kukira, malam akan menyiapkan pagi untukku
sebab telah kuteriakkan
jiwa kering ini
saat jangkrik melantunkan nada,
nyatanya,
angin hanya membuka luka lama
yang telah kutimbun
ilalang bergoyang kerontang
Rabu, 28 Desember 2011
Selasa, 27 Desember 2011
hembusan
harus dari mana dulu kusampaikan hembusan ini
timur?
barat?
atau
utara?
selatan?
entahlah
aku pun tak tau hembusan apa ini
kemana hembusan ini pun aku juga tak tau
kalian bingung?
terlebih lagi aku,
sungguh,
aku tak bermaksud tak tau menau
tapi inilah nyatanya
karna aku memang benar_benar tak tau
aku tak begitu mahir untuk hal seperti ini
ada yang tau kemana aku harus bertanya?
ruang mana yang bisa kujadikan berlabuh sejenak tuk bernafas?
atau
ada yang bersedia mengantarkan hembusan ini?
tolong pada siapapun yang di sana,
tidakkah kalian mendengar hentakan jantung yang tak lagi merdu nadanya?
timur?
barat?
atau
utara?
selatan?
entahlah
aku pun tak tau hembusan apa ini
kemana hembusan ini pun aku juga tak tau
kalian bingung?
terlebih lagi aku,
sungguh,
aku tak bermaksud tak tau menau
tapi inilah nyatanya
karna aku memang benar_benar tak tau
aku tak begitu mahir untuk hal seperti ini
ada yang tau kemana aku harus bertanya?
ruang mana yang bisa kujadikan berlabuh sejenak tuk bernafas?
atau
ada yang bersedia mengantarkan hembusan ini?
tolong pada siapapun yang di sana,
tidakkah kalian mendengar hentakan jantung yang tak lagi merdu nadanya?
Sabtu, 24 Desember 2011
11 tahun
saat ini aku masih berharap agar kita bisa bertatap muka lagi, seperti 11 tahun yang lalu. entah mengapa, akhir-akhir ini wajah kalian terbayang olehku. di saat kita barmain bersama. aku sangat berterima kasih pada Allah karena telah dipertemukan dengan kalian semua. aku ingin mengulang kisah yang pernah kita jalin. mengulang tiada habisnya.
untuk mbak eka, mbak ela, n tiwi, gue pengen banged bareng kalian lagi. maen samasama. yang gue inget, kita maen sepeda bareng sampe lapangan bagio. inget gag? trus kita juga pernah maen petak umpet di lapangan deket rumah kita. oh iya, kita kan juga ngaji bareng-bareng. kita ngaji di tempatnya pak haji Goni, kita diajar sama bu pipit n bu zubaidah. kemaren tuh yang nikah bu zubaidah ato bu pipit ya? gue lupa :)
seru daahh pokoknya bareng kalian. o ya, kita juga pernah lomba bawa gundu pakek sendok. waktu itu yang ikut, gue, mbak eka, mpok ela, n kak keren. haha. lucu dehh. gue punya fotonya. kapan yaa kita bisa bareng lagi? sekarang pasti udah gede yaa. gag nyangka aja, kita terpisah ruang yang begitu sulit mempertemukan kita.
dan untuk temen_temen di 07, gue juga pengen ketemu kalian. kalian yang pernah ngisi hari-hari gue. banyak banged hal yang pernah kita lalui. apalagi Fika, gue ngerasa deket sama lo, secara gitu kan rumah kita deketan. walopun lo saingan gue di sekolah, tapi gue gag ngerasa kayak gitu kok. kita kan saingan secara sehat. iyaa gag? hehe. tiara, gue pengen makan bakso bokap lo, hihi. nina, apa sekarang suara lo masih serak_serak basah? linda, masih takut sama jarum suntik? lastri n kokom, kalian masih lengketkah? fauzia, masih tinggal di rumah yang lama? ani, gimana lo sekarang? nizar, gue mo nyoba pempek bokap lo, hehe. ari, lo masi playboy gag? jodi, gue pengen nyeplokin lo lg kayak waktu lo ultah, hihi. les, masih tinggal di nobar? masi banjir gag? dan buat yang laennya, oky, mekka, bowo, radika, imam, pokoknya kalian semua dahh. kangen banged gue.
kalian inget gag kita pernah maen luncur_luncuran di sekolah? baju kita jadi basah semua. kalo kita pramuka, kita berteduh di bawah pohon beringin sambil nyanyi_nyanyi. kita senam bareng di lapangan. kita rame_rame nyerbu kantinnya pak apa yaa, gue lupa namanya, hehe.
waktu kita kelas satu, wali kelas kita bu Sugiarti. baek banged daahh. gimana yaa kabar bu sugiarti? sehat kan? o ya, gimana pak ris? yang paling gue inget sampe sekarang, yaitu nada buat ngapal arah mata angin, itu kan yang ngajarin pak Ris. apa ubannya dah tambah banyak? yaa ampun, bener_bener kangen gue.
gue cuma bisa berharap, bisa ketemu kalian semua. semoga Allah mendengar doa gue dan ngabulinnya. amin.
miss u all
*_^
untuk mbak eka, mbak ela, n tiwi, gue pengen banged bareng kalian lagi. maen samasama. yang gue inget, kita maen sepeda bareng sampe lapangan bagio. inget gag? trus kita juga pernah maen petak umpet di lapangan deket rumah kita. oh iya, kita kan juga ngaji bareng-bareng. kita ngaji di tempatnya pak haji Goni, kita diajar sama bu pipit n bu zubaidah. kemaren tuh yang nikah bu zubaidah ato bu pipit ya? gue lupa :)
seru daahh pokoknya bareng kalian. o ya, kita juga pernah lomba bawa gundu pakek sendok. waktu itu yang ikut, gue, mbak eka, mpok ela, n kak keren. haha. lucu dehh. gue punya fotonya. kapan yaa kita bisa bareng lagi? sekarang pasti udah gede yaa. gag nyangka aja, kita terpisah ruang yang begitu sulit mempertemukan kita.
dan untuk temen_temen di 07, gue juga pengen ketemu kalian. kalian yang pernah ngisi hari-hari gue. banyak banged hal yang pernah kita lalui. apalagi Fika, gue ngerasa deket sama lo, secara gitu kan rumah kita deketan. walopun lo saingan gue di sekolah, tapi gue gag ngerasa kayak gitu kok. kita kan saingan secara sehat. iyaa gag? hehe. tiara, gue pengen makan bakso bokap lo, hihi. nina, apa sekarang suara lo masih serak_serak basah? linda, masih takut sama jarum suntik? lastri n kokom, kalian masih lengketkah? fauzia, masih tinggal di rumah yang lama? ani, gimana lo sekarang? nizar, gue mo nyoba pempek bokap lo, hehe. ari, lo masi playboy gag? jodi, gue pengen nyeplokin lo lg kayak waktu lo ultah, hihi. les, masih tinggal di nobar? masi banjir gag? dan buat yang laennya, oky, mekka, bowo, radika, imam, pokoknya kalian semua dahh. kangen banged gue.
kalian inget gag kita pernah maen luncur_luncuran di sekolah? baju kita jadi basah semua. kalo kita pramuka, kita berteduh di bawah pohon beringin sambil nyanyi_nyanyi. kita senam bareng di lapangan. kita rame_rame nyerbu kantinnya pak apa yaa, gue lupa namanya, hehe.
waktu kita kelas satu, wali kelas kita bu Sugiarti. baek banged daahh. gimana yaa kabar bu sugiarti? sehat kan? o ya, gimana pak ris? yang paling gue inget sampe sekarang, yaitu nada buat ngapal arah mata angin, itu kan yang ngajarin pak Ris. apa ubannya dah tambah banyak? yaa ampun, bener_bener kangen gue.
gue cuma bisa berharap, bisa ketemu kalian semua. semoga Allah mendengar doa gue dan ngabulinnya. amin.
miss u all
*_^
Jumat, 23 Desember 2011
Lara
Akhirnya hari ini pun tiba. Setelah tiga tahun lamanya Lara mengikuti pendidikan lanjutan pertama, sekarang waktunya untuk melanjutkannya untuk mengikuti pendidikan menengah atas. Hal yang paling ditunggu Lara ialah mengenakan seragam putih abu-abu. Menurutnya, seragam itulah seragam tertinggi dari pendidikan sebelumnya dan membuatnya bangga jika bisa mengenakan seragam itu.
Sekolah dipenuhi kecemasan seluruh murid kelas 3, termasuk Lara. Kecemasan mereka akan hasil kelulusan nanti, beberapa menit lagi. Lara pun menunggu hasil kelulusan dengan kekhawatiran juga, dan takut tidak bisa menerima hasil yang tidak diinginkan. Bagaimana ia bisa menerima hasil itu dan bagaimana ia mempertanggungjawabkan hasil seperti itu pada orang tuanya. Lara hanya bisa berdoa.
“Sudah siap anak-anak?” kata Ibu Mala.
“Dari tadi, Bu.” Jawab Nino, salah satu siswa kelas tiga.
“Sekarang saja keluarkan hasilnya.” Tambah yang lainnya.
“Iya, Bu. Sekarang saja.”
“Baiklah. Tapi harus janji, tidak boleh mendorong teman. Jangan saling berebutan. Saling bergantian ya.”
“Iya, Bu.”
Kemudian ibu Mala mulai mengeluarkan papan pengumuman kelulusan. Lara berhasil berdiri paling depan. Bersama Ita, sahabatnya. Lara berusaha mencari nomor ujiannya. Awalnya Ita yang telah berhasil menemukan nomornya. Dinyatakan lulus. Tapi Lara belum juga menemukan nomornya sendiri. Kemudian Ita membantu Lara. Lara berusaha teliti mungkin mencari dan mengamatinya dengan baik-baik. Dan akhirnya ditemukan. Lara menemukan nomornya dan juga dinyatakan lulus. Lara dan Ita sangat bahagia sekali. Akhirnya mereka bisa menyelesaikan pendidikannya.
Keesokan harinya, Lara sibuk mengurusi ijazah dan menentukan sekolah mana yang akan ia tuju selanjutnya. Sekolah memberikan dua pilihan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak muridnya, begitu juga bagi Lara. Lara telah menentukan pilihan sekolahnya, yang pertama yaitu SMAN Maju Bersama, sekolah yang diinginkannya sejak duduk di bangku lanjutan pertama, dan SMAN Luhur, sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
Setelah menunggu beberapa hari akhirnya keputusan itu pun diumumkan. Keputusan yang akan membuat Lara semakin mudah untuk mencapai cita-citanya. Sebab hari ini dimana sekolah menengah atas akan mengumumkan siswa-siswi yang telah berhasil lolos dalam seleksi penerimaan siswa tahun ini. Lara pergi ke sekolah pilihan pertama bersama ibunya. Awalnya tidak begitu mengenal daerah sekitar sekolah itu, namun berhasil ditemukan juga.
“Alhamdulillah.” Ucap syukur Lara.
Lara bersyukur karena diberikan kepercayaan untuk menjadi salah satu siswa di sekolah ini. Ternyata Lara bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah yang sangat diinginkannya selama ini dan ia tidak akan menyia-nyiakannya. Tidak hanya Lara, sebagian besar teman-teman Lara juga diterima di sekolah ini, termasuk Ita. Perkiraan Ita tidak tepat. Ita berpikir bahwa ia tidak akan diterima di sekolah ini dan tidak bisa bersama Lara lebih lama. Tapi nyatanya, Ita diterima dan mereka masih bisa tetap bersama. Benar-benar membahagiakan.
“Pengembalian formulir dan penyelesaian administrasi diberikan waktu 5 hari sejak hari ini dan jika melewati batas, siswa dianggap batal.”
Lara mengulang membaca kalimat itu. Memang tidak ada yang menarik, namun bagi Lara, ini sangat menarik. Waktu 5 hari itu tidak lama. Ia tahu bahwa orang tuanya pasti memberikan yang terbaik untuknya. Lara pun yakin bahwa ia akan mengikuti pendidikan di sekolah ini. Tahun ini juga.
“Nak, ayah sedang dan akan berusaha untuk sekolahmu. Doakan ayah.”
“Pasti, Yah. Lara selalu berdoa agar ayah diberikan kesehatan dan diberi rezeki supaya Lara bisa menggapai cita-cita Lara.”
“Ibu juga akan berusaha.”
“Terima kasih, ibu, ayah. Lara sayang kalian.”
Mereka pun berpelukan. Begitu hangatnya. Lara sangat menyayangi orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Mereka tidak hanya bertiga, sebab Lara memiliki seorang adik. Odi namanya. Odi telah mengikuti pendidikan sekolah dasar dan kini duduk di bangku kelas 5. Mereka bukan dari keluarga yang mampu, melainkan keluarga kurang mampu. Namun kenyataan ini tidak mematahkan semangat Lara untuk mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Lara ingin menjadi dokter karena ia ingin memberikan pelayanan kesehatan kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama kepada mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Lara berpikir, kesehatan itu penting sebab jika kita sehat, kita akan nyaman melakukan apapun kegiatannya.
Waktu telah berjalan empat hari dan besok adalah hari terakhir. Namun sampai sekarang Lara belum menyelesaikan administrasi. Bukan ingin menunda namun memang masih ada yang kurang. Lara berusaha menerima walaupun sebenarnya Lara sudah merasa ketakutan. Takut jika ia akan gagal tahun ini.
“Nak, apakah besok itu benar-benar hari terakhir?” Tanya ayahnya.
“Iya ayah.” Jawabku.
“Seandainya Allah mengizinkanmu untuk melanjutkan pendidikan tidak tahun ini, tapi tahun depan. Bagaimana?”
Lara terdiam. Tidak bisa menjawab. Pertanyaan yang sulit. Antara keinginan dan kenyataan. Lara berusaha mengeluarkan kata-kata namun air mata yang berhasil mendahuluinya.
“Lara, kami tidak bermaksud mematahkan semangatmu tapi ayah dan ibu hanya memberimu pilihan yang mungkin akan terjadi.” Jelas ibu.
“Ya sudah. Hapus air matamu. Sekarang Lara tidur. Ayah dan ibu akan berusaha semaksimal mungkin.” Tutur ayah.
Lara pun menghapus air mata dan pergi meninggalkan orang tuanya menuju kamar tidur. Lara berusaha menenangkan diri dan masih berharap.
Esoknya, Lara masih dalam pengharapan. Berharap akan mengikuti pendidikan tahun ini. Semoga saja. Namun orang tuanya belum memberi tanda itu. Pikir Lara, apa benar ia akan melewati kesempatan ini dan melanjutkannya tahun depan.
Waktu terus berjalan. Sekarang pukul 11.00 wib dan belum ada tanda-tanda kehidupan bagi Lara. Tanpa disadarinya, Lara pun kembali meneteskan air mata sambil mengingat bahwa hari ini ialah hari terakhir, lebih tepatnya dua jam lagi akan ditutup. Tapi Lara masih berdiam diri di rumah. Orang tua Lara masih berusaha memperjuangkannya. Berusaha membantu Lara untuk mengejar cita-citanya.
