Rabu, 09 Januari 2013

Karena Bunda dan Papa



Sore ini aku sedang menikmati beberapa buku yang terjajar rapi. Memang tiga buku yang menarik perhatianku tapi mengingat kelangsungan hidup untuk beberapa hari ke depan, aku harus memilih satu. Pilihan yang sulit.

“Ketiga-tiganya bagus,” kataku lirih.

“Kalau begitu ambil saja semuanya.”

Tiba-tiba sebuah suara memecahkan kebingunganku di hadapan ketiga buku. Kepalaku dengan sigap menoleh sumber suara. Wajah pemilik suara itu membuatku ternganga.

“Hei, Dam. Apa kabar?”

“Alhamdulillah baik. Kalau kamu pasti baik juga, terlihat dari rautmu,” sahut Sadam dengan santai.

Kami tertawa. Kami melanjutkan pembicaraan di sebuah kafe yang berada di depan toko buku. Hampir dua jam kami berhadapan dan membicarakan berbagai hal semenjak wisuda kampus. Memang sejak wisuda di kampus, empat tahun yang lalu, aku dan Sadam tidak pernah bertemu, bahkan berkomunikasi pun tidak. Aku hidup dengan kehidupanku sendiri, dan Sadam pun juga begitu.

***

“Apa?” tanyaku dengan raut muka penuh kaget.



Bagaimana aku tidak terkejut ketika Nina mengatakan bahwa kedatangan Sadam sebenarnya ingin mengenalku lebih dekat.

“Dia baru sadar bahwa selama ini kau memperhatikannya dan dia ingin sekali mengenalmu lebih jauh. Ingin mengetahui pribadimu, apakah cocok dengannya atau tidak. Jika dia merasa cocok, sesegera mungkin dia akan memperkenalkanmu dengan orang tuanya. Tapi kurasa, dia benar-benar telah membuka hatinya untukmu,” jelas Via.

Aku tidak tahan mendengarnya. Sungguh. air mata yang merespon penjelasan dari Via. Bibirku malu.

“Dia bercerita padaku bahwa sejak bertemu denganmu lagi, dia merasa akan ada bunga yang merekah dan kehidupan baru di antara kalian. Tetapi seketika mimpinya buyar saat Aliya memanggilmu ‘bunda’,” jelas Via lagi.

Semakin terisak aku mendengar rangkaian kata itu.

Ya, tadi malam Sadam memang datang ke rumahku. Dia rapi, bahkan lebih dari rapi. Aku tidak menyangka jika saat itu ia akan mengajakku saling mengenal lebih jauh dan akan memperkenalkanku pada orang tuanya. Bagaimana bisa terpikirkan? Sudah lama sekali kami tidak berkomunikasi.

“Dia ingin memberimu kejutan. Tapi ternyata dia yang diberi kejutan. Benar-benar terkejut,” Via kembali membuatku semakin terisak.

“Sampai sekarang aku masih sendiri. Aku sudah pernah mencoba dekat dengan beberapa laki-laki tetapi tetap tidak bisa. Kau tahu kenapa? Karena aku masih menunggu dia, Alam,” aku berusaha menjelaskan dengan bibirku yang masih malu.

“Aliya? Kenapa memanggilmu ‘bunda’?” Tanya Via.

Aliya. Gadis kecil berusia enam tahun itu sudah tiga tahun tinggal bersamaku. Dan sejak itu pula ia memanggilku bunda. Aku mengadopsinya dari sebuah yayasan panti asuhan. Aku merasa kesepian, maka dari itu aku mengadopsinya sehingga aku memiliki teman di rumah. Setidaknya tidak membuatku bosan mengerjakan tugas di rumah. Kuakui, pekerjaan membuatku jenuh.

Tapi kenapa Sadam tidak mempertanyakan itu? Apakah salah aku yang tidak menjelaskannya? Tapi apakah aku harus menjelaskan tanpa ia bertanya?

“Lantas kenapa dia memanggil Putra dengan sebutan ‘papa’?” Tanya Via.

Putra, baru satu tahun ini aku mulai berkomunikasi lagi dengannya. Putra pernah bertandang ke rumahku. Dan Aliya sangat menyukai Putra. Sejak itulah, Putra sering mengunjungi Aliya, sering mengajak bermain. Karena kedekatan itulah, Aliya memanggil Putra dengan sebutan ‘papa’. Entah aku juga kurang tahu kenapa Aliya bisa seperti itu.

“Sadam berpikir, kau kembali dengan Putra. Kemudian kalian menikah,” kata Via.

Ya Tuhan, kenapa Sadam berpikir sepanjang itu? Tidakkah ia tahu bahwa sampai saat ini aku masih menunggunya? Tidakkah ia tahu bahwa semua tulisanku masih tentangnya? Tidakkah ia merasa selama ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar