dia-lah yang
menghendakinya.
Anisa : Tapi
kak, tetap saja Nisa merasa bersalah atas kejadian itu. Bagaimana bisa berdiam
diri ketika kakak dianggap melakukan hal yang tidak benar? (diam sejenak) Kak, mereka telah berani
mencaci ukiran tangan kakak? Itu sama saja mereka menyentuh kaligrafi dengan
kasar. Mereka dengan seenaknya mengatakan bahwa kaligrafi kakak itu bohong.
Palsu lah, apalah. Nisa tidak terima kakak diperlakukan seperti itu.
Qori : (tersenyum)
Kenyataannya bagaimana, Nisa? Apa kakak melakukannya?
Anisa : (menggelengkan
kepala)
Qori : Ya
sudahlah, Nisa. Semua sudah terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Biarkan mereka
mau berkata apa. Yang jelas, saat ini kakak masih nyaman.
Anisa : Sure?
Qori : Of,
course. (tersenyum) Sudah berapa kali
kakak katakan pada Nisa, bahwa kaligrafi ini sebagai perantara kakak dengan Allah,
semata-mata hanya ingin mendekatkan diri pada-Nya. Dengan goresan seperti ini,
kakak sudah cukup merasa nyaman. Kakak hanya sekedar meraih ridho illahi. (diam sejenak) Nisa, apa pun yang kita
jalani di dunia ini, asalkan itu masih berada di jalan-Nya, kita pasti akan
selalu berada dalam lindungan-Nya dan tentunya membuat hati ini tenang.
Anisa : (tersenyum) Hati kakak terbuat dari apa
ya? Kok bisa sebaik ini sama orang yang sudah melakukan hal yang semena-mena?
Nisa bangga memiliki kakak seperti kak Qori.
Qori : (tersenyum dan melihat Anisa) Terlebih
kakak, bangga memiliki adik yang menyayangi kakak.
(Anisa memeluk Qori)
jadi ingat naskah drama pementasan terakhir sekolah menengah dulu,,,,
BalasHapusingat sih boleh aja, tapi gag pakek air mata yaa hehe
Hapusmakasi udah mampir *_^