“Maafkan ayah, Nak. Ayah sudah berusaha namun inilah kemampuan ayah.”
“Ibu juga sudah berusaha meminjam sama Ibu Retno, tapi karena hutang yang kemarin belum lunas jadi dia tidak mau memberikan pinjaman lagi. Sedangkan yang lain, juga memerlukan uang untuk membiayai keperluan anak mereka.”
Kembali air mata menemani Lara. Semakin lama semakin deras. Lara tak bisa menahannya. Lara benar-benar akan kehilangan kesempatan ini, pikirnya.
“Baiklah. Lara menerima ini. Lara tidak akan marah pada ayah dan ibu. Justru, Lara berterima kasih pada ayah dan ibu karena sudah berusaha untuk Lara. Terima kasih sekali. Terima kasih karena kalian telah berjuang untuk Lara. Lara berusaha menerima semua ini. Mungkin ini yang terbaik untuk Lara.” Tutur Lara sambil mendekati orang tuanya dan masih dalam keadaan isakan tangisnya.
Ketakutan ini terjadi juga. Sebelumnya Lara telah menduga peristiwa seperti ini namun Lara menangkisnya dengan mempercayai bahwa Allah akan membantunya. Namun mau bagaimana lagi, inilah kenyataan yang harus diterima Lara. Lara harus memahami kemampuan ayah dan ibunya.
“Ita?” Kata Lara.
Lara pun menghapus air matanya. Dan terkejut melihat kehadiran Ita.
“Kenapa kamu tidak cerita sama aku, Ra? Kamu anggap aku apa?” Tanya Ita.
“Apa Ta? Kamu bicara apa? Kamu sahabat aku tentunya.”
“Sahabat? Kamu bilang sahabat? Kalau kamu anggap aku sahabat, lantas kenapa kamu tidak berbagi semua ini denganku.”
“Berbagi apa?”
“Aku sudah mendengar semuanya. Kamu tidak perlu menutupinya lagi. Sekarang kita pergi ke sekolah kita.”
“Mungkin ini takdir aku, Ta. Takdir bahwa aku akan melanjutkan pendidikan tahun depan. Lagi pula, aku sudah banyak merepotkanmu.”
“Aku tidak merasa direpotkan. Ya sudah, Lara aku ikhlas membantumu karena aku sudah menganggapmu seperti saudara. Dan sekarang aku wajib membantu saudaraku yang membutuhkan pertolonganku.”
Kemudian Ita, Lara, dan ibu Lara pergi ke sekolah. Waktu telah menunjukkan pukul 12.45 wib. Langkah mereka semakin dipercepat. Di tengah perjalanan mereka bertiga sambil berdoa, semoga masih diberi kesempatan. Terik matahari tidak dihiraukan. Dan akhirnya mereka sampai di tempat pengembalian formulir dan penyelesaian administrasi, pukul 12.55 wib. Sepi. Memang sudah sepi karena yang lain sudah selesai menyelesaikan tahap ini. Dan aku pun terdaftar sebagai siswa di sekolah ini, tahun ini juga.
“Terima kasih, Ta. Terima kasih sekali.”
Mereka berdua pun berpelukan. Pelukan hangat persahabatan.
Sekolah dipenuhi kecemasan seluruh murid kelas 3, termasuk Lara. Kecemasan mereka akan hasil kelulusan nanti, beberapa menit lagi. Lara pun menunggu hasil kelulusan dengan kekhawatiran juga, dan takut tidak bisa menerima hasil yang tidak diinginkan. Bagaimana ia bisa menerima hasil itu dan bagaimana ia mempertanggungjawabkan hasil seperti itu pada orang tuanya. Lara hanya bisa berdoa.
“Sudah siap anak-anak?” kata Ibu Mala.
“Dari tadi, Bu.” Jawab Nino, salah satu siswa kelas tiga.
“Sekarang saja keluarkan hasilnya.” Tambah yang lainnya.
“Iya, Bu. Sekarang saja.”
“Baiklah. Tapi harus janji, tidak boleh mendorong teman. Jangan saling berebutan. Saling bergantian ya.”
“Iya, Bu.”
Kemudian ibu Mala mulai mengeluarkan papan pengumuman kelulusan. Lara berhasil berdiri paling depan. Bersama Ita, sahabatnya. Lara berusaha mencari nomor ujiannya. Awalnya Ita yang telah berhasil menemukan nomornya. Dinyatakan lulus. Tapi Lara belum juga menemukan nomornya sendiri. Kemudian Ita membantu Lara. Lara berusaha teliti mungkin mencari dan mengamatinya dengan baik-baik. Dan akhirnya ditemukan. Lara menemukan nomornya dan juga dinyatakan lulus. Lara dan Ita sangat bahagia sekali. Akhirnya mereka bisa menyelesaikan pendidikannya.
Keesokan harinya, Lara sibuk mengurusi ijazah dan menentukan sekolah mana yang akan ia tuju selanjutnya. Sekolah memberikan dua pilihan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak muridnya, begitu juga bagi Lara. Lara telah menentukan pilihan sekolahnya, yang pertama yaitu SMAN Maju Bersama, sekolah yang diinginkannya sejak duduk di bangku lanjutan pertama, dan SMAN Luhur, sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
Setelah menunggu beberapa hari akhirnya keputusan itu pun diumumkan. Keputusan yang akan membuat Lara semakin mudah untuk mencapai cita-citanya. Sebab hari ini dimana sekolah menengah atas akan mengumumkan siswa-siswi yang telah berhasil lolos dalam seleksi penerimaan siswa tahun ini. Lara pergi ke sekolah pilihan pertama bersama ibunya. Awalnya tidak begitu mengenal daerah sekitar sekolah itu, namun berhasil ditemukan juga.
“Alhamdulillah.” Ucap syukur Lara.
Lara bersyukur karena diberikan kepercayaan untuk menjadi salah satu siswa di sekolah ini. Ternyata Lara bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah yang sangat diinginkannya selama ini dan ia tidak akan menyia-nyiakannya. Tidak hanya Lara, sebagian besar teman-teman Lara juga diterima di sekolah ini, termasuk Ita. Perkiraan Ita tidak tepat. Ita berpikir bahwa ia tidak akan diterima di sekolah ini dan tidak bisa bersama Lara lebih lama. Tapi nyatanya, Ita diterima dan mereka masih bisa tetap bersama. Benar-benar membahagiakan.
“Pengembalian formulir dan penyelesaian administrasi diberikan waktu 5 hari sejak hari ini dan jika melewati batas, siswa dianggap batal.”
Lara mengulang membaca kalimat itu. Memang tidak ada yang menarik, namun bagi Lara, ini sangat menarik. Waktu 5 hari itu tidak lama. Ia tahu bahwa orang tuanya pasti memberikan yang terbaik untuknya. Lara pun yakin bahwa ia akan mengikuti pendidikan di sekolah ini. Tahun ini juga.
“Nak, ayah sedang dan akan berusaha untuk sekolahmu. Doakan ayah.”
“Pasti, Yah. Lara selalu berdoa agar ayah diberikan kesehatan dan diberi rezeki supaya Lara bisa menggapai cita-cita Lara.”
“Ibu juga akan berusaha.”
“Terima kasih, ibu, ayah. Lara sayang kalian.”
Mereka pun berpelukan. Begitu hangatnya. Lara sangat menyayangi orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Mereka tidak hanya bertiga, sebab Lara memiliki seorang adik. Odi namanya. Odi telah mengikuti pendidikan sekolah dasar dan kini duduk di bangku kelas 5. Mereka bukan dari keluarga yang mampu, melainkan keluarga kurang mampu. Namun kenyataan ini tidak mematahkan semangat Lara untuk mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Lara ingin menjadi dokter karena ia ingin memberikan pelayanan kesehatan kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama kepada mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Lara berpikir, kesehatan itu penting sebab jika kita sehat, kita akan nyaman melakukan apapun kegiatannya.
Waktu telah berjalan empat hari dan besok adalah hari terakhir. Namun sampai sekarang Lara belum menyelesaikan administrasi. Bukan ingin menunda namun memang masih ada yang kurang. Lara berusaha menerima walaupun sebenarnya Lara sudah merasa ketakutan. Takut jika ia akan gagal tahun ini.
“Nak, apakah besok itu benar-benar hari terakhir?” Tanya ayahnya.
“Iya ayah.” Jawabku.
“Seandainya Allah mengizinkanmu untuk melanjutkan pendidikan tidak tahun ini, tapi tahun depan. Bagaimana?”
Lara terdiam. Tidak bisa menjawab. Pertanyaan yang sulit. Antara keinginan dan kenyataan. Lara berusaha mengeluarkan kata-kata namun air mata yang berhasil mendahuluinya.
“Lara, kami tidak bermaksud mematahkan semangatmu tapi ayah dan ibu hanya memberimu pilihan yang mungkin akan terjadi.” Jelas ibu.
“Ya sudah. Hapus air matamu. Sekarang Lara tidur. Ayah dan ibu akan berusaha semaksimal mungkin.” Tutur ayah.
Lara pun menghapus air mata dan pergi meninggalkan orang tuanya menuju kamar tidur. Lara berusaha menenangkan diri dan masih berharap.
Esoknya, Lara masih dalam pengharapan. Berharap akan mengikuti pendidikan tahun ini. Semoga saja. Namun orang tuanya belum memberi tanda itu. Pikir Lara, apa benar ia akan melewati kesempatan ini dan melanjutkannya tahun depan.
Waktu terus berjalan. Sekarang pukul 11.00 wib dan belum ada tanda-tanda kehidupan bagi Lara. Tanpa disadarinya, Lara pun kembali meneteskan air mata sambil mengingat bahwa hari ini ialah hari terakhir, lebih tepatnya dua jam lagi akan ditutup. Tapi Lara masih berdiam diri di rumah. Orang tua Lara masih berusaha memperjuangkannya. Berusaha membantu Lara untuk mengejar cita-citanya.
“Maafkan ayah, Nak. Ayah sudah berusaha namun inilah kemampuan ayah.”
“Ibu juga sudah berusaha meminjam sama Ibu Retno, tapi karena hutang yang kemarin belum lunas jadi dia tidak mau memberikan pinjaman lagi. Sedangkan yang lain, juga memerlukan uang untuk membiayai keperluan anak mereka.”
Kembali air mata menemani Lara. Semakin lama semakin deras. Lara tak bisa menahannya. Lara benar-benar akan kehilangan kesempatan ini, pikirnya.
“Baiklah. Lara menerima ini. Lara tidak akan marah pada ayah dan ibu. Justru, Lara berterima kasih pada ayah dan ibu karena sudah berusaha untuk Lara. Terima kasih sekali. Terima kasih karena kalian telah berjuang untuk Lara. Lara berusaha menerima semua ini. Mungkin ini yang terbaik untuk Lara.” Tutur Lara sambil mendekati orang tuanya dan masih dalam keadaan isakan tangisnya.
Ketakutan ini terjadi juga. Sebelumnya Lara telah menduga peristiwa seperti ini namun Lara menangkisnya dengan mempercayai bahwa Allah akan membantunya. Namun mau bagaimana lagi, inilah kenyataan yang harus diterima Lara. Lara harus memahami kemampuan ayah dan ibunya.
“Ita?” Kata Lara.
Lara pun menghapus air matanya. Dan terkejut melihat kehadiran Ita.
“Kenapa kamu tidak cerita sama aku, Ra? Kamu anggap aku apa?” Tanya Ita.
“Apa Ta? Kamu bicara apa? Kamu sahabat aku tentunya.”
“Sahabat? Kamu bilang sahabat? Kalau kamu anggap aku sahabat, lantas kenapa kamu tidak berbagi semua ini denganku.”
“Berbagi apa?”
“Aku sudah mendengar semuanya. Kamu tidak perlu menutupinya lagi. Sekarang kita pergi ke sekolah kita.”
“Mungkin ini takdir aku, Ta. Takdir bahwa aku akan melanjutkan pendidikan tahun depan. Lagi pula, aku sudah banyak merepotkanmu.”
“Aku tidak merasa direpotkan. Ya sudah, Lara aku ikhlas membantumu karena aku sudah menganggapmu seperti saudara. Dan sekarang aku wajib membantu saudaraku yang membutuhkan pertolonganku.”
Kemudian Ita, Lara, dan ibu Lara pergi ke sekolah. Waktu telah menunjukkan pukul 12.45 wib. Langkah mereka semakin dipercepat. Di tengah perjalanan mereka bertiga sambil berdoa, semoga masih diberi kesempatan. Terik matahari tidak dihiraukan. Dan akhirnya mereka sampai di tempat pengembalian formulir dan penyelesaian administrasi, pukul 12.55 wib. Sepi. Memang sudah sepi karena yang lain sudah selesai menyelesaikan tahap ini. Dan aku pun terdaftar sebagai siswa di sekolah ini, tahun ini juga.
“Terima kasih, Ta. Terima kasih sekali.”
Mereka berdua pun berpelukan. Pelukan hangat persahabatan.
***
flashback
banyak hal yang tidak aku ketahui dalam hidup ini dan ada banyak rahasia yang tidak bisa aku ungkap. begitu pula dengan pertemuan kita. tak pernah kuduga selama ini bahwa akan ada kisah di antara kita. kisah dimana kita menyatukan rasa yang tidak biasa. rasa yang cukup membuat hidup berubah. walau pada akhirnya rasa itu tak mungkin lagi bersama. aku mengerti kenapa rasa itu harus berakhir, walau sebenarnya berat untukku melepasnya. kau tau tidak? bagaimana rasanya seperti ini? pedih memang pedih. sakit yaa memang sakit. tapi mau bagaimana lagi. dua rasa yang tak mungkin tuk disatukan lagi. aku tak bisa memaksakannya. aku hanya tak habis pikir, di saat orang-orang di sekitarku menerimamu, kau lebih memilih beranjak. yaa sudahlah. saat ini aku berada dalam masa menata kembali. entah berapa lama. aku tak tau.
Kamis, 22 Desember 2011
Bertahanlah Sejenak
Pagi ini,
awan di luar sana indah sekali
sama indahnya
saat aku menikmati hari-hari bersamamu
dan embun ini,
sejuk mengawali hari
itupun sama
seperti engkau menyejukkan hatiku
maaf jika lisan ini
pernah membuat amarahmu 'tak terkendali
maaf jika goresan tangan ini
pernah juga membuat lara hatimu
hanya maaf yang bisa kuhaturkan padamu
walau kutahu,
seribu maafpun 'tak bisa
melebihi kasih sayangmu selama ini
pengorbananmu, perhatianmu,
dan kesetiaanmu padaku
Mama,
bertahanlah sejenak
aku ingin melihat bibirmu merekah
ketika kau menikmati hasil jerih payahmu
dalam membimbing dan menemaniku
awan di luar sana indah sekali
sama indahnya
saat aku menikmati hari-hari bersamamu
dan embun ini,
sejuk mengawali hari
itupun sama
seperti engkau menyejukkan hatiku
maaf jika lisan ini
pernah membuat amarahmu 'tak terkendali
maaf jika goresan tangan ini
pernah juga membuat lara hatimu
hanya maaf yang bisa kuhaturkan padamu
walau kutahu,
seribu maafpun 'tak bisa
melebihi kasih sayangmu selama ini
pengorbananmu, perhatianmu,
dan kesetiaanmu padaku
Mama,
bertahanlah sejenak
aku ingin melihat bibirmu merekah
ketika kau menikmati hasil jerih payahmu
dalam membimbing dan menemaniku
Rabu, 16 November 2011
Yang Kupunya Hanya Sepetak
yang kupunya hanya sepetak
tanah
diantara ribuan hektar tanah
mereka
jangan usik
sebab aku tak kan menoreh
yang kupunya hanya sepetak
tanah
takkan kubiarkan keegoisan berdiri
takkan ada nurani terjepit
sebab tak cukup tempat itu
yang kupunya hanya sepetak
bukan untuk salah paham
bukan untuk perang dingin,
tangisan halus
dan bukan untuk pembantaian kata
bahkan bukan juga untuk pembelaan
bukan untuk itu
sebab sepetak ini tak cukup untuk hal seperti itu
yang kupunya hanya sepetak
tanah
kan kudirikan komunikasi canggih
bahkan lebih canggih dari media apapun
kan kutanam tumbuhan yang rindang
agar kita bisa bercengkerama
hanya itu
sebab
yang kupunya hanya sepetak
tanah
diantara ribuan hektar tanah
mereka
jangan usik
sebab aku tak kan menoreh
yang kupunya hanya sepetak
tanah
takkan kubiarkan keegoisan berdiri
takkan ada nurani terjepit
sebab tak cukup tempat itu
yang kupunya hanya sepetak
bukan untuk salah paham
bukan untuk perang dingin,
tangisan halus
dan bukan untuk pembantaian kata
bahkan bukan juga untuk pembelaan
bukan untuk itu
sebab sepetak ini tak cukup untuk hal seperti itu
yang kupunya hanya sepetak
tanah
kan kudirikan komunikasi canggih
bahkan lebih canggih dari media apapun
kan kutanam tumbuhan yang rindang
agar kita bisa bercengkerama
hanya itu
sebab
yang kupunya hanya sepetak
Minggu, 13 November 2011
Putih Ya Putih
Semua orang pasti menginginkan mempunyai ayah dan ibu serta keluarga yang harmonis. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, asalkan bersama orang-orang yang disayangi pasti akan lebih bahagia. Tidak ada yang menginginkan hidup dalam penderitaan, apalagi dalam kebohongan.
Aku tidak tahu apa hidupku ini bisa dibilang bahagia atau tidak. Bukan berarti aku tidak mempunyai keluarga, justru aku mempunyai ayah, ibu, dan keluarga yang lengkap. Tapi ada suatu hal yang sedikit berbeda sehingga aku sendiri bingung, aku harus bahagia atau sebaliknya.
Berawal dari percakapan itu, aku mulai curiga dengan semuanya. Aku bingung harus bagaimana menghadapi ini. Orang-orang di sekitarku kini terasa asing bagiku dan mereka seakan-akan jauh dariku. Pernyataan mereka membuatku begitu sakit.
“Sikap Aya persis nian samo sikap kakaknyo, dan wajahnyo Aya begitu lembut seperti ibunyo.”
Aku tidak menyangka mama mengatakan hal seperti itu. Apa aku bermimpi ketika mendengar pernyataan itu, tetapi jelas rasanya aku mendengar itu. Hatiku kaku mendengarnya dan begitu rapuh jiwaku saat mama berbicara saperti itu. Apa yang terjadi sebenarnya.
***
22 tahun tidak cukup bagiku untuk mendewasakan diri sendiri. Lucu memang kedengarannya tapi pada kenyataannya seperti ini. Aku masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas yang ada di Jambi dan kini aku menduduki semester akhir. Mungkin orang mengatakan bahwa biasanya usia 22 tahun itu sudah cukup dewasa dan bisa dibilang boleh melakukan kewajiban untuk berumah tangga. Tapi berbeda denganku, buat aku usia itu tidak mengukur kedewasaan seseorang. Buktinya, aku sendiri merasa bahwa aku belum cukup dewasa, kadang-kadang masih suka menangis kalau sedang berada dalam kesulitan dan tidak mampu untuk menyelesaikannya. Selain itu, aku belum berpikir terlalu jauh untuk berumah tangga karena aku masih fokus menyelesaikan kuliah dan mengejar mimpi-mimpiku. Terlebih lagi, aku bukan tipe wanita yang suka menjalin hubungan dengan pria, yang kata orang itu namanya pacaran, karena bagi aku, cita-cita nomor satu.
“Kamu mau pulang langsung ato dak, Ya?” tanya Rindu pada Aya.
“Iya, Rin. Mang napo? Ada yang bisa aku bantu?”
“Mo dak temenin aku ke Pasar Baru yang di Talang Banjar? Hehe,” pinta Rindu sambil tertawa.
“Emang mau ngapain ke situ? Mau belanja yo? Dak biasonyo mo belanjo.”
“Bukan nak belanjo, Ya. Tapi mau ketemu temen lamo.”
“Aneh-aneh aja kamu ini Rindu. Ketemu temen lama kok di Pasar Baru.”
“Udah dech, mau temenin ato dak?”
“Iya iya, dak pake’ emosi kalee.”
“Siapo jugo yang pake’ emosi, orang pake’ esmosi.”
Merekapun tertawa dan menuju pasar baru dengan mengendarai sepeda motor. Setiba di sana, ternyata memang benar. Rindu bertemu teman lamanya, namanya Putra. Putra itu orang tuanya berjualan bahan pokok makanan di pasar baru, makanya Rindu bertemu Putra di sana karena saat itu Putra sedang membantu orang tuanya berjualan.
***
“Pa, menurut mama, wajah Aya persis nian dengan yuk Ajeng. Bahkan tingkah lakunya juga hampir mirip dengan Dian waktu kecil dulu. Mama jadi takut.”
“Ma, wajar saja kalo wajah Aya tuch persis yuk Ajeng, dio ‘kan ibu kandung Aya.”
“Justru itu yang membuat mama takut.”
Gub. Jantungku seperti mati rasa dan hatiku telah tergoreskan belati sedalam-dalamnya. Apa yang kudengar ini. Aku telah salah mendengar percakapan ini. Aku salah. Mengapa aku mendengar semua ini. Benar-benar membuatku sakit. Mungkin ini salahku karena telah mendengar percakapan ini, tapi mengapa mama dan papa mengatakan hal seperti itu.
“Siapa yuk Ajeng yang mama maksud? Dan siapa Dian? Katakan pada Aya,” tiba-tiba aku masuk ke dalam kamar mama dan papa.
Seketika itu juga, mama dan papa terkejut melihat aku yang telah masuk dalam kamar mereka. Benar-benar terkejut.
“Begini Aya, mama tadi tuch dak ado bilang Yuk Ajeng ataupun Dian. Kamu salah denger mungkin Aya,” berusaha menghindari.
“Dak. Mama bohong. Tadi tuch Aya jelas nian dengernya. Kasih tau Aya, Ma. Pa, kasih tau Aya. Aya dak suko dibohongin,” meminta sambil menangis.
“Benar, Nak. Tadi papa samo mama dak ado ngomongin yang namanya yuk Ajeng.”
“Aya udah besar, dak biso dibohongin lagi. Kenapo sich mama sama papa dak jujur bae sama Aya. Aya bukan anak kandung mama sama papa kan?”
Mama dan papa diam. Sebenarnya aku takut mendengar jawaban mereka tapi aku harus siap.
“Jawab, Ma, Pa. Jawab pertanyaan Aya,” aku mulai meneteskan air mata.
Mereka tetap diam. Aku begitu ingin tahu semuanya tapi mereka hanya diam.
“Ma, jawab pertanyaan Aya. Apa benar Aya bukan anak kandung mama?” tangisanku semakin menjadi.
“Pa, Aya bukan anak papa ya?”
Aku berusaha semaksimal mungkin agar mama dan papa menolongku tapi mereka tetap pada sudut keterdiaman.
“Jawab, Ma, Pa. Jawab pertanyaan Aya. Jawab,” kian lama suaraku kian keras.
Tangisanku tidak ada artinya buat mereka. Mereka tetap diam, sedang aku butuh jawaban mereka. Aku seakan-akan haus akan pengetahuan, pengetahuan yang seharusnya aku tahu dari dulu. Mereka tidak berusaha mendekatiku, mereka tetap diam, dan hanya bisa meneteskan air mata melihatku. Tak kuasa aku dengan keadaan ini, lalu aku pergi ke luar kamar, lebih tepatnya, keluar rumah.
“Aya, kamu mau kemana, Nak. Jangan tinggalin mama,” mama berusaha mencegahku.
Aku menghiraukan. Aku tetap saja melangkahkan kaki dan menyusuri malam menuju rumah Rindu. Rumah Rindu bisa dikatakan cukup jauh tapi aku tidak merasakan itu karena dalam pikiranku hanya ingin kejelasan. Malam ini semakin larut dan semakin deras saja air hujan yang turun membasahi aku, aku yang berada dalam dunia kebohongan. Benar-benar dingin saat ini, aku butuh pelukan mama dan papa. Aku ingin mereka tapi mereka telah membuatku benci karena kebohongan mereka. Aku pun tiba di rumah Rindu. Awalnya, Rindu tidak mempercayai perkataanku tapi aku berusaha meyakinkannya.
“Percaya Rindu, percaya sama aku. Aku tuch jelas nian denger percakapan mereka. Mereka bilang, wajar aja kalo wajah aku persis yuk Ajeng karena aku anak kandungnya. Trus…” air mataku kembali menetes.
“Trus, mereka juga bilang kalo sikap aku nich juga persis sikap Dian waktu kecil. aku bener-bener dak ngerti, Rin,” kembali aku meneruskan ucapanku.
“Kamu mungkin salah denger, Ya. Kamu tenang dulu ya. Semuanya pasti dak bener yang kamu denger itu,” berusaha menenangkan Aya.
Aku tetap pada keyakinanku. Aku tidak mungkin salah. Tidak mungkin aku salah mendengar. Aku jelas mendengar semuanya. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang bernama yuk Ajeng maupun yang namanya Dian. Siapa mereka. Apa mereka keluargaku sesungguhnya. Aku bingung. Dimana aku harus menemukan mereka. Aku benar-benar tidak tahu. Aku harus mencari tahu semuanya karena aku tidak mau masuk dalam dunia kebohongan. Apapun caranya, aku harus menemukan cara untuk membuktikan semuanya.
***
Hari ini tepat tiga bulan lamanya aku meninggalkan rumah, dan aku juga tidak bertemu mama dan papa. Aku melakukan ini untuk mencari kebenaran yang harus diungkapkan. Hari ini juga hari dimana aku harus mengikuti sidang skripsi karena aku telah menyelesaikan mata kuliah. Sedikit grogi. Tapi wajar saja karena saat ini penentuan hasil pendidikan aku di perguruan tinggi. Persidangan sedikit kaku awalnya, namun berjalan lancar. Aku berusaha mempresentasikan semaksimal mungkin dan menjawab pertanyaan semampu pengetahuanku. Para dosen mengatakan cukup puas dengan skripsi yang aku buat dan aku dinyatakan lulus. Alhamdulillah, perjuanganku tidak sia-sia. Begitu juga dengan Rindu, dia juga dinyatakan lulus.
Aku dan Rindu bersama-sama siap menghadapi hari wisuda. Kamipun mempersiapkan segala sesuatu untuk wisuda nanti. Tidak menyangka akhirnya aku telah menyelesaikan kuliahku walaupun banyak rintangan yang harus aku hadapi. Tapi aku masih belum menemukan kebenaran keluargaku yang sebenarnya. Aku masih dalam keterpurukanku.
“Kamu udah kasih tau mama sama papa kamu kalau besok kita wisuda.”
“Dak perlu, Rin. Ngapain juga aku kasih tau mereka. Mereka udah ngebohongin aku. Kamu tau ‘kan, Rindu. Aku tuch orangnya dak suko dibohongin.”
“Iya, aku tau. Tapi lebih baik, kamu kasih tau. Besok itu ‘kan hari bahagia dimana kamu berhasil menyelesaikan kuliah. Lagian, mereka ‘kan udah membesarkan kamu, menyayangi, dan menjaga kamu. Apapun yang udah mereka lakuin, itu yang terbaik buat kamu.”
“Termasuk ngebohongin aku? Gitu?”
“Ya, mungkin itu juga yang terbaik buat kamu.”
“Kebohongan terbaik buat aku? Aku bener-bener dak ngerti maksud kamu, Rin?”
“Ya udah, sekarang, kamu telpon mama dan papa kamu. Kasih tau mereka ya.”
Aku berusaha mengerti maksud perkataan Rindu walau sebenarnya aku tidak mau memberitahu mereka. Aku menelpon mama. Percakapanku dengan mama hanya sebentar hanya sekedar memberitahu bahwa besok adalah hari wisudaku.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku bangun. Aku dan Rindu bersiap-siap berpenampilan terbaik di hari yang baik. Kami tertawa sambil mengingat hari-hari di masa lalu yang pernah kami lewati bersama. Ada suka, dan juga ada duka. Semuanya masih teringat dengan jelas.
Tepat pukul 08.00 wib, aku dan Rindu tiba di Balairung kampus. Semua wanita memakai pakaian kebaya, dan laki-laki memakai kemeja putih dengan jas hitam. Terlihat sudah dewasanya. Tapi apa aku juga terlihat dewasa, mungkin iya, mungkin tidak. Acara dimulai pukul 09.00 wib. Jantungku berdetak begitu hebat. Aku seperti tidak percaya, apa ini mimpi atau bukan. Aku membayangkan gelar sarjana yang selama ini aku tunggu-tunggu akhirnya kini di depan mata.
“Aya Anggraini.”
Namaku dipanggil. Namaku. Benar-benar membuatku grogi. Aku pun naik ke panggung, menerima toga, dan meraih gelar sarjana. Aya Anggraini, S.Pd, lebih tepatnya. Benar-benar membahagiakan hari ini. Walaupun begitu, hatiku masih merasa ada yang belum selesai dan harus segera diselesaikan. Aku harus menyelesaikannya supaya hidupku lebih membahagiakan lagi.
“Aya.”
Tiba-tiba ada yang memanggilku. Mama. Aku pun langsung memeluk mama karena aku sangat merindukannya. Benar-benar kupeluk erat.
“Maafin Aya, Ma.”
“Selamat ya, Nak. Kamu berhasil jadi sarjana. Jadi bu guru yang baik ya.”
“Makasi, Ma.”
Pelukan terhenti ketika mama menjelaskan sesuatu. Awalnya, mama minta maaf karena selama ini sudah tidak jujur padaku tapi mama hanya menginginkan yang terbaik. Mama tidak bermaksud membohongiku, melainkan membuatku tidak merasa terbebani dengan kenyataan ini. Ternyata memang benar, aku bukan anak kandung mama dan papa. Aku diangkat oleh mereka ketika aku berusia satu minggu. Mereka sebenarnya tidak mengambil aku dari orang tuaku tetapi justru orang tuaku sendiri yang menyerahkanku pada mama dan papa. Mereka menyerahkanku pada mama dan papa karena mereka takut tidak sanggup memberikan yang terbaik untukku. Orang tua kandungku sudah memiliki dua orang anak sebelum aku, dan kalau aku tetap bersama orang tua kandungku, takutnya mereka tidak bisa membesarkanku dengan baik, terlebih lagi tidak bisa membiayai sekolah. Makanya, mereka menyerahkan aku pada mama dan papa karena menurut mereka, mama dan papa bisa membesarkanku dan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi, seperti sekarang ini.
Aku tak kuasa mendengar semua penjelasan dari mama. Semua terasa begitu aneh tapi inilah kenyataannya. Aku sedikit merasa kesal pada orang tua kandungku karena mereka membiarkanku dipelihara orang lain, padahal sepahit apapun keadaannya, aku lebih bahagia tinggal bersama orang tua kandungku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, semua telah terjadi dan aku harus bersyukur karena aku diberi kesempatan oleh Allah swt untuk mengetahui siapa sebenarnya orang tuaku.
Aku tidak tahu apa hidupku ini bisa dibilang bahagia atau tidak. Bukan berarti aku tidak mempunyai keluarga, justru aku mempunyai ayah, ibu, dan keluarga yang lengkap. Tapi ada suatu hal yang sedikit berbeda sehingga aku sendiri bingung, aku harus bahagia atau sebaliknya.
Berawal dari percakapan itu, aku mulai curiga dengan semuanya. Aku bingung harus bagaimana menghadapi ini. Orang-orang di sekitarku kini terasa asing bagiku dan mereka seakan-akan jauh dariku. Pernyataan mereka membuatku begitu sakit.
“Sikap Aya persis nian samo sikap kakaknyo, dan wajahnyo Aya begitu lembut seperti ibunyo.”
Aku tidak menyangka mama mengatakan hal seperti itu. Apa aku bermimpi ketika mendengar pernyataan itu, tetapi jelas rasanya aku mendengar itu. Hatiku kaku mendengarnya dan begitu rapuh jiwaku saat mama berbicara saperti itu. Apa yang terjadi sebenarnya.
***
22 tahun tidak cukup bagiku untuk mendewasakan diri sendiri. Lucu memang kedengarannya tapi pada kenyataannya seperti ini. Aku masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas yang ada di Jambi dan kini aku menduduki semester akhir. Mungkin orang mengatakan bahwa biasanya usia 22 tahun itu sudah cukup dewasa dan bisa dibilang boleh melakukan kewajiban untuk berumah tangga. Tapi berbeda denganku, buat aku usia itu tidak mengukur kedewasaan seseorang. Buktinya, aku sendiri merasa bahwa aku belum cukup dewasa, kadang-kadang masih suka menangis kalau sedang berada dalam kesulitan dan tidak mampu untuk menyelesaikannya. Selain itu, aku belum berpikir terlalu jauh untuk berumah tangga karena aku masih fokus menyelesaikan kuliah dan mengejar mimpi-mimpiku. Terlebih lagi, aku bukan tipe wanita yang suka menjalin hubungan dengan pria, yang kata orang itu namanya pacaran, karena bagi aku, cita-cita nomor satu.
“Kamu mau pulang langsung ato dak, Ya?” tanya Rindu pada Aya.
“Iya, Rin. Mang napo? Ada yang bisa aku bantu?”
“Mo dak temenin aku ke Pasar Baru yang di Talang Banjar? Hehe,” pinta Rindu sambil tertawa.
“Emang mau ngapain ke situ? Mau belanja yo? Dak biasonyo mo belanjo.”
“Bukan nak belanjo, Ya. Tapi mau ketemu temen lamo.”
“Aneh-aneh aja kamu ini Rindu. Ketemu temen lama kok di Pasar Baru.”
“Udah dech, mau temenin ato dak?”
“Iya iya, dak pake’ emosi kalee.”
“Siapo jugo yang pake’ emosi, orang pake’ esmosi.”
Merekapun tertawa dan menuju pasar baru dengan mengendarai sepeda motor. Setiba di sana, ternyata memang benar. Rindu bertemu teman lamanya, namanya Putra. Putra itu orang tuanya berjualan bahan pokok makanan di pasar baru, makanya Rindu bertemu Putra di sana karena saat itu Putra sedang membantu orang tuanya berjualan.
***
“Pa, menurut mama, wajah Aya persis nian dengan yuk Ajeng. Bahkan tingkah lakunya juga hampir mirip dengan Dian waktu kecil dulu. Mama jadi takut.”
“Ma, wajar saja kalo wajah Aya tuch persis yuk Ajeng, dio ‘kan ibu kandung Aya.”
“Justru itu yang membuat mama takut.”
Gub. Jantungku seperti mati rasa dan hatiku telah tergoreskan belati sedalam-dalamnya. Apa yang kudengar ini. Aku telah salah mendengar percakapan ini. Aku salah. Mengapa aku mendengar semua ini. Benar-benar membuatku sakit. Mungkin ini salahku karena telah mendengar percakapan ini, tapi mengapa mama dan papa mengatakan hal seperti itu.
“Siapa yuk Ajeng yang mama maksud? Dan siapa Dian? Katakan pada Aya,” tiba-tiba aku masuk ke dalam kamar mama dan papa.
Seketika itu juga, mama dan papa terkejut melihat aku yang telah masuk dalam kamar mereka. Benar-benar terkejut.
“Begini Aya, mama tadi tuch dak ado bilang Yuk Ajeng ataupun Dian. Kamu salah denger mungkin Aya,” berusaha menghindari.
“Dak. Mama bohong. Tadi tuch Aya jelas nian dengernya. Kasih tau Aya, Ma. Pa, kasih tau Aya. Aya dak suko dibohongin,” meminta sambil menangis.
“Benar, Nak. Tadi papa samo mama dak ado ngomongin yang namanya yuk Ajeng.”
“Aya udah besar, dak biso dibohongin lagi. Kenapo sich mama sama papa dak jujur bae sama Aya. Aya bukan anak kandung mama sama papa kan?”
Mama dan papa diam. Sebenarnya aku takut mendengar jawaban mereka tapi aku harus siap.
“Jawab, Ma, Pa. Jawab pertanyaan Aya,” aku mulai meneteskan air mata.
Mereka tetap diam. Aku begitu ingin tahu semuanya tapi mereka hanya diam.
“Ma, jawab pertanyaan Aya. Apa benar Aya bukan anak kandung mama?” tangisanku semakin menjadi.
“Pa, Aya bukan anak papa ya?”
Aku berusaha semaksimal mungkin agar mama dan papa menolongku tapi mereka tetap pada sudut keterdiaman.
“Jawab, Ma, Pa. Jawab pertanyaan Aya. Jawab,” kian lama suaraku kian keras.
Tangisanku tidak ada artinya buat mereka. Mereka tetap diam, sedang aku butuh jawaban mereka. Aku seakan-akan haus akan pengetahuan, pengetahuan yang seharusnya aku tahu dari dulu. Mereka tidak berusaha mendekatiku, mereka tetap diam, dan hanya bisa meneteskan air mata melihatku. Tak kuasa aku dengan keadaan ini, lalu aku pergi ke luar kamar, lebih tepatnya, keluar rumah.
“Aya, kamu mau kemana, Nak. Jangan tinggalin mama,” mama berusaha mencegahku.
Aku menghiraukan. Aku tetap saja melangkahkan kaki dan menyusuri malam menuju rumah Rindu. Rumah Rindu bisa dikatakan cukup jauh tapi aku tidak merasakan itu karena dalam pikiranku hanya ingin kejelasan. Malam ini semakin larut dan semakin deras saja air hujan yang turun membasahi aku, aku yang berada dalam dunia kebohongan. Benar-benar dingin saat ini, aku butuh pelukan mama dan papa. Aku ingin mereka tapi mereka telah membuatku benci karena kebohongan mereka. Aku pun tiba di rumah Rindu. Awalnya, Rindu tidak mempercayai perkataanku tapi aku berusaha meyakinkannya.
“Percaya Rindu, percaya sama aku. Aku tuch jelas nian denger percakapan mereka. Mereka bilang, wajar aja kalo wajah aku persis yuk Ajeng karena aku anak kandungnya. Trus…” air mataku kembali menetes.
“Trus, mereka juga bilang kalo sikap aku nich juga persis sikap Dian waktu kecil. aku bener-bener dak ngerti, Rin,” kembali aku meneruskan ucapanku.
“Kamu mungkin salah denger, Ya. Kamu tenang dulu ya. Semuanya pasti dak bener yang kamu denger itu,” berusaha menenangkan Aya.
Aku tetap pada keyakinanku. Aku tidak mungkin salah. Tidak mungkin aku salah mendengar. Aku jelas mendengar semuanya. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang bernama yuk Ajeng maupun yang namanya Dian. Siapa mereka. Apa mereka keluargaku sesungguhnya. Aku bingung. Dimana aku harus menemukan mereka. Aku benar-benar tidak tahu. Aku harus mencari tahu semuanya karena aku tidak mau masuk dalam dunia kebohongan. Apapun caranya, aku harus menemukan cara untuk membuktikan semuanya.
***
Hari ini tepat tiga bulan lamanya aku meninggalkan rumah, dan aku juga tidak bertemu mama dan papa. Aku melakukan ini untuk mencari kebenaran yang harus diungkapkan. Hari ini juga hari dimana aku harus mengikuti sidang skripsi karena aku telah menyelesaikan mata kuliah. Sedikit grogi. Tapi wajar saja karena saat ini penentuan hasil pendidikan aku di perguruan tinggi. Persidangan sedikit kaku awalnya, namun berjalan lancar. Aku berusaha mempresentasikan semaksimal mungkin dan menjawab pertanyaan semampu pengetahuanku. Para dosen mengatakan cukup puas dengan skripsi yang aku buat dan aku dinyatakan lulus. Alhamdulillah, perjuanganku tidak sia-sia. Begitu juga dengan Rindu, dia juga dinyatakan lulus.
Aku dan Rindu bersama-sama siap menghadapi hari wisuda. Kamipun mempersiapkan segala sesuatu untuk wisuda nanti. Tidak menyangka akhirnya aku telah menyelesaikan kuliahku walaupun banyak rintangan yang harus aku hadapi. Tapi aku masih belum menemukan kebenaran keluargaku yang sebenarnya. Aku masih dalam keterpurukanku.
“Kamu udah kasih tau mama sama papa kamu kalau besok kita wisuda.”
“Dak perlu, Rin. Ngapain juga aku kasih tau mereka. Mereka udah ngebohongin aku. Kamu tau ‘kan, Rindu. Aku tuch orangnya dak suko dibohongin.”
“Iya, aku tau. Tapi lebih baik, kamu kasih tau. Besok itu ‘kan hari bahagia dimana kamu berhasil menyelesaikan kuliah. Lagian, mereka ‘kan udah membesarkan kamu, menyayangi, dan menjaga kamu. Apapun yang udah mereka lakuin, itu yang terbaik buat kamu.”
“Termasuk ngebohongin aku? Gitu?”
“Ya, mungkin itu juga yang terbaik buat kamu.”
“Kebohongan terbaik buat aku? Aku bener-bener dak ngerti maksud kamu, Rin?”
“Ya udah, sekarang, kamu telpon mama dan papa kamu. Kasih tau mereka ya.”
Aku berusaha mengerti maksud perkataan Rindu walau sebenarnya aku tidak mau memberitahu mereka. Aku menelpon mama. Percakapanku dengan mama hanya sebentar hanya sekedar memberitahu bahwa besok adalah hari wisudaku.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku bangun. Aku dan Rindu bersiap-siap berpenampilan terbaik di hari yang baik. Kami tertawa sambil mengingat hari-hari di masa lalu yang pernah kami lewati bersama. Ada suka, dan juga ada duka. Semuanya masih teringat dengan jelas.
Tepat pukul 08.00 wib, aku dan Rindu tiba di Balairung kampus. Semua wanita memakai pakaian kebaya, dan laki-laki memakai kemeja putih dengan jas hitam. Terlihat sudah dewasanya. Tapi apa aku juga terlihat dewasa, mungkin iya, mungkin tidak. Acara dimulai pukul 09.00 wib. Jantungku berdetak begitu hebat. Aku seperti tidak percaya, apa ini mimpi atau bukan. Aku membayangkan gelar sarjana yang selama ini aku tunggu-tunggu akhirnya kini di depan mata.
“Aya Anggraini.”
Namaku dipanggil. Namaku. Benar-benar membuatku grogi. Aku pun naik ke panggung, menerima toga, dan meraih gelar sarjana. Aya Anggraini, S.Pd, lebih tepatnya. Benar-benar membahagiakan hari ini. Walaupun begitu, hatiku masih merasa ada yang belum selesai dan harus segera diselesaikan. Aku harus menyelesaikannya supaya hidupku lebih membahagiakan lagi.
“Aya.”
Tiba-tiba ada yang memanggilku. Mama. Aku pun langsung memeluk mama karena aku sangat merindukannya. Benar-benar kupeluk erat.
“Maafin Aya, Ma.”
“Selamat ya, Nak. Kamu berhasil jadi sarjana. Jadi bu guru yang baik ya.”
“Makasi, Ma.”
Pelukan terhenti ketika mama menjelaskan sesuatu. Awalnya, mama minta maaf karena selama ini sudah tidak jujur padaku tapi mama hanya menginginkan yang terbaik. Mama tidak bermaksud membohongiku, melainkan membuatku tidak merasa terbebani dengan kenyataan ini. Ternyata memang benar, aku bukan anak kandung mama dan papa. Aku diangkat oleh mereka ketika aku berusia satu minggu. Mereka sebenarnya tidak mengambil aku dari orang tuaku tetapi justru orang tuaku sendiri yang menyerahkanku pada mama dan papa. Mereka menyerahkanku pada mama dan papa karena mereka takut tidak sanggup memberikan yang terbaik untukku. Orang tua kandungku sudah memiliki dua orang anak sebelum aku, dan kalau aku tetap bersama orang tua kandungku, takutnya mereka tidak bisa membesarkanku dengan baik, terlebih lagi tidak bisa membiayai sekolah. Makanya, mereka menyerahkan aku pada mama dan papa karena menurut mereka, mama dan papa bisa membesarkanku dan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi, seperti sekarang ini.
Aku tak kuasa mendengar semua penjelasan dari mama. Semua terasa begitu aneh tapi inilah kenyataannya. Aku sedikit merasa kesal pada orang tua kandungku karena mereka membiarkanku dipelihara orang lain, padahal sepahit apapun keadaannya, aku lebih bahagia tinggal bersama orang tua kandungku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, semua telah terjadi dan aku harus bersyukur karena aku diberi kesempatan oleh Allah swt untuk mengetahui siapa sebenarnya orang tuaku.
***
Sabtu, 12 November 2011
Dunia Akhir, 2011
Tok tok tok tok tok. Begitulah ibu mengetuk pintu kamarku. Makin lama makin cepat. Cepat sekali seperti dunia yang saat ini kujalani. “Iya Bu, sudah bangun,” begitu sahutku. “Cepat ibu tunggu di meja makan”. Ketukan dan suara ibu mengejutkan. Inginnya masih bermain dengan guling. Stop. Aku tak boleh seperti ini lagi. Sudah cukup kebiasaan ini kulakukan hingga aku mampu bertahan di dalam kampus. Bertahun-tahun.
2011, tahun kedua aku berusaha untuk memisahkan diri dari kampus. Tahun pertama gagal karena aku terbata-bata, seperti anak kelas 1 SD yang baru belajar mengeja kata-kata yang tertera di papan tulis, ketika menjawab pertanyaan dari tim penguji. Entah itu grogi atau kurang mengerti apa yang ditanyakan. Entahlah. Saat itu aku seperti tidak sadar. Dan tahun kedua ini harus bisa. Jika tidak, aku akan menjadi orang yang teramat abadi di kampus. “Halo penghuni,” itulah sapaan dari tiap makhluk kampus yang akan kudengar. Dan aku tak mau. Sia-sia saja aku berada di kampus selama ini, dan itu artinya mencicipi uang pemberian orang tua tanpa meninggalkan rasa sedikitpun. Pastinya, ini akan menjadi dunia akhir bagiku.
“Aduh!” kataku sambil mengusap-usap kepala. Entah dari mana datangnya spidol ini. Kulihat keadaan sekitar. Pepohonan masih saja hijau dan rindang, serta daun-daun melambai bersama angin. Jalanan masih saja ramai dipadati. Cuaca hari ini masih cerah seperti tadi pagi. Tapi kenapa ada yang terasa janggal? Ada sedikit perubahan. Kenapa aku sendiri di sini? Kemana yang lain? Tim penguji? “Permisi dek, kok ruangannya kosong ya?” tanyaku sambil menunjuk ruangan, di depanku, pada adik tingkat yang melewatiku. “Oh iya kak, sekitar 15 menit yang lalu ujiannya sudah selesai. Saya duluan ya, kak,” begitu jawaban singkatnya, kemudian berlalu. Apa? Sudah selesai?
2011, tahun kedua aku berusaha untuk memisahkan diri dari kampus. Tahun pertama gagal karena aku terbata-bata, seperti anak kelas 1 SD yang baru belajar mengeja kata-kata yang tertera di papan tulis, ketika menjawab pertanyaan dari tim penguji. Entah itu grogi atau kurang mengerti apa yang ditanyakan. Entahlah. Saat itu aku seperti tidak sadar. Dan tahun kedua ini harus bisa. Jika tidak, aku akan menjadi orang yang teramat abadi di kampus. “Halo penghuni,” itulah sapaan dari tiap makhluk kampus yang akan kudengar. Dan aku tak mau. Sia-sia saja aku berada di kampus selama ini, dan itu artinya mencicipi uang pemberian orang tua tanpa meninggalkan rasa sedikitpun. Pastinya, ini akan menjadi dunia akhir bagiku.
“Aduh!” kataku sambil mengusap-usap kepala. Entah dari mana datangnya spidol ini. Kulihat keadaan sekitar. Pepohonan masih saja hijau dan rindang, serta daun-daun melambai bersama angin. Jalanan masih saja ramai dipadati. Cuaca hari ini masih cerah seperti tadi pagi. Tapi kenapa ada yang terasa janggal? Ada sedikit perubahan. Kenapa aku sendiri di sini? Kemana yang lain? Tim penguji? “Permisi dek, kok ruangannya kosong ya?” tanyaku sambil menunjuk ruangan, di depanku, pada adik tingkat yang melewatiku. “Oh iya kak, sekitar 15 menit yang lalu ujiannya sudah selesai. Saya duluan ya, kak,” begitu jawaban singkatnya, kemudian berlalu. Apa? Sudah selesai?
***
Senja Kali Ini
senja kali ini. aku di pinggir sungai. di sungai anak-anak
riang berenang. matahari bersinar dan begitu hangat. langit
kemerahan dan gumpalan-gumpalan awan bentuknya berbeda-beda
seperti ingin bermain denganku
aliran air begitu tenang. ingin kurangkai apa yang kuinginkan
tapi. percuma saja. air tetap saja air. bukan buku yang
bisa menampung rangkaian kata. lalu bisa diabadikan
di pinggir sungai. dan senja kali ini. matahari begitu
menghangatkan tubuhku
kemudian tenggelam begitu saja
riang berenang. matahari bersinar dan begitu hangat. langit
kemerahan dan gumpalan-gumpalan awan bentuknya berbeda-beda
seperti ingin bermain denganku
aliran air begitu tenang. ingin kurangkai apa yang kuinginkan
tapi. percuma saja. air tetap saja air. bukan buku yang
bisa menampung rangkaian kata. lalu bisa diabadikan
di pinggir sungai. dan senja kali ini. matahari begitu
menghangatkan tubuhku
kemudian tenggelam begitu saja
Selamat Pagi Cinta
berlari
terus berlari
mengejar asa yang telah tertimbun
dalam tong impian
mungkin kau beranjak dari istanaku,
tapi aku tetap berlari
merangkul tahta dunia
dan ini pagi,
menyambut sinar hatiku,
Selamat pagi cinta
terus berlari
mengejar asa yang telah tertimbun
dalam tong impian
mungkin kau beranjak dari istanaku,
tapi aku tetap berlari
merangkul tahta dunia
dan ini pagi,
menyambut sinar hatiku,
Selamat pagi cinta
Rabu, 09 November 2011
tulang
penyengat bersama olak
mengawali langkah ini
kuayunkan langkah
bertemu aurduri
perantara nusantara
ilalang peneman panjang
langkah tak berhenti melangkah
hingga air tak enggan melihatnya
tiba persimpangan tiga
dua jalur mengapit
tapi tak usah ragu
tujuan langkah
tlah siap didaki
mengawali langkah ini
kuayunkan langkah
bertemu aurduri
perantara nusantara
ilalang peneman panjang
langkah tak berhenti melangkah
hingga air tak enggan melihatnya
tiba persimpangan tiga
dua jalur mengapit
tapi tak usah ragu
tujuan langkah
tlah siap didaki
angin hulu
kawan, hampir saja aku membangun gubuk. bukan hanya untukku. tapi kami. tiap detik kami bangun bersama. kerikil-kerikil usang. debu-debu lampau. semen-semen basi. dan juga tiang-tiang sisa bangunan. aku mulai bersahabat dengan tanah di sekitar. mencoba akrab dan terbiasa. namun ia, tak mampu menaklukan tanah. tak mampu melawan angin hulu hingga ia pun terbawa, hulu pula. aku tak bisa menahannya. dan punah sudah pondasi mini yang dibangun.
Senin, 07 November 2011
berhentilah
tak pernah kukikis senyum ini
jika kau datang
tapi saat ini
kehadiranmu melukaiku dan
mereka
maaf
semakin lama kau datang
semakin perih pula aku
kumohon berhentilah
secepatnya
biarkan aku
dan mereka
bernafas semestinya
jika kau datang
tapi saat ini
kehadiranmu melukaiku dan
mereka
maaf
semakin lama kau datang
semakin perih pula aku
kumohon berhentilah
secepatnya
biarkan aku
dan mereka
bernafas semestinya
Sabtu, 05 November 2011
baiklah
ini bukan pertama kalinya bagiku
sudah terlalu sering
bahkan kami sudah berkawan
akrab sekali
jadi kau tak perlu takut
aku sudah paham
bagaimana menghadapi ini
tapi
apa hanya ini yang bisa kudapatkan?
hanya ini yang berkawan padaku?
baiklah
aku terima
mencoba menerima
sudah terlalu sering
bahkan kami sudah berkawan
akrab sekali
jadi kau tak perlu takut
aku sudah paham
bagaimana menghadapi ini
tapi
apa hanya ini yang bisa kudapatkan?
hanya ini yang berkawan padaku?
baiklah
aku terima
mencoba menerima
Kamis, 03 November 2011
belum puas?
aku tak perlu buih_buih terima kasih
tak butuh aneka ragam hormat
setidaknya kalian menghargai
apa yang telah aku lakukan
aku tau, apa yang telah aku lakukan itu
belum seutuhnya benar
tapi setidaknya aku telah berusaha semaksimal mungkin
apa kalian tidak merasakan itu?
atau belum puas?
mau melihatku hingga tak berdaya?
begitu?
tak butuh aneka ragam hormat
setidaknya kalian menghargai
apa yang telah aku lakukan
aku tau, apa yang telah aku lakukan itu
belum seutuhnya benar
tapi setidaknya aku telah berusaha semaksimal mungkin
apa kalian tidak merasakan itu?
atau belum puas?
mau melihatku hingga tak berdaya?
begitu?
Rabu, 02 November 2011
tak apa
jika malam ini tak sanggup mengatakannya
baiklah
tak apa
aku takkan mengikis senyum ini
mungkin malam enggan
untuk membongkarnya
dan
mungkin sinar mentari
akan lebih berarti
baiklah
tak apa
aku takkan mengikis senyum ini
mungkin malam enggan
untuk membongkarnya
dan
mungkin sinar mentari
akan lebih berarti
Sabtu, 29 Oktober 2011
tau tak?
kau tau tidak?
mengerti tidak?
paham tidak?
jawab aku
andai saja kau tau
bagaimana rasanya dilakukan seperti ini
kau bisa saja
mengatakan tau apa yang kurasa
tapi aku yang merasakan ini,
benar_benar perih
aku ingin biasa saja
tapi sulit
maaf
aku tak bisa diperlakukan seperti ini
sukar untukku
tolong kembalikan seperti semula
ketika kau datang
aku tak mau seperti ini
dimainkan oleh riakmu
maaf
sungguh aku tak bisa
aku tak terlalu pandai untuk hal seperti ini
mengerti tidak?
paham tidak?
jawab aku
andai saja kau tau
bagaimana rasanya dilakukan seperti ini
kau bisa saja
mengatakan tau apa yang kurasa
tapi aku yang merasakan ini,
benar_benar perih
aku ingin biasa saja
tapi sulit
maaf
aku tak bisa diperlakukan seperti ini
sukar untukku
tolong kembalikan seperti semula
ketika kau datang
aku tak mau seperti ini
dimainkan oleh riakmu
maaf
sungguh aku tak bisa
aku tak terlalu pandai untuk hal seperti ini
siap_siap
aku tau maksudmu saat itu
aku paham
mengerti apa yang kau maksud
aku hanya terkejut saja saat itu
bingung harus bagaimana menghadapi hal itu
diamku bukan berarti marah
bukan berarti tak mau tahu
tapi memberi waktu berpikir
berpikir untuk mengerti maksudmu saat itu
berpikir apa yang harus kutindaklanjuti
dari apa yang telah kau utarakan padaku
aku rasa wajar saja jika saat itu
aku merasa terombang_ambing oleh lautmu
dan aku tak bersikap manis
namun saat ini
telah aku pahami
ketika kita siap menerima
kita juga harus siap melepaskan
aku paham
mengerti apa yang kau maksud
aku hanya terkejut saja saat itu
bingung harus bagaimana menghadapi hal itu
diamku bukan berarti marah
bukan berarti tak mau tahu
tapi memberi waktu berpikir
berpikir untuk mengerti maksudmu saat itu
berpikir apa yang harus kutindaklanjuti
dari apa yang telah kau utarakan padaku
aku rasa wajar saja jika saat itu
aku merasa terombang_ambing oleh lautmu
dan aku tak bersikap manis
namun saat ini
telah aku pahami
ketika kita siap menerima
kita juga harus siap melepaskan
Senin, 17 Oktober 2011
Dear 07 (Batik)
Kamis yang memanas. Keadaan rumah yang tidak senyaman dulu dan tuntutan kerja yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebenarnya aku tidak terlalu memperhitungkan masalah itu tapi lama-kelamaan aku merasa tidak nyaman. Terlebih lagi teman kerja yang tidak bisa diajak bekerja sama. Ditambah lagi tugas kuliah yang harus kuselesaikan dengan segera.
Jalanan debu yang membuat peredaran nafasku memburuk dan terik matahari yang menyengat kulit. Seperti hari-hari sebelumnya, perjalanan kampus dari rumah cukup melelahkan dan harus menempuh waktu sekitar setengah jam. Siang ini membuat sayu mata dan mengantuk menerjang begitu hebat. Sekuat tenaga melawan rasa kantuk dengan segala upaya.
Suasana dalam perjalanan tidak begitu banyak perubahan sehingga terlihat membosankan. Yang terlihat hanya mobil-mobil angkot laju dengan cepat, motor-motor dengan berbagai suara knalpot, minimarket, ruko-ruko yang berisi dagangan barang-barang elektronik, baju, sepatu, dan sebagainya. Dan juga kantor-kantor yang penuh dengan orang berdasi, serta sekolah-sekolah yang berada di pinggir jalan. Kulihat di sepanjang jalan ini anak-anak sekolah berjalan menuju rumahnya masing-masing, ada yang berlari-larian dan ada juga yang berjalan sambil bercanda bersama teman-teman yang lain. Di sanalah pandanganku terpusat. Sangat fokus.
Batik. Batik yang dikenakan oleh anak-anak itu indah sekali. Mengingatkanku pada suasana waktu itu, ketika aku seperti mereka. Batik yang selalu kukenakan ketika dulu. Hanya saja batikku dulu berwarna biru, sedangkan mereka berwarna merah. Batik yang kurindukan sebelas tahun yang lalu.
***
“Udah selesai belum, Yu?” Tanya seorang guru padaku.
“Belum, Bu. Tunggu sebentar, Ayu sebentar lagi selesai.” Pinta Ayu.
“Iya, Nak.”
Ibu guru berjalan mengelilingi aku dan teman-teman di kelas sambil memperhatikan pekerjaan anak muridnya. Jika ada murid yang merasa kesulitan, ibu guru siap membantu dengan senang hati.
Lonceng berbunyi. Ibu guru menyeru pada anak-anak muridnya untuk mengumpulkan pekerjaan mereka. Dan yang paling terakhir mengumpulkannya ialah aku. Tapi tak apa. Ibu guru tidak memarahiku hanya karena aku yang paling terakhir mengumpulkan pekerjaan. Hanya saja teman-temanku yang usil.
“Eh tadi Ayu mau nangis.” Suara Fian yang membuka keusilan.
“Sembarangan saja. Bukannya mau menangis tapi memang sudah menangis.” Lanjut Dion.
Fian, Dion, Mimi, Lara, dan teman lainnya melihatku.
“Benar, Yu?” Semua serempak bertanya.
“Tidak. Aku tidak menangis. Kalian salah orang.” Tangkisku.
“Apa? Salah orang?” Mimi kembali bertanya.
“Salah orang katanya teman-teman.” Kata Dion.
“Benarkah?”
“Kalau tidak salah, waktu kita kelas satu dulu, ada murid yang paling terakhir mengumpulkan latihan. Lalu dia menangis.” Jelas Dion.
“Bukankah itu Ayu?” Jawab Fian.
“Iya iya iya. Ayu.” Jawab mereka serentak.
Semuanya tertawa. Tertawa merasa puas membuatku malu. Langkah kaki kupercepat.
“Hai, Ayu. Cepat sekali jalanmu. Bersantailah sedikit.”
Aku tidak menghiraukan mereka. Lebih baik aku pulang tanpa bersama mereka. Bukannya tidak suka pada mereka. Aku tidak menyalahkan pernyataan mereka karena memang benar, aku pernah menangis ketika kelas 1 SD. Tapi itu sudah tiga tahun yang lalu, jadi tidak perlu diungkit apalagi dibahas. Sekarang aku tidak seperti itu lagi. Mereka hanya bercanda. Aku tahu itu. Tapi aku tidak suka kalau mereka seperti itu.
Hari ini ada pelajaran Olahraga di sekolah. Tidak ada hujan yang turun maka olahraga bisa dilakukan di luar ruangan kelas. Suasana pagi ini sejuk dan menyegarkan tubuh. Guru Olahragaku berasal dari Medan, jadi suaranya menjadi sangat khas. Olahraga hari ini adalah estafet. Lapangan sekolahku cukup luas sehingga meletihkan juga berlari mengelilingi lapangan. Dan pada akhirnya, kami semua tertawa bersama. Seketika itu juga, Fian, Dion, Mimi, dan Lara, melihatku. Kembali tertawa.
Sepulang sekolah aku bersama teman-teman pulang bersama. Tapi sebelum itu, kami memberika kejutan pada salah seorang teman kami. Tama. Kejutannya ia diceploki beberapa telur karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Selain telur, ada juga bahan kue lainnya yaitu tepung. Rambut Tama penuh telur dan tepung. Dan juga baju seragam Tama ikut terkena. Semuanya merasa puas telah memberi kejutan pada Tama. Kami semua menyanyikan selamat ulang tahun di tengan lapangan yang cukup panas. Setelah puas memberi kejutan, Tama mengajak kami semua ke rumahnya untuk merayakan ulang tahunnya. Baik sekali Tama. Kami telah membuatnya terkejut dengan penyiksaan telur dan tepung, ia malah mengajak ke rumahnya. Di rumah Tama, kami merayakan ulang tahunnya.
Setelah perayaan selesai, aku dan teman-teman pulang ke rumah masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 wib. Ternyata sudah cukup lama aku dan teman-teman berada di rumah Tama. Dalam perjalanan pulang, aku dan teman-teman tertawa bersama karena mengingat peristiwa di tengah lapangan tadi.
“Oh iya, besok kita piket, Mi.”
“Iya, Yu. Pasti menyenangkan.”
“Tentunya.”
“Aku duluan ya, Yu. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Mi.”
Sekarang aku berjalan sendirian. Rumah Mimi memang lebih dekat dari sekolah. Tapi rumahku juga tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya rumahku dan rumah Mimi sangat dekat, hanya saja jalannya yang berbeda. Antara rumahku dan rumah Mimi dibatasi oleh papan yang tidak begitu tinggi. Kami memang terlihat lebih dekat, mungkin karena kedekatan rumah kami berdua sehingga terkadang di luar sekolah, kami sering bermain bersama. Terkadang aku bermain ke rumah Mimi dan terkadang Mimi bermain ke rumahku.
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, aku, Mimi, Nana, Maman, dan Tian tidak bisa langsung pulang ke rumah karena kami bertugas piket. Kami membagi tugas. Maman dan Tian mengangkat bangku ke atas meja dan mengangkat air untuk mengepel, sedangkan aku, Mimi, dan Nana menyapu dan mengepel kelas. Setelah semuanya selesai dan ruangan kelas pun bersih. Pemandangan yang nyaman. Lalu kami mengunci kelas.
Hari Sabtu pun telah tiba. Hari yang akan menyenangkan bagi aku dan teman-teman. Seusai pelajaran terakhir, guru meninggalkan kelas, dan kami semua bergembira. Waktunya membersihkan kelas dan pekarangan di sekitar kelas. Ada beberapa teman yang ingin mengaburkan diri, tapi aku dan teman-teman yang lain berusaha mencegah mereka. Tidak ada yang boleh pulang sebelum semuanya selesai membersihkan sekitar lingkungan kelas. Aku dan teman-teman membuka sepatu dan kaos kaki. Membersihkan kelas bersama, kemudian mengepel lantai kelas. Setelah itu bermain luncur-luncuran di koridor sekolah. Berganti-gantian. Menyenangkan sekali. Setelah pakaian kami basah kunyup. Lalu kami pun diperbolehkan pulang oleh guru.
Namun sebelum pulang ke rumah, aku dan teman-teman bersantai dahulu di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Kami duduk dengan santai sambil menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Mimi dan Tama. Kami berbagi. Walau sedikit tapi kebersamaan yang lebih nikmat.
“Besok kalian kemana?” tanya Dion.
“Tentunya pergi ke sekolah. Betul tidak teman-teman?” jawab Didin.
“Sekolah?” ucap Fian dengan wajah kaget.
“Iya, ke sekolah. Kalian tidak mau ke sekolah lagi?” tutur Didin dengan tegasnya.
“Ya sudah, Din. Besok aku sepertinya tidak bisa masuk sekolah. Izinkan aku ya.” Tutur Dion dengan serius.
“Baiklah teman.” Jawab Didin.
Mereka semua tertawa, termasuk Didin. Entah merasa atau tidak bahwa sebenarnya besok itu adalah hari Minggu. Tapi Didin menyangka bahwa esok masih hari kegiatan sekolah. begitulah Didin. Kemudian Tama memutuskan untuk pulang lebih dahulu, namun ternyata teman-teman yang lain juga ingin pulang.
Setiba di rumah, kenyataan itu pun datang dan harus kuhadapi.
“Nak, maaf, papa tidak bermaksud mengingkari janji.”
“Janji?”
“Iya, Nak. Kalau kamu sudah selesai dari pendidikan Sekolah Dasar, kamu akan melanjutkan pendidikan selanjutnya di kampung halaman papa.” Jelas mama.
“Iya iya. Baru ingat, Ma. Kalau ingkar berarti kita tidak jadi pindah ya?”
“Perencanaan itu tetap dilaksanakan, hanya saja dipercepat waktunya.”
“Dipercepat?”
“Iya, sayang. Setelah kamu melaksanakan ujian nanti, kita akan pindah.”
Aku tidak bisa berontak. Tidak bisa mengatakan tidak setuju. Ini adalah keputusan orang tuaku dan aku harus mengikuti keputusan mereka. Walaupun sebenarnya aku tidak rela jika harus berpisah dengan teman-teman secepat ini. Maaf teman, aku harus meninggalkan kalian. Tapi yang aku yakini bahwa tiap perpisahan pasti ada pertemuan.
***
Tet tet tet tet tet.
“Astaghfirullah.” Ucapku.
Suara-suara klakson membangunkanku dari lamunan yang cukup panjang. Lamunanku ketika dahulu. Lamunan yang telah berhasil membuatku tidak mengindahkan klakson-klakson itu. dan tidak disadari aku berhenti di tengah jalan. Untung saja tidak ada yang menabrakku.
“Hei, mau mati ya?”
“Ini jalan punya eyangmu?”
“Sudah gila kau?”
Berbagai ragam ucapan yang kudengar dari pengemudi lainnya. Hari semakin panas, wajar saja jika mereka berkata seperti itu. Hanya satu kata yang dapat kukatakan.
“Maaf.”
Maaf semuanya. Aku tidak bermaksud menghambat perjalanan kalian. Sungguh aku khilaf. Maaf.
Batik itu membuatku hilang akal.
Jalanan debu yang membuat peredaran nafasku memburuk dan terik matahari yang menyengat kulit. Seperti hari-hari sebelumnya, perjalanan kampus dari rumah cukup melelahkan dan harus menempuh waktu sekitar setengah jam. Siang ini membuat sayu mata dan mengantuk menerjang begitu hebat. Sekuat tenaga melawan rasa kantuk dengan segala upaya.
Suasana dalam perjalanan tidak begitu banyak perubahan sehingga terlihat membosankan. Yang terlihat hanya mobil-mobil angkot laju dengan cepat, motor-motor dengan berbagai suara knalpot, minimarket, ruko-ruko yang berisi dagangan barang-barang elektronik, baju, sepatu, dan sebagainya. Dan juga kantor-kantor yang penuh dengan orang berdasi, serta sekolah-sekolah yang berada di pinggir jalan. Kulihat di sepanjang jalan ini anak-anak sekolah berjalan menuju rumahnya masing-masing, ada yang berlari-larian dan ada juga yang berjalan sambil bercanda bersama teman-teman yang lain. Di sanalah pandanganku terpusat. Sangat fokus.
Batik. Batik yang dikenakan oleh anak-anak itu indah sekali. Mengingatkanku pada suasana waktu itu, ketika aku seperti mereka. Batik yang selalu kukenakan ketika dulu. Hanya saja batikku dulu berwarna biru, sedangkan mereka berwarna merah. Batik yang kurindukan sebelas tahun yang lalu.
***
“Udah selesai belum, Yu?” Tanya seorang guru padaku.
“Belum, Bu. Tunggu sebentar, Ayu sebentar lagi selesai.” Pinta Ayu.
“Iya, Nak.”
Ibu guru berjalan mengelilingi aku dan teman-teman di kelas sambil memperhatikan pekerjaan anak muridnya. Jika ada murid yang merasa kesulitan, ibu guru siap membantu dengan senang hati.
Lonceng berbunyi. Ibu guru menyeru pada anak-anak muridnya untuk mengumpulkan pekerjaan mereka. Dan yang paling terakhir mengumpulkannya ialah aku. Tapi tak apa. Ibu guru tidak memarahiku hanya karena aku yang paling terakhir mengumpulkan pekerjaan. Hanya saja teman-temanku yang usil.
“Eh tadi Ayu mau nangis.” Suara Fian yang membuka keusilan.
“Sembarangan saja. Bukannya mau menangis tapi memang sudah menangis.” Lanjut Dion.
Fian, Dion, Mimi, Lara, dan teman lainnya melihatku.
“Benar, Yu?” Semua serempak bertanya.
“Tidak. Aku tidak menangis. Kalian salah orang.” Tangkisku.
“Apa? Salah orang?” Mimi kembali bertanya.
“Salah orang katanya teman-teman.” Kata Dion.
“Benarkah?”
“Kalau tidak salah, waktu kita kelas satu dulu, ada murid yang paling terakhir mengumpulkan latihan. Lalu dia menangis.” Jelas Dion.
“Bukankah itu Ayu?” Jawab Fian.
“Iya iya iya. Ayu.” Jawab mereka serentak.
Semuanya tertawa. Tertawa merasa puas membuatku malu. Langkah kaki kupercepat.
“Hai, Ayu. Cepat sekali jalanmu. Bersantailah sedikit.”
Aku tidak menghiraukan mereka. Lebih baik aku pulang tanpa bersama mereka. Bukannya tidak suka pada mereka. Aku tidak menyalahkan pernyataan mereka karena memang benar, aku pernah menangis ketika kelas 1 SD. Tapi itu sudah tiga tahun yang lalu, jadi tidak perlu diungkit apalagi dibahas. Sekarang aku tidak seperti itu lagi. Mereka hanya bercanda. Aku tahu itu. Tapi aku tidak suka kalau mereka seperti itu.
Hari ini ada pelajaran Olahraga di sekolah. Tidak ada hujan yang turun maka olahraga bisa dilakukan di luar ruangan kelas. Suasana pagi ini sejuk dan menyegarkan tubuh. Guru Olahragaku berasal dari Medan, jadi suaranya menjadi sangat khas. Olahraga hari ini adalah estafet. Lapangan sekolahku cukup luas sehingga meletihkan juga berlari mengelilingi lapangan. Dan pada akhirnya, kami semua tertawa bersama. Seketika itu juga, Fian, Dion, Mimi, dan Lara, melihatku. Kembali tertawa.
Sepulang sekolah aku bersama teman-teman pulang bersama. Tapi sebelum itu, kami memberika kejutan pada salah seorang teman kami. Tama. Kejutannya ia diceploki beberapa telur karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Selain telur, ada juga bahan kue lainnya yaitu tepung. Rambut Tama penuh telur dan tepung. Dan juga baju seragam Tama ikut terkena. Semuanya merasa puas telah memberi kejutan pada Tama. Kami semua menyanyikan selamat ulang tahun di tengan lapangan yang cukup panas. Setelah puas memberi kejutan, Tama mengajak kami semua ke rumahnya untuk merayakan ulang tahunnya. Baik sekali Tama. Kami telah membuatnya terkejut dengan penyiksaan telur dan tepung, ia malah mengajak ke rumahnya. Di rumah Tama, kami merayakan ulang tahunnya.
Setelah perayaan selesai, aku dan teman-teman pulang ke rumah masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 wib. Ternyata sudah cukup lama aku dan teman-teman berada di rumah Tama. Dalam perjalanan pulang, aku dan teman-teman tertawa bersama karena mengingat peristiwa di tengah lapangan tadi.
“Oh iya, besok kita piket, Mi.”
“Iya, Yu. Pasti menyenangkan.”
“Tentunya.”
“Aku duluan ya, Yu. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Mi.”
Sekarang aku berjalan sendirian. Rumah Mimi memang lebih dekat dari sekolah. Tapi rumahku juga tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya rumahku dan rumah Mimi sangat dekat, hanya saja jalannya yang berbeda. Antara rumahku dan rumah Mimi dibatasi oleh papan yang tidak begitu tinggi. Kami memang terlihat lebih dekat, mungkin karena kedekatan rumah kami berdua sehingga terkadang di luar sekolah, kami sering bermain bersama. Terkadang aku bermain ke rumah Mimi dan terkadang Mimi bermain ke rumahku.
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, aku, Mimi, Nana, Maman, dan Tian tidak bisa langsung pulang ke rumah karena kami bertugas piket. Kami membagi tugas. Maman dan Tian mengangkat bangku ke atas meja dan mengangkat air untuk mengepel, sedangkan aku, Mimi, dan Nana menyapu dan mengepel kelas. Setelah semuanya selesai dan ruangan kelas pun bersih. Pemandangan yang nyaman. Lalu kami mengunci kelas.
Hari Sabtu pun telah tiba. Hari yang akan menyenangkan bagi aku dan teman-teman. Seusai pelajaran terakhir, guru meninggalkan kelas, dan kami semua bergembira. Waktunya membersihkan kelas dan pekarangan di sekitar kelas. Ada beberapa teman yang ingin mengaburkan diri, tapi aku dan teman-teman yang lain berusaha mencegah mereka. Tidak ada yang boleh pulang sebelum semuanya selesai membersihkan sekitar lingkungan kelas. Aku dan teman-teman membuka sepatu dan kaos kaki. Membersihkan kelas bersama, kemudian mengepel lantai kelas. Setelah itu bermain luncur-luncuran di koridor sekolah. Berganti-gantian. Menyenangkan sekali. Setelah pakaian kami basah kunyup. Lalu kami pun diperbolehkan pulang oleh guru.
Namun sebelum pulang ke rumah, aku dan teman-teman bersantai dahulu di bawah pohon beringin yang cukup rindang. Kami duduk dengan santai sambil menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Mimi dan Tama. Kami berbagi. Walau sedikit tapi kebersamaan yang lebih nikmat.
“Besok kalian kemana?” tanya Dion.
“Tentunya pergi ke sekolah. Betul tidak teman-teman?” jawab Didin.
“Sekolah?” ucap Fian dengan wajah kaget.
“Iya, ke sekolah. Kalian tidak mau ke sekolah lagi?” tutur Didin dengan tegasnya.
“Ya sudah, Din. Besok aku sepertinya tidak bisa masuk sekolah. Izinkan aku ya.” Tutur Dion dengan serius.
“Baiklah teman.” Jawab Didin.
Mereka semua tertawa, termasuk Didin. Entah merasa atau tidak bahwa sebenarnya besok itu adalah hari Minggu. Tapi Didin menyangka bahwa esok masih hari kegiatan sekolah. begitulah Didin. Kemudian Tama memutuskan untuk pulang lebih dahulu, namun ternyata teman-teman yang lain juga ingin pulang.
Setiba di rumah, kenyataan itu pun datang dan harus kuhadapi.
“Nak, maaf, papa tidak bermaksud mengingkari janji.”
“Janji?”
“Iya, Nak. Kalau kamu sudah selesai dari pendidikan Sekolah Dasar, kamu akan melanjutkan pendidikan selanjutnya di kampung halaman papa.” Jelas mama.
“Iya iya. Baru ingat, Ma. Kalau ingkar berarti kita tidak jadi pindah ya?”
“Perencanaan itu tetap dilaksanakan, hanya saja dipercepat waktunya.”
“Dipercepat?”
“Iya, sayang. Setelah kamu melaksanakan ujian nanti, kita akan pindah.”
Aku tidak bisa berontak. Tidak bisa mengatakan tidak setuju. Ini adalah keputusan orang tuaku dan aku harus mengikuti keputusan mereka. Walaupun sebenarnya aku tidak rela jika harus berpisah dengan teman-teman secepat ini. Maaf teman, aku harus meninggalkan kalian. Tapi yang aku yakini bahwa tiap perpisahan pasti ada pertemuan.
***
Tet tet tet tet tet.
“Astaghfirullah.” Ucapku.
Suara-suara klakson membangunkanku dari lamunan yang cukup panjang. Lamunanku ketika dahulu. Lamunan yang telah berhasil membuatku tidak mengindahkan klakson-klakson itu. dan tidak disadari aku berhenti di tengah jalan. Untung saja tidak ada yang menabrakku.
“Hei, mau mati ya?”
“Ini jalan punya eyangmu?”
“Sudah gila kau?”
Berbagai ragam ucapan yang kudengar dari pengemudi lainnya. Hari semakin panas, wajar saja jika mereka berkata seperti itu. Hanya satu kata yang dapat kukatakan.
“Maaf.”
Maaf semuanya. Aku tidak bermaksud menghambat perjalanan kalian. Sungguh aku khilaf. Maaf.
Batik itu membuatku hilang akal.
***
Sabtu, 15 Oktober 2011
tali sesaat
baru saja
aku menerima tali
tali yang kuanggap
bisa membantuku
tuk berdiri
namun
tak berselang lama
perlahan
aku harus melepaskan tali itu
aku tak menyalahkan siapapun
waktu terus berjalan
semua akan baik_baik saja
aku menerima tali
tali yang kuanggap
bisa membantuku
tuk berdiri
namun
tak berselang lama
perlahan
aku harus melepaskan tali itu
aku tak menyalahkan siapapun
waktu terus berjalan
semua akan baik_baik saja
Rabu, 12 Oktober 2011
pagi ini angin bersenandung
inginku mengikuti
namun tak dapat
sebab iramanya tak kumengerti
merasakan angin yang sama
mengubah hangat sinar mentari
pagi ini menjadi kental
tak perlu dimengerti
isyarat apa yang dibawa angin
janga diikuti kemana ia pergi
tapi bagaimana kita melepasnya
010911
^^with ta^^
inginku mengikuti
namun tak dapat
sebab iramanya tak kumengerti
merasakan angin yang sama
mengubah hangat sinar mentari
pagi ini menjadi kental
tak perlu dimengerti
isyarat apa yang dibawa angin
janga diikuti kemana ia pergi
tapi bagaimana kita melepasnya
010911
^^with ta^^
Kamis, 04 Agustus 2011
peLum
:))
peLum
peLum
peLum?
ada yg tau apa itu?
sejenis apa itu?
makanankah?
hadohhadohhadoh
kenapa mikirnya makanan?
>,<
peLum
iTu
pengen ngumpuL
*_*
berhubung sekarang udah GEDE
dan udah jaraaaaanggg banget ketemu sama temen_temen lama
terlebih lagi
temen di waktu eSdE
jadi
pengen ngumpul bareng
walopun sebentar
yang penting
kebersamaan
dan berhubung sekarang bulan puasa
mereka_mereka yang kuliah di luar Jambi ntuh
kayaknya pada balik ke Jambi
jadi waktu yang tepat
buat ngumpul
moga_moga ajjah
bisa terwujud
amin
^_^
peLum
peLum
peLum?
ada yg tau apa itu?
sejenis apa itu?
makanankah?
hadohhadohhadoh
kenapa mikirnya makanan?
>,<
peLum
iTu
pengen ngumpuL
*_*
berhubung sekarang udah GEDE
dan udah jaraaaaanggg banget ketemu sama temen_temen lama
terlebih lagi
temen di waktu eSdE
jadi
pengen ngumpul bareng
walopun sebentar
yang penting
kebersamaan
dan berhubung sekarang bulan puasa
mereka_mereka yang kuliah di luar Jambi ntuh
kayaknya pada balik ke Jambi
jadi waktu yang tepat
buat ngumpul
moga_moga ajjah
bisa terwujud
amin
^_^
setelah itu
Setelah empat tahun kita tak bertemu, kau cukup berubah. Itu menurutku. Entahlah menurut mereka, aku tak peduli. Sepertinya lebih dewasa, itu terlihat dari kemejamu, celana dasarmu, sepatu hitammu, dan gaya rambutmu. Lebih dewasa dari dulu, ketika kita masih memakai seragam putih-biru. Tentu saja. Semua orang juga begitu. Jelas berbeda. Tapi kenapa aku masih merasa belum dewasa? Itu penderitaanku.
Tersenyum. Itu hal pertama yang kau lakukan padaku. Tadi pagi. Setelah sekian lama tak bertemu dan tak berkomunikasi. Kau menoreh senyum setelah dulu kau sembunyikan senyum itu dariku. Entah apa yang terjadi selama ini dan kini kau tak menyembunyikannya. Terima kasih.
Buatmu mungkin biasa saja tapi bagiku, luar biasa. Terlihatnya berlebihan tapi memang seperti itu bagiku. Namun masih ada rasa ingin tahuku tentang dulu, ketika kau bersikap dingin padaku. Itu juga menurutku, entah menurutmu. Aku hanya ingin tau mengenai hal itu. Perubahanmu padaku. Semoga suatu saat nanti, waktu akan menjelaskan semuanya padaku. Dan aku menjadi jelas.
With karisma
040711
Tersenyum. Itu hal pertama yang kau lakukan padaku. Tadi pagi. Setelah sekian lama tak bertemu dan tak berkomunikasi. Kau menoreh senyum setelah dulu kau sembunyikan senyum itu dariku. Entah apa yang terjadi selama ini dan kini kau tak menyembunyikannya. Terima kasih.
Buatmu mungkin biasa saja tapi bagiku, luar biasa. Terlihatnya berlebihan tapi memang seperti itu bagiku. Namun masih ada rasa ingin tahuku tentang dulu, ketika kau bersikap dingin padaku. Itu juga menurutku, entah menurutmu. Aku hanya ingin tau mengenai hal itu. Perubahanmu padaku. Semoga suatu saat nanti, waktu akan menjelaskan semuanya padaku. Dan aku menjadi jelas.
With karisma
040711
Sabtu, 30 Juli 2011
20
gag nyangka aja sekarang udah berusia duapuluhtahun. Kalo kata orang-orang sich, usia segitu udah bisa nikah.
Apa?
Nikah?
hadeh hadeh hadeh
pikiran aye belom nyampe ke sana. maaf yak...
emang sich, usia segitu udah bisa dibilang dewasa,
tapi aye belom ngerasa dewasa. hmmm gimana ye,, susah banget ngejelasinnya.
hmmmm tapi aye yakin, tiap orang ntuh punya tingkat kedewasaan yang berbeda.
dan suatu saat nanti aye bisa bersikap dewasa
^_^
Apa?
Nikah?
hadeh hadeh hadeh
pikiran aye belom nyampe ke sana. maaf yak...
emang sich, usia segitu udah bisa dibilang dewasa,
tapi aye belom ngerasa dewasa. hmmm gimana ye,, susah banget ngejelasinnya.
hmmmm tapi aye yakin, tiap orang ntuh punya tingkat kedewasaan yang berbeda.
dan suatu saat nanti aye bisa bersikap dewasa
^_^
Jumat, 15 Juli 2011
Senin, 11 Juli 2011
malam, kali ini biarkan aku sejenak berpikir, beri aku ruang, beri aku tempat untukku sendiri, bukan maksudku untuk egois atau apa, tapi aku sangat membutuhkan itu. aku juga tak ingin mengambil sisa malammu, tapi mau bagaimana lagi, saat inilah aku bisa melakukannya. maav, jika kuharus merampas sebagian hartamu.
bincangbincang
dewi, "bagiku ini sangat berat, entahlah bagimu atau orang2 di luar sana, tapi memang ini yang kurasakan, tak pernah terintas akan seperti ini, sungguh, senja ini menyapaku dengan gerimis yang menyiksa"... dewa, "ehm,, siap memberikan bahu ini"... dewi, "ketika kau memberikan bahu itu, aku takut tak bisa manahan gerimis ini dan akan semakin menjadi, apa kau sanggup menampungnya?... dewa, "mereka bilang aku ini tak bisa apa_apa, aku hanyalah seonggok pohon tua, daunku tla kering dan butuh setitik air agar ia kembali hijau, dan gerimismu itu akan kembali menyuburkannya, tapi aku masih takut, apakah engkau mau jika nanti aku mengotori halaman rumahmu dengan daun_daun kering ini?"... dewi, "jika gerimisku ini bisa membantu menyuburkan pohon itu, lantas mengapa aku harus takut dikotori oleh daun_daun kering itu? agar kau tau, adanya daun_daun kering itu bisa memberikan warna di halamanku, sebab halaman ini penuh dengan tetesan embun pada daun yang tersembunyi sejak dulu"... dewa, "tapi aku tak bisa menjanjikanmu buah yang manis dan segar, di siang hari aku hanya bisa meneduhkanmu, dan malam hari aku hanya bisa menghiasi halaman rumahmu dengan cahaya kunang_kunang"... dewi, "aku tak butuh janji semanis apapun, kau memberikan keteduhan walau siang hari itu sudah cukup bagiku, karna aku yakin, jika aku berjalan saat terik matahari, tak seorangpun menoreh padaku, dan jika malam kau hanya memberikan cahaya kunang_kunang, itu lebih dari cukup, sebab aku takut akan gelap"... dewa, "jika engkau menerima semua itu, aku juga akan menerima, menengadahkan tangan, menggenggam gerimis di atap rumahmu, tapi, jika dahan ini mulai terasa goyang, aku ingin engkau ada untuk menopangnya"... dewi, "trimakasi atas tengadah tangan itu, jika terasa dahan itu bergoyang, aku akan berusaha menopangnya dengan pondasi yang kumiliki, walau pondasi ini sedikit tlah rapuh, aku akan menopangnya, sebab aku tak ingin dahan itu patah, terlebih pada tengadah tangan itu"... dewa, "ehm, jadi, sebagai langkah pertama, apa yang harus pohon tua ini lakukan?"... dewi, "gerimis ini ingin menyapa pohon itu, bersuara sebisanya"... dewa, "yaa, aku bisa merasakan setitik demi setitik cucuran gerimis itu, mungkinkah aku bisa menghalau awan mendung penyebab gerimis itu?"... dewi, "aku saja tak mampu menghalaunya, sebab ini kali pertama bagiku"... dewa, "jika boleh aku tau, badai apa yang telah merebahkanmu?"... dewi, "andai saja aku mampu bersuara, tlah aku katakan padamu, tapi, sulit bagiku tuk bersuara, maav, bukanku angkuh atau apa, tapi memang tak sanggup bersuara"...
