Judul: After The Honeymoon
(Drama Baru Dimulai Seusai Pesta)
Penulis: Ollie
Penerbit: Gagas Media
Tahun terbit: 2009
(cetakan pertama)
Jumlah halaman: vi + 238
halaman
Novel ini mengungkapkan sesuatu terjadi
setelah honeymoon (sesuai dengan judul) :D. Saya kira, “sesuatu” itu akan
terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun karena permasalahan anak
yang tak kunjung diberi-Nya, ekonomi, atau mertua yang tak cocok dengan
menantu. Namun, perkiraan saya meleset. Justru tepat setelah pulang honeymoon,
ketidaknyamanan mulai terasa.
Setiba di kantor –setelah pulang
dari honeymoon—, Ata sudah diminta pertanggungjawaban atas pekerjaannya.
Terlebih lagi, ia mendapatkan promosi sehingga jam kerjanya akan berlebih. Itu
artinya ia akan sering lembur dan waktu di rumah akan berkurang. Padahal
keinginannya dulu, setelah menikah ingin menjadi ibu rumah tangga yang memiliki
bisnis kecil-kecilan. Tapi apa mau dikata, ia tetap mensyukuri rezeki dan itu
bisa membantu keuangan keluarga. Bukan berarti Barra tidak bekerja. Ia bekerja
tetapi penghasilannya tidak melebihi Ata. Selain diminta pertanggungjawaban,
Ata juga telah ditunggu oleh tagihan-tagihan yang menumpuk (cicilan rumah,
listrik, air, asuransi mobil, dsb). Dan Ata mulai stress. Kenapa? Karna
ia yang akan membayar semua tagihan itu. Penghasilan Barra sudah habis untuk
membayar keinginannya mendapatkan gadget terbaru.
Ia pikir, cinta akan
membuat segalanya lebih mudah, termasuk pembagian tanggung jawab urusan
financial. Tidak perlu terlalu kaku, apalagi sampai membuat peraturan. Namun,
ternyata dia terbukti salah. Sekarang, Ata merasakan beban berat yang harus
ditanggungnya. (hal:16)
Ata dan Barra baru saja
melangsungkan pernikahan yang awalnya sulit untuk dilaksanakan karena
masing-masing orang tua mereka kurang setuju. Tapi semua berjalan normal. Kini,
mereka tinggal di sebuah rumah yang berada di pinggiran Jakarta yang cukup
memakan waktu di jalan untuk pulang pergi ke kantor mereka. Dan Ata yang
menyetir.
Tak lama kemudian, Ata pun hamil.
Perdebatan terjadi. Barra enggan tinggal bersama mertuanya, terlebih mendengar
omongan Rey, teman kantornya. Akhirnya, Barra mengalah. Hari pertama di rumah
mertua, Barra sudah merasa terusik. Dimulai dari ketokan pintu di pagi hari
dari sang mertua. Lalu, duduk berdua di teras rumah sambil menikmati mangga
muda. Ditambah lagi dengan kedatangan pakde dan bude Ata dari Jawa Tengah dan
Ata seorang diri yang menjemput mereka di stasiun kereta.
Ata terkejut. Tabungan bersamanya
hanya tersisa seratus ribu rupiah. Ternyata, suaminya telah “mencuri” tabungan
bersama mereka untuk menanam investasi kelapa sawit yang ditawarkan Matthew,
kakak ipar Barra. Perang sengit terjadi antara Ata dan Barra. Ata tidak
mengerti kenapa Barra memercayai kakak iparnya yang jelas-jelas sering
melakukan penipuan. Saat itu juga Barra pergi dari rumah. Meninggalkan Ata yang
berbadan dua.
Cerita lain, Widi mengetahui
bahwa suaminya, yang merasa Widi tak lagi menghiraukan dia, telah bermain api
dengan perempuan bernama Stella. Namun Widi tetap mempertahankan rumah
tangganya dengan berpura-pura bahagia di hadapan orang tua dan adiknya. Sampai
pada akhirnya, Widi masuk rumah sakit karena mencoba bunuh diri, melukai urat
nadinya. Ata tak menyangka kakaknya, seorang istri dan ibu yang bahagia, bisa
melakukan hal itu. Justru selama ini Ata iri dengan keharmonisan rumah tangga
kakaknya.
Sebulan berlalu, Barra berkelana
ke Solo, lebih tepatnya meminta pekerjaanya dialihkan ke perusahaan di Solo. Di
sana memiliki sekretaris cantik bernama Putri. Barra mulai merasakan keanehan
ketika sedang bersama Putri.
Selama proses penyembuhan Widi,
Ata, yang berusaha tegar ketika rumah tangganya diambang perpisahan, selalu
menemani. Jeff tak menampakkan diri. Sesakit apa pun hatinya, Widi tetap
menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan mengirim pesan selamat ulang tahun pada
Jeff. Di sanalah, awal mula proses mereka untuk belajar memperbaiki pondasi
yang hampir runtuh.
Barra hanya dua minggu di Solo.
Lalu kembali ke Jakarta, berniat mengajak kembali Ata. Namun niat baiknya tidak
ditanggapi baik oleh keluarga Ata. Mereka pun terpisah (lagi) tanpa sempat
diberi waktu berdua.
Mereka pun bertemu. Ata dan Barra
(dengan bantuan Widi dan Jeff). Di Taman Suropati, tempat favorit mereka.
Berjanji akan terus bersama walaupun orang tua tidak menyetujui. Semacam
backstreet. Rutin bertemu. Barra menemani istrinya memeriksa kandungan.
Seminggu sekali menikmati kasur di rumah mereka sendiri. Dan menemukan solusi
untuk kebaikan rumah tangganya: Barra belajar menyetir, Ata belajar memasak,
kejujuran dalam keuangan, Ata mengurangi jadwal di kantor, dan keinginan Barra
pada gadget terbaru yang menggiurkan.
Mereka dianugerahi anak ketika
kandungan Ata berusia tujuh bulan. Seorang bayi laki-laki.
***
Hal pertama yang membuat saya
tertarik untuk mendekati novel ini ialah sampul novel. Terkesan elegan. Gambar
yang disajikan berasa putri raja J
Sudut pandang yang digunakan
orang ketiga. Alur cerita yang disajikan cukup menarik, menarik ulur kita terhadap
peristiwa yang diberikan. Cerita yang disajikan juga ada dalam kehidupan
sehari-hari. Ternyata rumah tangga yang sudah diujung tanduk bisa diselamatkan.
Intinya, sama-sama mau belajar dan sama-sama bertahan. Saya belajar bagaimana
menjadi seorang istri kelak jika saya sudah mengemban kewajiban tersebut.
Memang ada banyak hal yang harus diperhitungkan ketika kita melangkahkan kaki
ke “dunia baru” bersama pasangan kita. Perlu kesabaran, komunikasi, kejujuran,
dan kebersamaan untuk terus mengenggam apa yang sudah dijanjikan.
Bahasa yang digunakan membuat
saya nyaman, mudah dipahami. Tokoh-tokoh yang disajikan juga realita, ada di
sekitar kita. Saya salut dengan tokoh Widi. Seorang wanita kuat yang mau
mempertahankan keluarganya walaupun dia sempat mencoba “pergi”. Itu sangat
disayangkan. Sepertinya ia tak sanggup lagi menanggung bebannya. Sedangkan
tokoh Ata dengan ketangguhannya menanggung semua tagihan yang ada karena
penghasilan suaminya tidak begitu mampu membantu. Namun, tokoh Barra dan Jeff
terjadi perubahan tingkah laku. Barra menyesali tingkah laku seenaknya yang
menyusahkan istrinya dan Jeff juga tak lagi bermain dengan Stella. Dalam novel
ini, saya tidak suka dengan tokoh Reynold yang menjadi kompor bagi Barra. Pun
tokoh orang tua, terlebih pada Nyonya Soemardjan, ibu dari Barra. Novel ini
sukses membuat saya geram pada Rey dan Nyonya Soemardjan.
Yang membuat saya kurang nyaman
adalah akhir dari kisah ini. Tidak dijelaskan apakah mereka rujuk, bagaimana
tanggapan orang tua Barra setelah lahirnya bayi laki-laki Ata dan Barra. Ending
terbuka.
Novel ini tepat dibaca bagi teman-teman yang akan atau sedang memasuki kehidupan baru bersama pasangan hidupnya. Terlebih lagi, teruntuk teman-teman yang sedang mengalami permasalahan.
Kisah ini mengajarkan kita untuk
tetap kuat ketika permasalahan rumah tangga menerpa. Butuh proses untuk
mencapai puncak. Sama seperti kehidupan baru bersama pasangan, perlu tahap
untuk mengenal kata “utuh”. Saya yakin, untuk berbicara memang mudah tetapi
sukar dilaksanakan. Sadarlah, bahwa Sang Pencipta memiliki segala keajaiban
untuk kita ^^