Sore ini aku sedang
menikmati beberapa buku yang terjajar rapi. Memang tiga buku yang menarik
perhatianku tapi mengingat kelangsungan hidup untuk beberapa hari ke depan, aku
harus memilih satu. Pilihan yang sulit.
“Ketiga-tiganya bagus,”
kataku lirih.
“Kalau begitu ambil
saja semuanya.”
Tiba-tiba sebuah suara
memecahkan kebingunganku di hadapan ketiga buku. Kepalaku dengan sigap menoleh
sumber suara. Wajah pemilik suara itu membuatku ternganga.
“Hei, Dam. Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Kalau
kamu pasti baik juga, terlihat dari rautmu,” sahut Sadam dengan santai.
Kami tertawa. Kami melanjutkan
pembicaraan di sebuah kafe yang berada di depan toko buku. Hampir dua jam kami
berhadapan dan membicarakan berbagai hal semenjak wisuda kampus. Memang sejak
wisuda di kampus, empat tahun yang lalu, aku dan Sadam tidak pernah bertemu,
bahkan berkomunikasi pun tidak. Aku hidup dengan kehidupanku sendiri, dan Sadam
pun juga begitu.
***
Bagaimana aku tidak
terkejut ketika Nina mengatakan bahwa kedatangan Sadam sebenarnya ingin mengenalku
lebih dekat.
“Dia baru sadar bahwa
selama ini kau memperhatikannya dan dia ingin sekali mengenalmu lebih jauh. Ingin
mengetahui pribadimu, apakah cocok dengannya atau tidak. Jika dia merasa cocok,
sesegera mungkin dia akan memperkenalkanmu dengan orang tuanya. Tapi kurasa,
dia benar-benar telah membuka hatinya untukmu,” jelas Via.
Aku tidak tahan
mendengarnya. Sungguh. air mata yang merespon penjelasan dari Via. Bibirku malu.
“Dia bercerita padaku
bahwa sejak bertemu denganmu lagi, dia merasa akan ada bunga yang merekah dan
kehidupan baru di antara kalian. Tetapi seketika mimpinya buyar saat Aliya memanggilmu
‘bunda’,” jelas Via lagi.
Semakin terisak aku
mendengar rangkaian kata itu.
Ya, tadi malam Sadam
memang datang ke rumahku. Dia rapi, bahkan lebih dari rapi. Aku tidak menyangka
jika saat itu ia akan mengajakku saling mengenal lebih jauh dan akan
memperkenalkanku pada orang tuanya. Bagaimana bisa terpikirkan? Sudah lama
sekali kami tidak berkomunikasi.
“Dia ingin memberimu
kejutan. Tapi ternyata dia yang diberi kejutan. Benar-benar terkejut,” Via
kembali membuatku semakin terisak.
“Sampai sekarang aku masih
sendiri. Aku sudah pernah mencoba dekat dengan beberapa laki-laki tetapi tetap
tidak bisa. Kau tahu kenapa? Karena aku masih menunggu dia, Alam,” aku berusaha
menjelaskan dengan bibirku yang masih malu.
“Aliya? Kenapa memanggilmu
‘bunda’?” Tanya Via.
Aliya. Gadis kecil
berusia enam tahun itu sudah tiga tahun tinggal bersamaku. Dan sejak itu pula
ia memanggilku bunda. Aku mengadopsinya dari sebuah yayasan panti asuhan. Aku merasa
kesepian, maka dari itu aku mengadopsinya sehingga aku memiliki teman di rumah.
Setidaknya tidak membuatku bosan mengerjakan tugas di rumah. Kuakui, pekerjaan
membuatku jenuh.
Tapi kenapa Sadam tidak
mempertanyakan itu? Apakah salah aku yang tidak menjelaskannya? Tapi apakah aku
harus menjelaskan tanpa ia bertanya?
“Lantas kenapa dia
memanggil Putra dengan sebutan ‘papa’?” Tanya Via.
Putra, baru satu tahun
ini aku mulai berkomunikasi lagi dengannya. Putra pernah bertandang ke rumahku.
Dan Aliya sangat menyukai Putra. Sejak itulah, Putra sering mengunjungi Aliya,
sering mengajak bermain. Karena kedekatan itulah, Aliya memanggil Putra dengan
sebutan ‘papa’. Entah aku juga kurang tahu kenapa Aliya bisa seperti itu.
“Sadam berpikir, kau kembali
dengan Putra. Kemudian kalian menikah,” kata Via.
Ya Tuhan, kenapa Sadam
berpikir sepanjang itu? Tidakkah ia tahu bahwa sampai saat ini aku masih
menunggunya? Tidakkah ia tahu bahwa semua tulisanku masih tentangnya? Tidakkah
ia merasa selama ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar