Minggu, 25 Maret 2012

Lembaran-lembaran Raisa

Dear Sasi,
            Kau pasti terkejut kenapa aku menulis surat seperti ini. Padahal sebenarnya, aku bisa  saja mengirim pesan singkat ke ponselmu. Dan kau pasti berpikir, ada apa denganku. Dan masih banyak lagi pastinya pertanyaan yang kau lontarkan dalam benakmu. Kau tenang, aku baik-baik saja bahkan lebih baik dari yang kau pikirkan. Lebih baik, kau membaca tulisanku ini sambil duduk tenang di teras rumah, sepertinya lebih nyaman seperti itu.
            Sasi, ingat tidak ketika kita pertama kali bertemu tiga tahun yang lalu? Kau menyembur minuman di mukaku, tepat sekali mengenai mukaku. Aku langsung memasang mata tajam padamu dan kau malah memarahiku. Kau ini aneh sekali. Seharusnya kau minta maaf padaku, bukannya kau memarahiku seperti orang gila. Lalu parahnya, kita dipersatukan kembali dengan tugas kelompok. Untung saja, aku memiliki hati yang baik, jadi tiada lagi perselisihan di antara kita. Setidaknya, ketika kau datang dengan amarah, aku mendekatimu dengan tenang. Dan alhasil sampai sekarang kita masih bisa bertahan, bersama. Benar tidak?
            Sasi, aku bersyukur pada Tuhan karena telah mempertemukanku denganmu. Walau kau terlihat tidak perduli tapi sebenarnya kau sangat memperhatikanku. Iya ‘kan? Hehe. Banyak hal yang kita lalui bersama. Ada suka ada duka. Kau ‘tak pernah lelah menggenggam tanganku dan berusaha agar tidak terlepas. Kau selalu berusaha ada untukku dan aku juga berusaha ada untukmu. Kita bersama-sama mengukir dunia dengan cara kita sendiri.
            Semenjak kebakaran rumahku, enam bulan yang lalu, keluargamu mulai menghidupi kebutuhanku. Dan sejak saat itu, aku tak henti memikirkan masa depanku, Sas. Aku selalu memikirkan bagaimana menghidupi kebutuhanku sendiri, karena tak mungkin aku selalu bergantung padamu. Aku tak mau terlalu merepotkan kau dan keluargamu. Walau kalian selalu mengatakan tak merasa direpotkan tapi aku yang menerima kebaikan kalian, merasa sangat merepotkan, bahkan lebih. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mencari kehidupan baru. Mencari kehidupan dengan jalanku sendiri dan belajar menafkahi diri sendiri.
            Aku harap, kau tidak menangis saat membaca tulisanku ini. Tolong Sasi, jangan libatkan air matamu saat ini. Biarkan ia berada dalam dirimu dan tak perlu kau keluarkan. Sasi, tetaplah tersenyum. Tetap tersenyum walau aku tak di sampingmu lagi. Kau tenang saja. Aku baik-baik saja. Benar, Sas. Aku baik-baik saja. Kau tak perlu mengkhawatirkanku lagi. Kau tak perlu lagi setiap hari mengunjungiku. Tak perlu lagi menelponku setiap saat. Tak perlu lagi sibuk mengurusi keperluanku. Dan kau tak perlu lagi mencari hiburan untukku karena sudah cukup ada kau, di hati. Bagiku, yang kau perlu saat ini ialah pusatkan perhatianmu untuk ujian akhir nasional dan raih cita-citamu. Aku yakin, kau bisa menggapai impianmu.
            Sebelum kau bertanya-tanya, lebih baik kujelaskan. Jika kau merindukanku, datanglah ke tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Kau bisa ke candi Muara Jambi, tempat dimana kita bertamasya. Kau juga bisa datang ke tepian sungai Batang Hari, Ancol, karena kita pernah menikmati senja di sana sambil mengobrol masa depan. Kau ingat tidak? Ketika itu, kau ingin menjadi desainer handal dan kau akan mendesain gaun pengantin untukku jika aku akan menikah. Sasi, aku akan menunggu hari itu dan dengan senang hati aku akan memakai gaun hasil desainmu. Dan aku akan menukar gaunmu dengan kue buatanku. Bahagia sekali jika hal itu bisa terwujud, Sas.
            Sasi, terima kasih untuk semua yang sudah kau berikan untukku. Aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikanmu. Tolong sampaikan juga rasa terima kasihku pada kakak dan orang tuamu. Dan tolong maafkan jika selama ini ada perbuatan dan ucapanku yang tidak mengenakkan.
            Doakan aku, Sas. Semoga aku bisa meraih impianku dan kau pun juga begitu. Dan kita bisa bertemu lagi.
            Bagaimana kalau lima tahun lagi kita bertemu di taman Anggrek?
            Oh iya Sas, tolong jangan cari aku. Biarkan aku menjalani hari-hari baruku. Tapi jika kau tetap ingin mencariku, silahkan saja. Tapi kau jangan datang di hadapanku. Kau boleh tahu dimana aku tapi anggap saja kau tak tahu apa-apa. Tapi lebih baik, kau tak melakukan apa-apa untuk tahu dimana aku.
            Baiklah Sas, kuusaikan saja tulisanku ini. Aku harap, kita bisa bertemu lima tahun lagi dan saat itu, kita sudah sukses dengan jalan masing-masing. Jaga dirimu baik-baik. Salam untuk keluargamu.
            Aku menyayangimu, Sas.

Salam manis,
Raisa

            Begitulah isi dari surat yang Sasi temukan di dekat pintu rumahnya Raisa. Surat dari Raisa, sahabatnya. Sasi rencananya saat itu ingin mengajak Raisa ke Taman Budaya Jambi untuk menonton pertunjukkan teater. Tapi yang Sasi dapatkan bukannya Raisa, melainkan tulisan Raisa.
“Maaf Sa, aku tak bisa menahan air mata ini. Bagaimana bisa aku melepasmu sendirian? Seharusnya kau bilang jika ingin pergi. Seharusnya kau katakan jika ingin mencari suasana baru karena setidaknya aku tahu kemana kau akan pergi.” Ucap Sasi sambil memandangi surat itu. Perkataan Sasi dilanjutkan oleh air mata yang semakin membasahi pipi merahnya. Sasi masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Raisa. Tiga tahun bersama masih belum bisa membuat Sasi untuk mengerti Raisa.
Sasi pun mulai beranjak dari rumah kontrakan itu. Langkah kakinya tidak lamban. Ia berlari menyusuri lorong yang cukup panjang. Ia berharap masih bisa mengejar Raisa dan menemukan Raisa di suatu tempat. Sasi terus berlari sekuat kemampuannya dan masih dalam pengharapan, bertemu Raisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar