Selasa, 08 Januari 2013

Goresan Qori


Goresan qori
Para pelaku:
Qori     : mahasiswa pecinta kaligrafi
Anisa   : mahasiswa, adik sepupu Qori
Eka      : mahasiswa pecinta kaligrafi
Intan    : mahasiswa, teman Anisa
Tia       : mahasiswa, teman Eka
Lala     : mahasiswa, teman Eka

Panggung menggambarkan sebuah ruangan kelas dengan sejumlah kursi beserta mejanya. Terlihat di sisi kiri dan kanan terdapat jendela yang tidak begitu besar. Sedangkan pintu terdapat di sisi kanan.
Tampak seorang wanita muslim, Anisa namanya, berada di dalam kelas itu, duduk barisan kedua di sisi kanan. Anisa nyaman dengan buku bacaannya itu, terlihat bagaimana tenangnya ia menikmati buku di hadapannya. Tak berapa lama kemudian, Intan memasuki panggung.
Intan    : (berjalan sambil mendekati Anisa) Assalamu’alaikum, Bu ustadzah.
Anisa   : (tersenyum melihat kedatangan Intan) Wa’alaikumsalam. Kamu ini Intan, aku pikir murid mana yang mendatangiku sampai ke kampus.
Intan    : (tertawa) Nisa . . . Nisa. Lucu juga kalau aku jadi murid pengajianmu.
(Sejenak hening. Anisa melanjutkan bacaannya. Sedangkan Intan sibuk dengan ponselnya. Namun sudah beberapa menit, Anisa masih saja berkutat dengan bukunya. Wajah Intan tampak sedikit kesal karena merasa diacuhkan.)
Intan    : (berbicara tanpa melihat Anisa) Sepertinya bacaan yang bagus, sehingga orang di sebelahnya diacuhkan begitu saja.
Anisa   : (menghentikan bacaannya dan melirik Intan) Hmm, maksudnya apa? Kamu menyindirku?
Intan    : (melihat Anisa) Apa dirimu merasa? (tersenyum)
Anisa   : (menggelengkan kepala) Kebiasaan kamu, Ntan.
Intan    : Oh iya Nisa, aku masih tidak mengerti dengan pandangan mereka terhadap kak Qori. Memangnya kak Qori salah apa? Memangnya salah jika kak Qori mengikuti lomba itu? Bukankah siapa saja boleh mengikutinya?
Anisa   : Mungkin karena selama ini kak Qori tidak pernah mengikuti. Dan sekarang tiba-tiba dia muncul dalam perlombaan.
Intan    : Tapi Nisa.. (diam sejenak) apakah itu salah?
Anisa   : (wajahnya menjadi murung) aku merasa semua ini salahku. Keikutsertaaan kak Qori.. (diam sejenak) Itu ideku.
Intan    : (berpindah tempat, ke hadapan Anisa) Anisa, idemu itu bagus. Jangan menyalahkan dirimu, kawan. (tersenyum) Oh iya, tiga hari lagi adikku akan mengikuti perlombaan itu. Mudah-mudahan dia bisa mengikutinya dengan baik dan sebagus dirimu ketika membaca al-qur’an. Hehe.
Anisa   : (tersenyum) Man jadda wajjada
(Tia dan Lala memasuki panggung dan mengucap salam. Anisa dan Intan menjawab salam.)
Tia       : (berjalan ke sisi kiri) La, menurutmu hari ini panas tidak?
Lala     : Bagaimana tidak panas? Matahari tepat sekali di atas ubun-ubun.
Tia       : Tapi kalau di sini panasnya beda, La. Bagaimana ya aku jelaskan padamu.
Lala     : (melihat Tia) Kamu ini kenapa? Tiba-tiba aneh.
Tia       : (melihat Lala) Aneh? Aku aneh katamu? Justru yang aneh itu kemarin sore. (sesekali matanya melirik ke arah Anisa)
(Anisa masih tenang bersama buku bacaannya, sedangkan Intan memperhatikan tingkah laku Tia)
Lala     : Bicaramu kenapa ngelantur begitu, Ti?
Tia       : Kamu itu tidak tahu apa-apa sepertinya. Kamu tidak tahu bukan, bahwa ada keajaiban kemarin sore?
Lala     : Keajaiban apa maksudmu? (diam sejenak) Oh iya, bagaimana karnaval sastra? Eka? Menang?
Tia       : Sedari tadi aku membicarakan itu, La. (wajah kesal) Kau ini, kenapa lambat sekali menangkapnya? (diam sejenak) Ya sudah, lupakan saja!
Lala     : Hehe. Jadi Eka bagaimana?
Tia       : Kamu selalu ketinggalan berita. (melihat Lala) tidakkah kau tahu bahwa kali ini Eka menjadi yang kedua?
Lala     : Kenapa sekarang perkataanmu seperti itu? (terdiam sejenak) Baiklah, lupakan saja! Kembali pada pokok pembicaraan. Maksudmu yang kedua? wajah polos)
Tia       : Kalau kubilang yang kedua, ya yang kedua. Tidak mengerti? (menghirup nafas dalam-dalam) Baiklah saudariku Tia. Begini, ketika puncak karnaval sastra diumumkan pemenang dari tiap cabang perlombaan. Dan untuk cabang perlombaan kaligrafi, pemenang pertamanya itu Qori Maulina.
Lala     : (wajah terkejut) Siapa?
Tia       : Qori Maulina. Perlu kujelaskan siapa dia?
Lala     : Tidak perlu kau jelaskan. Siapa yang tidak mengenal dia di kampus ini? (diam sejenak) Tapi apa aku tidak salah dengar? Dia juaranya? (pandangan tertuju pada Anisa) Bukankah selama ini …
Tia       : Kenapa omonganmu terhenti?
Lala     : Tidak biasanya kak Qori  mau mengikuti perlombaan. Kita semua tahu, bahwa ia hanya melukis untuk dirinya sendiri.
Tia       : Entah benar-benar melukis atau tidak dia. Kita tidak tahu.
Lala     : Aku tahu. Aku pernah melihat hasil karyanya.. (diam sejenak) dan memang bagus.
Tia       : Itu mungkin kebetulan saja, La. Berbeda dengan Eka yang kita tahu bagaimana bagusnya kaligrafinya itu.
(Intan berdiri dan melihat Tia)
Intan    : Jadi kau meragukan kak Qori? Begitu? (memandang sinis pada Tia)
Tia       : Menurutmu? Bagaimana?
Anisa   : (menarik Intan supaya duduk) Sudahlah Intan, tidak ada gunanya. Lebih baik kita duduk manis di sini.
Intan    : Bagaimana bisa aku duduk manis sedangkan dia dengan seenaknya berbicara tanpa berpikir dulu? Apa kau tidak merasa terhina oleh perkataannya? (wajahnya kesal) Kak Qori itu kakakmu, Nis.
Anisa   : Siapa yang tidak sakit hati jika saudaranya dibicarakan seperti itu? Tentunya aku merasakan kesakitan itu. Tapi aku berusaha menerima apa pun perkataan orang, sebab yang tahu kebenarannya hanya Dia. Percuma kita berdebat dengan orang seperti itu. (memandang Tia sekilas)
Intan    : Tapi Nis.. (terhenti)
(Eka memasuki panggung)
Tia       : (berbicara tanpa melihat Anisa dan Intan) Semua sudah jelas. Lihat saja siapa jurinya dan yang menjadi pemenang adalah Qori. Bagaimana? Jelas bukan?
Eka      : (mendekati Tia) Tia, jaga bicaramu. Tidak baik berprasangka buruk seperti itu.
Tia       : Apakah aku mengatakan seperti itu?
Eka      : (berbicara dengan nada kesal) Tapi arah pembicaraanmu mengatakan seperti itu. (diam sejenak) Tia, kita tidak boleh menduga-duga seperti itu. Itu dilarang oleh agama. Kau tahu, bukan? Apa perlu kujelaskan?
Tia       : (melihat Eka) Ada apa denganmu? Kenapa kau berpihak pada mereka?
Eka      : Aku tidak berpihak pada siapa pun. Aku menerima kekalahanku dengan ikhlas. Jadi kenapa kamu yang terlalu membesar-besarkannya? Seakan-akan ingin menghancurkanku.
Tia       : Kenapa kau berbicara seperti itu?
Eka       : Sudahlah. Aku tidak mau berdebat lagi. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa hari ini Pak Toto tidak bisa memberikan perkuliahan sebab ia harus menguji mahasiswanya. Kita diberi tugas. Nanti aku beritahu melalui pesan singkat ke ponsel kalian. Maaf, aku pulang dulu. (mendekati Anisa dan Intan) Maaf atas perkataan dan perbuatan temanku yang kurang berkenan di hati kalian.
(Eka mengucap salam lalu keluar dari panggung)
Tia       : Lala, lebih baik kita keluar saja dari sini.
(Tia dan lala keluar dari panggung)
Intan    : Anak itu.. (melihat ke arah perginya Tia dan Lala) Sepertinya tidak puas jika satu hari tidak membicarakan orang lain. (diam sejenak) Oh iya, Nisa, apa kau bisa ke rumahku sekarang?
Anisa   : (melihat jam tangannya) Sepertinya tidak bisa. Maaf. Besok saja. Hari ini aku mau menemui kak Qori.
Intan    : Bertemu kak Qori? (tersenyum) Ikut ya?
Anisa   : (menggelengkan kepala)
Intan    : Ayolah, Nis! Boleh ya?
Anisa   : (tersenyum) Tidak untuk saat ini, demi kebaikan kak Qori. Kalau kamu ikut, nanti yang ada malah memperburuk suasana.
Intan    : (wajah kesal) Memangnya aku angin puting beliung sampai-sampai memperburuk suasana?
Anisa    : (tersenyum) Intan mau pulang sekarang atau duduk manis di sini sendirian? (beranjak dari tempat duduknya)
(Intan pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Mereka meninggalkan ruangan panggung.)
Panggung menjadi ruang tamu dari sebuah rumah. Ada tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja kecil. Terdapat beberapa kaligrafi menghiasi dinding ruangan itu. Tampak qori sedang duduk di salah satu kursi sambil menjalankan hobinya, kaligrafi.  Terdengar suara pintu yang terketuk dan ucapan salam dari luar rumah.
Anisa   : Assalamu’alaikum
(Qori menjawab salam dan membuka pintu. Anisa memasuki panggung.)
Anisa   : Apa kabar kak?
Qori     : Alhamdulillah baik. (tersenyum) Seperti yang kamu lihat.
Anisa   : Kalau jasmani memang terlihat baik. (diam sejenak) Rohani bagaimana?
Qori     : (tersenyum) Baik, Nisa. Duduk dulu ya. Nisa mau minum apa?
Anisa   : Nisa sedang berpuasa, kak.
Qori     : Oh begitu. Bagaimana keadaan keluarga? Sehat?
Anisa   : Alhamdulillah kak, sehat.
(Qori melanjutkan kaligrafinya. Anisa melihat kaligrafi yang menghiasi di dinding. Tidak lama kemudian, anisa mulai pembicaraan.)
Anisa   : Kenapa sepi? Umi sama abah kemana kak?
Qori     : Abah dan umi pergi menghadiri akad nikahnya kak Hasbi, salah satu muridnya abah.
Anisa   : (mengangguk) Oh begitu. Kakak kenapa tidak ikut? Apa masih merasa… (diam sejenak) tidak enak?
Qori     : Tidak enak bagaimana? (tersenyum)
Anisa   : Kak Qori ini, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Anisa serius kak. Are you okay?
Qori     : Baik. Kakak baik-baik saja, Nis.(tersenyum)
Anisa   : Sebenarnya Anisa benar-benar merasa tidak enak hati dengan kakak. Anisa merasa semua kejadian menimpa kakak, gara-gara keegoisan Nisa. Maafkan Nisa, kak. (mendekati Qori)
Qori     : (melihat Anisa dan berhenti berkutat dengan kaligrafi) Nisa, dalam hal ini tidak ada yang salah dan disalahkan. Siapa pun itu. (diam sejenak) Karena semuanya sudah diatur oleh Allah. Kita tidak bisa seenaknya saja menyalahkan diri sendiri atau orang lain. Justru jika kita menyalahkan diri sendiri atau pun orang lain, itu artinya kita menyalahkan Allah karena Dia-lah yang menghendakinya.
Anisa   : Tapi kak, tetap saja Nisa merasa bersalah atas kejadian itu. Bagaimana bisa berdiam diri ketika kakak dianggap melakukan hal yang tidak benar? (diam sejenak) Kak, mereka telah berani mencaci ukiran tangan kakak? Itu sama saja mereka menyentuh kaligrafi dengan kasar. Mereka dengan seenaknya mengatakan bahwa kaligrafi kakak itu bohong. Palsu lah, apalah. Nisa tidak terima kakak diperlakukan seperti itu.
Qori     : (tersenyum) Kenyataannya bagaimana, Nisa? Apa kakak melakukannya?
Anisa   : (menggelengkan kepala)
Qori     : Ya sudahlah, Nisa. Semua sudah terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Biarkan mereka mau berkata apa. Yang jelas, saat ini kakak masih nyaman.
Anisa   : Sure?
Qori     : Of, course. (tersenyum) Sudah berapa kali kakak katakan pada Nisa, bahwa kaligrafi ini sebagai perantara kakak dengan Allah, semata-mata hanya ingin mendekatkan diri pada-Nya. Dengan goresan seperti ini, kakak sudah cukup merasa nyaman. Kakak hanya sekedar meraih ridho illahi. (diam sejenak) Nisa, apa pun yang kita jalani di dunia ini, asalkan itu masih berada di jalan-Nya, kita pasti akan selalu berada dalam lindungan-Nya dan tentunya membuat hati ini tenang.
Anisa   : (tersenyum) Hati kakak terbuat dari apa ya? Kok bisa sebaik ini sama orang yang sudah melakukan hal yang semena-mena? Nisa bangga memiliki kakak seperti kak Qori.
Qori     : (tersenyum dan melihat Anisa) Terlebih kakak, bangga memiliki adik yang menyayangi kakak.
(Anisa memeluk Qori)

Naskah drama ini lahir bulan Juni tahun 2012 (keikutsertaan dalam sebuah kompetisi)*_^

2 komentar:

  1. jadi ingat naskah drama pementasan terakhir sekolah menengah dulu,,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. ingat sih boleh aja, tapi gag pakek air mata yaa hehe
      makasi udah mampir *_^

      Hapus