050711
0559
050711
0559
Kamis, 07 Juli 2011
Gerimis Senja
Gerimis lagi
Di senja ini,
Dan lagi
Aku terpuruk
Dalam istanaku sendiri
Lepas inginku
Bersama mereka
Bisa memamerkan kebahagiaan
Sedang aku
Melewati senja
Bersama gerimis
tiada henti
dan
sejadi-jadinya
Di senja ini,
Dan lagi
Aku terpuruk
Dalam istanaku sendiri
Lepas inginku
Bersama mereka
Bisa memamerkan kebahagiaan
Sedang aku
Melewati senja
Bersama gerimis
tiada henti
dan
sejadi-jadinya
Selasa, 05 Juli 2011
Sabtu, 02 Juli 2011
Sabtu, 18 Juni 2011
hidup memang tak datar begitu saja
pasti ada batu yang menghadangnya
aku tau itu
tapi aku tak mampu
benarbenar tak sanggup menghadapi batu itu
tak tahu bagaimana menghadapinya
beri tahu aku
siapapun
tolong beri tahu aku
biar aku bisa memindahkannya ke tempat lain
sebab aku tak sanggup
melihat gerimis ini tiap detik
yang berdetak
tiap waktu yang berjalan
sungguh
aku tak sanggup
bukan aku pesimis
tapi selama ini
aku sudah cukup menelan gerimis ini
sendirian
tanpa kuungkap
pasti ada batu yang menghadangnya
aku tau itu
tapi aku tak mampu
benarbenar tak sanggup menghadapi batu itu
tak tahu bagaimana menghadapinya
beri tahu aku
siapapun
tolong beri tahu aku
biar aku bisa memindahkannya ke tempat lain
sebab aku tak sanggup
melihat gerimis ini tiap detik
yang berdetak
tiap waktu yang berjalan
sungguh
aku tak sanggup
bukan aku pesimis
tapi selama ini
aku sudah cukup menelan gerimis ini
sendirian
tanpa kuungkap
Minggu, 12 Juni 2011
Kamis, 09 Juni 2011
Rabu, 08 Juni 2011
Senin, 06 Juni 2011
Dear 07
kawan,
terlintas di pikiran ketika dulu kita masih bersama
belajar bersama, olahraga & senam di lapangan,
pramuka yg seru bgt apalagi nyantai di bawah pohon beringin,
bermain bersama,
membersihkan kelas & acara ngepel kelas
ditambah lg ada acara luncurluncuran di koridor sekolah,
walau terkadang perselisihan terjadi di antara kita
kini kita tlah tumbuh dewasa
tag bisa lg bercengkrama seperti dulu
karna ruang & waktu yg membatasi kita
walau begitu kebersamaan dulu
akan menjadi kenangan terindah
smoga suatu saat nanti
dipertemukan kembali
bwt penghuni 07 pagi
terlintas di pikiran ketika dulu kita masih bersama
belajar bersama, olahraga & senam di lapangan,
pramuka yg seru bgt apalagi nyantai di bawah pohon beringin,
bermain bersama,
membersihkan kelas & acara ngepel kelas
ditambah lg ada acara luncurluncuran di koridor sekolah,
walau terkadang perselisihan terjadi di antara kita
kini kita tlah tumbuh dewasa
tag bisa lg bercengkrama seperti dulu
karna ruang & waktu yg membatasi kita
walau begitu kebersamaan dulu
akan menjadi kenangan terindah
smoga suatu saat nanti
dipertemukan kembali
bwt penghuni 07 pagi
senja ini benarbenar kelam
tak tampak cahaya
tersentakku dibuatnya. tak berdaya. ingin kuberanjak namun tak mampu. rasa ini benarbenar terlalu. menyakitkan. perih.
kucoba tahan. terus kucoba. namun ternyata aku tak sanggup.
harus kutemui lagi. gerimis. lagi. hujan. badai.
kucoba sembunyikan.
bagaimana menahan ini?
keluarkan aku
siapa saja
tak tampak cahaya
tersentakku dibuatnya. tak berdaya. ingin kuberanjak namun tak mampu. rasa ini benarbenar terlalu. menyakitkan. perih.
kucoba tahan. terus kucoba. namun ternyata aku tak sanggup.
harus kutemui lagi. gerimis. lagi. hujan. badai.
kucoba sembunyikan.
bagaimana menahan ini?
keluarkan aku
siapa saja
Minggu, 22 Mei 2011
Kamis, 19 Mei 2011
Sabtu, 14 Mei 2011
Minggu, 08 Mei 2011
Sabtu, 07 Mei 2011
masih seperti ini
berdiri
memegang pondasi
yang kau berikan dulu
dan entah dari mana kau mendapatkannya
katamu,
kau akan membangun pondok
agar kita bisa
menumpahkan segala keluh kesah
dan kita tetap bersama
namun setelah sekian lama
aku berdiri menentang
matahari,
kau tak tampak lagi
kemana arahmu hingga tak kembali?
apa kau kehilangan kompas?
atau kau tak mampu berjalan lagi
karna langkahmu sudah terlalu jauh?
sungguh
aku tak sanggup
jika harus di sini tanpamu
dan biarkan aku
pergi
tanpa harus kau tau
berdiri
memegang pondasi
yang kau berikan dulu
dan entah dari mana kau mendapatkannya
katamu,
kau akan membangun pondok
agar kita bisa
menumpahkan segala keluh kesah
dan kita tetap bersama
namun setelah sekian lama
aku berdiri menentang
matahari,
kau tak tampak lagi
kemana arahmu hingga tak kembali?
apa kau kehilangan kompas?
atau kau tak mampu berjalan lagi
karna langkahmu sudah terlalu jauh?
sungguh
aku tak sanggup
jika harus di sini tanpamu
dan biarkan aku
pergi
tanpa harus kau tau
Jumat, 06 Mei 2011
Kamis, 05 Mei 2011
pekalah sobat
sobat,
pagi tadi kudengar kabar bahwa masih ada sekolah yang kekurangan guru, sarana dan prasarana terbatas, buku-buku yang dipakai tidak sesuai dengan kurikulum saat ini, bahkan siswa yang memakai seragampun masih bisa dihitung. tragis memang. tapi mau bagaimana lagi. yang penting, semangat mereka untuk belajar tidak perlu diragukan lagi. mendengar keadaan mereka saja aku sungguh tidak tega, sobat. apalagi aku harus melihatnya sendiri. sungguh. keadaan yang menyentuh hati.
ternyata kita masih beruntung sobat. kita masih diberikan kesempatan untuk mencicipi rasa yang luar biasa. bersyukurlah kita, alhamdulillah. semoga kabar ini akan membuat kita lebih mensyukuri apa yang telah kita dapatkan. dan pekalah terhadap lingkungan sekitar kita karena masih ada yang membutuhkan pertolongan kita, walaupun itu hanya segenggam tangan.
pagi tadi kudengar kabar bahwa masih ada sekolah yang kekurangan guru, sarana dan prasarana terbatas, buku-buku yang dipakai tidak sesuai dengan kurikulum saat ini, bahkan siswa yang memakai seragampun masih bisa dihitung. tragis memang. tapi mau bagaimana lagi. yang penting, semangat mereka untuk belajar tidak perlu diragukan lagi. mendengar keadaan mereka saja aku sungguh tidak tega, sobat. apalagi aku harus melihatnya sendiri. sungguh. keadaan yang menyentuh hati.
ternyata kita masih beruntung sobat. kita masih diberikan kesempatan untuk mencicipi rasa yang luar biasa. bersyukurlah kita, alhamdulillah. semoga kabar ini akan membuat kita lebih mensyukuri apa yang telah kita dapatkan. dan pekalah terhadap lingkungan sekitar kita karena masih ada yang membutuhkan pertolongan kita, walaupun itu hanya segenggam tangan.
Rabu, 04 Mei 2011
Aku benci sepi. Ketika semua orang tertawa. Aku tak bisa mengeluarkan tawaku. Sepi yang kurasa. Tapi tak dirasa orang lain karena hanya aku yang merasakannya.
Aku tak suka sepi. Orang dengan seenaknya berlari. sedang kakiku tak mampu tuk mengejar mentari. Sepi ini sakit. Begitu perih buatku
Semua orang pergi. Sibuk dengan kegiatannya. Sedang aku,Merasa sepi.
Sepi,
Pergilah kau!!!
Aku tak suka sepi. Orang dengan seenaknya berlari. sedang kakiku tak mampu tuk mengejar mentari. Sepi ini sakit. Begitu perih buatku
Semua orang pergi. Sibuk dengan kegiatannya. Sedang aku,Merasa sepi.
Sepi,
Pergilah kau!!!
sudah sedikit membuatku lega. walaupun belumm sehangat dulu. tak apalah. semua butuh proses. mungkin aku yang belum bisa mengenal baik dirinya. atau aku yang tidak peka. selama ini aku berusaha untuk mengenalnya dan ternyata tak cukup waktu. keterdiaman ini membuatku sadar bahwa aku belum menjadi yang terbaik. terimakasi. dan beri aku sedikit ruang lagi agar bisa mengenalnya lebih lagi. jangan biarkan ia menutup rapat hingga aku tak bisa masuk.
Jumat, 29 April 2011
pola pikir yang tak kumengerti
kutemukan sebuah desa terpencil. penduduknya masih suka berkebun dan merawat sawah ladang mereka. bagus kelihatannya. namun ada kejanggalan.
memang baik adatnya jika anak membantu orang tua. tapi apa harus sampai larut malam hingga tak ada lagi waktunya untuk belajar? apa harus merelakan waktu sekolah?
pernah kudekati seorang bocah, kuajak tuk beranjak dari sana dan kembali meraih cita_cita. namun apa daya, yang kudapat hanyalah ribuan kalimat yang tak tentu arah dari mereka, mereka yang mengaku orang tua. entah apa yang ada dalam pikiranku dan mereka. aku hanya ingin bocah_bocah itu bisa meraih apa yang diinginkan, berusaha menjadi apa yang terbaik buat hidupnya dan menjadikan desa mereka semakin maju. hanya itu.
lantas, kenapa aku dituduh tak mengerti?
mereka bilang, jika bukan bocah itu, siapa lagi yang akan membantu mereka mengurusi sawah ladang mereka? mereka perlu mengisi kekosongan perut.
aku tau, mereka butuh sesuap nasi. tapi apa layak bocah_bocah dibiarkan terus_menerus membantu orang tuanya hingga tak tersisa lagi nafas tuk menorehkan pada buku?
sulit dimengerti pola pokir mereka
memang baik adatnya jika anak membantu orang tua. tapi apa harus sampai larut malam hingga tak ada lagi waktunya untuk belajar? apa harus merelakan waktu sekolah?
pernah kudekati seorang bocah, kuajak tuk beranjak dari sana dan kembali meraih cita_cita. namun apa daya, yang kudapat hanyalah ribuan kalimat yang tak tentu arah dari mereka, mereka yang mengaku orang tua. entah apa yang ada dalam pikiranku dan mereka. aku hanya ingin bocah_bocah itu bisa meraih apa yang diinginkan, berusaha menjadi apa yang terbaik buat hidupnya dan menjadikan desa mereka semakin maju. hanya itu.
lantas, kenapa aku dituduh tak mengerti?
mereka bilang, jika bukan bocah itu, siapa lagi yang akan membantu mereka mengurusi sawah ladang mereka? mereka perlu mengisi kekosongan perut.
aku tau, mereka butuh sesuap nasi. tapi apa layak bocah_bocah dibiarkan terus_menerus membantu orang tuanya hingga tak tersisa lagi nafas tuk menorehkan pada buku?
sulit dimengerti pola pokir mereka
Rabu, 27 April 2011
jangan perlakukan saya seperti itu
saya tidak akan melawan
jika anda menyerang saya dahulu
jangan buat saya
tidak suka dengan pekerjaan ini
atau bahkan keluar dari pekerjaan ini
sebab saya butuh pekerjaan
sangat butuh
untuk bisa dapat bertahan
tolong
lihat saya
di sini
saya yang hampir tidak bernyawa
dalam pekerjaan ini
saya tidak akan melawan
jika anda menyerang saya dahulu
jangan buat saya
tidak suka dengan pekerjaan ini
atau bahkan keluar dari pekerjaan ini
sebab saya butuh pekerjaan
sangat butuh
untuk bisa dapat bertahan
tolong
lihat saya
di sini
saya yang hampir tidak bernyawa
dalam pekerjaan ini
Senin, 18 April 2011
Tetap Melangkah
Kawan, empat puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh lamanya
kita melangkahkan kaki bersama
gula dan garam kita cicipi dengan lidah masing-masing
terkadang kaki kita tak sejalan
tangan tak sama
nyanyian dengan vibra yang berbeda
membuat kita tertawa pada akhirnya
kini,
tetap saja kita melangkah
terus melangkah
menuju dunia kebersamaan
kita melangkahkan kaki bersama
gula dan garam kita cicipi dengan lidah masing-masing
terkadang kaki kita tak sejalan
tangan tak sama
nyanyian dengan vibra yang berbeda
membuat kita tertawa pada akhirnya
kini,
tetap saja kita melangkah
terus melangkah
menuju dunia kebersamaan
Masih Ada Ruang, Ibu
Ibu,
sejak aku melihat garis khatulistiwa
kau buatkan pondok untukku
kau bangun dengan pondasi kasih
berdindingkan kehangatan dengan atap kesejukan
dan kau hiasi dengan taman kerinduan
ketika hanya jangkrik yang bernyanyi
kau dekap aku
"Nak, kelak nanti kau akan menemukan dan merasakan ruang elok buatmu"
bukan hanya aku tapi juga kau ibu
masih ada ruang untukmu
tuk kau rebahkan kelelahanmu
kini, biarkan aku
bermain dengan sahabat-sahabatmu
dan biarkan aku
memberikan warna pada pondok ini
dan kubiarkan kau
merasakan dunia yang pernah kau ajarkan padaku
dunia yang katamu pasti akan kudapatkan
dan membuat hidupku lebih bermakna
sejak aku melihat garis khatulistiwa
kau buatkan pondok untukku
kau bangun dengan pondasi kasih
berdindingkan kehangatan dengan atap kesejukan
dan kau hiasi dengan taman kerinduan
ketika hanya jangkrik yang bernyanyi
kau dekap aku
"Nak, kelak nanti kau akan menemukan dan merasakan ruang elok buatmu"
bukan hanya aku tapi juga kau ibu
masih ada ruang untukmu
tuk kau rebahkan kelelahanmu
kini, biarkan aku
bermain dengan sahabat-sahabatmu
dan biarkan aku
memberikan warna pada pondok ini
dan kubiarkan kau
merasakan dunia yang pernah kau ajarkan padaku
dunia yang katamu pasti akan kudapatkan
dan membuat hidupku lebih bermakna
Jumat, 08 April 2011
Rabu, 06 April 2011
Tayangan Kecil Negriku
konstitusi dilelang
angso duo ramai
sepanjang kota baru-arizona
berlari menentang jarum jam
sedang telanai
sibuk melahirkan cendekiawan
‘tuk bertemu leninisme
angso duo ramai
sepanjang kota baru-arizona
berlari menentang jarum jam
sedang telanai
sibuk melahirkan cendekiawan
‘tuk bertemu leninisme
Gerimis Lagi
aku diterpa gerimis ini lagi
gerimis yang tak mampu
mengeringkan intan yang pernah kau buat untukku
gerimis yang terus membasahi perban putihku
gerimis yang selalu saja datang
gerimis yang tak mampu
mengeringkan intan yang pernah kau buat untukku
gerimis yang terus membasahi perban putihku
gerimis yang selalu saja datang
Jumat, 01 April 2011
Rabu, 30 Maret 2011
Miniatur Denahku
Kemarin,
menyusuri aur duri
Hari ini,
mengikuti batang hari
Esok,
ingin mengelilingi pasar Jambi
mengulang permainan dulu
menyusuri aur duri
Hari ini,
mengikuti batang hari
Esok,
ingin mengelilingi pasar Jambi
mengulang permainan dulu
Gerimis Hari Ini
Titik-titik air menemaniku
Di dalam perjalanan
Bercerita dalam kelamnya plankin
Bernyanyi dalam kabutnya asap
Langit ingin bermain denganku
Memercikkan air
Tapi aku tak siap
Maaf
Gerimis sore ini
Mengiris nurani
Langganan:
Postingan (Atom)